Monday 3 December 2012

> > Freemason di Indonesia [bagian : 2]

Freemason di Indonesia [bagian : 2]


II.  KAITAN FREEMASONRY DENGAN SEJARAH REPUBLIK INDONESIA
Dalam membahas kaitan Freemasonry dengan sejarah Republik Indonesia, maka akan kita bagi dalam 2 bagian, yaitu:
  1. Hubungan Boedi Oetomo dengan Freemasonry dan Theosofi
  2. Dicabutnya Keppres nomor 264 tahun 1962, yang kemudian digantikan dengan Keppres nomor 69 tahun 2000 di masa Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI.
 II.1. Boedi Oetomo & Freemasonry Yahudi
Dr. Th Stevens penulis buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas yang besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa. Kata pengantar buku ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan dengan satu organisasi politik Indonesia pertama Boedi Oetomo” (Lihat hal. XVIII dan hal. 331)
kongres-boedi-oetomo-i-1908-jogja
Konggres I Boedi Oetomo (3-4 Oktober 1908) di Jogjakarta
Kedekatan Boedi Oetomo dengan Freemason terlihat pada masa-masa awal Boedi Oetomo didirikan.
Kongres pertama Boedi Oetomo yang berlangsung pada 3-4 Oktober 1908 di Jogjakarta awalnya ingin dilaksanakan di Loji milik Freemason. Namun, karena loji tersebut telah lebih dulu dipakai untuk acara pameran lukisan, kongres Boedi Oetomo yang rencananya diadakan di loji tersebut urung dilaksanakan.
“Adapoen roemah jang patoet akan tempat kongres itu sebetoelnya logegebouw (– bangunan loge Freemasonry, pen. –) orang Banjak di Djokja menamakan dia “roemah setan”, akan tetapi sajang pada waktu itoe roemah soedah diizinkan kepada seorang toean, akan diadakan tentoonstelling (pameran) gambar-gambar…” demikian seperti dikutip dari buku Pitut Soeharto dan Drs. A Zainoel Ihsan, ”Cahaya Di Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.”
Kedekatan Boedi Oetomo dengan organisasi Freemasonry dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut.
Buku “Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918” yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo , memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota Boedi Oetomo berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis Boedi Oetomo sebagai “Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda).
Dalam pertemuan di loji tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul “Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).
Bukti lain mengenai kedekatan Boedi Oetomo dengan Freemasonry bisa dilihat dari kiprah Paku Alam V, yang merupakan anggota Freemason, yang banyak membantu terselenggaranya kongres Boedi Oetomo di Surakarta.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurachman Surjomihardjo, dalam Kata Pengantar buku “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”, karya peneliti Jepang, Akira Nagazumi, mengatakan, “Paku Alam memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry).”
Penjelasan serupa juga ditulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku “Budi Utomo Cabang Betawi” yang menyebut Paku Alam VII mengizinkan Loji Mataram dijadikan tempat kongres Boedi Oetomo kedua.
Fakta sejarah lainnya mengenai kedekatan Boedi Oetomo  dengan  Freemason  dan  Theosofi  adalah pertemuan akbar yang dilakukan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya  Boedi Oetomo pada 20 Mei 1918. Acara peringatan tersebut diadakan di Belanda, di sebuah loji milik Theosofi. Mereka yang berkumpul dalam perayaan tersebut selain para aktivis Freemason Belanda, juga dihadiri oleh tokoh-tokoh nasionalis-Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Surat Kabar Oedaya pada 1923 memuatfoto para aktifis Boedi Oetomo dan Theosofi dengan tulisan ”Masyarakat Indonesia Memperingati 10 Tahun Boedi Oetomo di rumah (loge, red) Theosofi, Mei 1918 di Negeri Belanda.”
Hubungan erat antara Boedi Oetomo dengan Freemason tersebut membawa dampak pada sikap keagamaan para anggota/aktivis Boedi Oetomo, dimana mereka seringkali mengeluarkan  ungkapan-ungkapan yang tidak semestinya terhadap Islam.
Penggagas organisasi Boedi Oetomo, dr. Wahidin Soediro Hoesodo adalah merupakan  anggota Theosofi, sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbala Yahudi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky.
Anggota Theosofi-Freemason tidak percaya untuk berdo’a kepada Allah سبحانه وتعالى, Sang Maha Pencipta. Mereka juga tidak mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota  Theosofi  yang mengaku Muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan pemahaman yang menyimpang. Contohnya adalah dalam sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok Theosofi bernama Majalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia Tahun 1930  menyebut Candi Borobudur sebagai “Baitullaah di Tanah Java”. Theosofi menganggap, antara Baitullaah di Makkah dan Baitullaah di Tanah Java sama saja nilainya.
Kemudian Majalah Bangoen yang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat ungkapan-ungkapan yang tidak patut terhadap istri-istri Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan syariat poligami. Selain itu, sebuah surat kabar bernama Djawi Hisworo yang dikelola oleh para penganut kebatinan Theosofi juga melakukan pernyataan yang tidak pantas terhadap pribadi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Pada tanggal 8 dan 11 Januari tahun 1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat artikel yang menyebut Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم  sebagai pemabuk dan pemadat. Pernyataan yang tidak sepantasnya inilah yang kemudian memunculkan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad dibawah pimpinan HOS. Cokroaminoto dimana salah satu anggotanya adalah KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Salah satu pimpinan Boedi Oetomo, yaitu Dr. Radjiman Wediodiningrat (yang juga merupakan tokoh yang memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang menjadi awal dari lahirnya dasar negara Indonesia (Pancasila), dengan bangga menyatakan bahwa, “Bakat dan kemampuan orang Jawa yang ada pada para aktivis Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang ajaran Islam yang dianut oleh para aktivis Sarekat Islam.”
Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917, ketika umat Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar organisasi ini memperhatikan aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas menolaknya. Radjiman mengatakan, “Sama sekali tidak bisa dipastikan bahwa orang Jawa di Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.”
Radjiman yang merupakan ketua Boedi Oetomo tahun 1914-1915 itu sendiri adalah anggota  Freemasonry dan perhimpunan Theosofi.
Tokoh utama Boedi Oetomo yakni dr. Soetomo, dalam buku “Kenang-kenangan Dokter Soetomo” yang dihimpun oleh Paul W. van der Veur, disebutkan dr. Soetomo pernah mengatakan bahwa pemancaran zat Tuhan, “Itulah sebenarnya keyakinan saya. Itulah keyakinan yang mengalir bersama darah dalam segala urat tubuh saya. Sungguh, sesuai-sesuai benar.” (hal. 30). Soetomo juga mengatakan, “Aku dan Dia satu dalam hakikat, yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar…” (hal.31).
Ini menunjukkan bahwa dr. Soetomo seorang penganut  paham sesat “Manunggaling Kawula Gusti” buatan Syech Siti Jenar.
Dr. Soetomo juga seorang penganut Theosofi; sebagaimana pengikut aliran theosofi lainnya, maka dia tidak melakukan shalat lima waktu selayaknya umat Islam lainnya, melainkan melakukan semedi, meditasi, yoga, dan sebagainya. Ia lebih mementingkan “semedi” untuk mendapat ketenangan hidup, ketimbang shalat. Dengan rasa bangga, saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) padatahun 1937, Soetomo mengatakan, “Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Ada fakta lain yang lebih mencengangkan, bahwa dalam sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedi Oetomo dibawah asuhan dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, yakni dr. Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan pemerintahan Islam dibawah Khilafah Islamiyah. Pada tahun 1928, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS. Tjokroaminoto.
Demikianlah, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa gerakan-gerakan awal di Indonesia, seperti Boedi Oetomo sangat terwarnai dan dipengaruhi oleh Zionisme Yahudi dengan kepanjangan tangannya berupa Freemasonry (Tarekat Mason Bebas) yang sudah sangat menyebar diseluruh Nusantara. Banyak faktor yang menyebabkan tokoh-tokoh Nasionalis ini berpendirian demikian, salah satunya adalah pengetahuan mereka yang minim tentang politik menurut Islam (Siyassah Syar’iyyah) dan informasi bias yang mereka terima melalui literatur berbahasa Belanda dan Eropa yang tidak diimbangi dengan literatur Islam yang lengkap dan benar. (sumber: .akhirzaman.info)
II.2. Abdurrahman Wahid dan Keppres nomor 69 tahun 2000
Pada bulan Februari 1961, lewat Lembaran Negara nomor 18/1961, Presiden Soekarno membubarkan  dan melarang keberadaan Freemasonry di Indonesia.
Lembaran Negara ini kemudian dikuatkan oleh Keppres Nomor 264 tahun 1962 yang membubarkan dan melarang Freemasonry dan segala “derivat”-nya seperti Rosikrusian, Moral  Rearmament, Lions Club, Rotary Club, dan Baha’isme. Sejak itu, loji-loji mereka disita oleh negara.
Namun 38 tahun kemudian pada saat Presiden Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden  Indonesia ke-4, ia mencabut Keppres nomor 264/1962 tersebut dengan mengeluarkan Keppres nomor 69 tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000.
Sejak itulah, keberadaan kelompok-kelompok Yahudi seperti Organisasi Liga Demokrasi,  Rotary Club,  Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia) atau Freemasonry Indonesia, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (AMORC) dan Organisasi Baha’i menjadi resmi dan sah kembali di Indonesia.
Sungguh ironis, Keppres no 69/2000 yang dikeluarkan oleh Abdurrahman Wahid tersebut sampai sekarang masih saja berlaku dan belum dicabut.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 69 TAHUN 2000
TENTANG
PENCABUTAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 264 TAHUN1962
TENTANG LARANGAN ADANYA ORGANISASI LIGA DEMOKRASI, ROTARY CLUB,DIVINE LIFE SOCIETY, VRIJMETSELAREN-LOGE (LOGE AGUNG INDONESIA),MORAL REARMAMENT MOVEMENT, ANCIENT MYSTICAL ORGANIZATIONOF ROSI CRUCIANS (AMORC), DAN ORGANISASI BAHA’I
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
1.    bahwa pembentukan organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan pada hakekatnya merupakan hak asasi setiap warganegara Indonesia;
2.    bahwa larangan terhadap organisasi-organisasi sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip demokrasi;
3.    bahwa meskipun dalam kenyataannya Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 sudah tidak efektif lagi, namun untuk lebih memberikan kepastian hukum perlu secara tegas mencabut Keputusan Presiden tersebut;
4.    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, b, dan huruf c di atas, maka dipandang perlu untuk mencabut Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962;
Mengingat :
1.    Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.    Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PENCABUTAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 264 TAHUN 1962 TENTANG LARANGAN ADANYA ORGANISASI LIGA DEMO-KRASI, ROTARY CLUB, DIVINE LIFE SOCIETY, VRIJMET-SELAREN-LOGE (LOGE AGUNG INDONESIA), MORAL REARMAMENT MOVEMENT, ANCIENT MYSTICAL ORGANIZATION OF ROSI- CRUCIANS (AMORC), DAN ORGANISASI BAHA’I.
Pasal 1
Mencabut Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 tentang Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (AMORC) dan Organisasi Baha’i.
Pasal 2
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ABDURRAHMAN WAHID

(sumber:indocropcircles.wordpress.com)
Itulah fakta yang terjadi. Sesudah pencabutan Keppres nomor 264/1962 maka hiduplah dengan leluasa isme-isme Yahudi dan berbagai kesesatan lainnya, karena alasan yang mereka gunakan adalah selalu berdalih dengan “Hak Asasi Manusia”, disisi lain mereka melupakan “Hak Allah سبحانه وتعالى” untuk ditaati dan dipatuhi oleh ciptaan-Nya.
Semestinya kalau Presiden-Presiden berikutnya dan pemerintah Indonesia berpihak kepada bangsa, negara dan rakyat banyak yang mayoritasnya adalah Muslimin, tentulah mereka akan mencabut kembali Keppres nomor 69 tahun 2000 tersebut. Karena ini adalah menyangkut perkara ‘aqiidah kaum Muslimin.
Namun fakta yang terjadi adalah Keppres tersebut dibiarkan begitu saja. Dan hal ini menunjukkan keberhasilan kaum Freemasonry Yahudi dalam menunaikan Program Internasional  mereka yakni dengan cara merekrut orang-orang yang memiliki kedudukan penting di masyarakat (pimpinan masyarakat/negeri) agar mereka berkhidmat serta berkontribusi untuk FreemasonryYahudi. Pada akhir kajian ini, kaum Muslimin dapat melihat sendiri video pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa ia akan bekerja keras agar Israel diakui oleh Republik Indonesia.
Ini semua membuktikan bahwa Freemasonry Yahudi dan aksi-aksi mereka bukanlah sekedar mitos, melainkan keberadaan dan cengkraman mereka benar-benar nyata di tanah air kita ini . . . . . bersambung !