Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di
tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha
mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama
bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan
(Wali Songo) dalam menanggulangi masalah adat istiadat lama bagi mereka
yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI
dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin
oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan
Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain. Aliran ini
dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran
Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka
rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala
adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari'at Islam tanpa
reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan
Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN
adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga)
yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan
Gunung Djati. Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu
terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan
lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau
memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari'at
Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat Budha,
Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya
aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan
pengikut aliran Giri yang "radikal". aliran ini sangat disorot oleh
aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari'at Islam dengan agama
lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dengan
ajarah agama Hindu yang terdapat dalam Kitab Brahmana. Sebuah kitab
yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk
menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati
orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna Besar
dan Yajna Kecil.
Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian
yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayjna adalah upacara khusus untuk
orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna
terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna,
Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat
berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah
upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh
orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada
suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman,
yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia,
binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan
lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari
roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke
40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah
keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan
upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci
untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma
menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan
upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci
(membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang
dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa
makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa,
kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian
suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.*1
Musyawarah Para Wali*2
Pada
masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan
musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi
orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga
selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar
adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara
Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut
menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu
benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat
menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan
Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu
para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah
mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
"Apakah tidak
dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan
dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah
hal ini tidak akan menjadikan bid'ah"?.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :
"Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga" Sekalipun
Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui,
akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali
Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat
itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama
Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang
Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino,
mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
Dari akibat
lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang
berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta
upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah
heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar
merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan
ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran
klenik/aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang
disebut "Manunggaling Kaula Gusti" yang artinya Tuhan menyatu dengan
tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat,
puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.
Sekalipun
Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang
cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan
seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam
setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang
sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi para raja
Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan
syari'at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja
Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran
Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha
dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran
Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja
Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan
masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan
Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang
sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo, Santri
Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang
keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II
sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang
menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang
Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh
habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan
demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen.
Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak
(moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang
ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada
orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam
upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan
berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis
habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre
Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta
bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk
mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah,
karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia
telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al
Qur'an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan
bid'ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan
tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha
mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme
yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran
pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti
umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut
disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata
ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk
membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai
keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu,
yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam,
yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang
dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia
bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama "Nahdhatul
Ulama" yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan
suatu keputusan yang antara lain :
"Setiap acara yang bersifat
keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya
seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat".
Keputusan ini
nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara
yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara
kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre
Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai
sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara
kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di
Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini.
Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi
di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya
diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam
kematian ini.
Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan
dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi
mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan
bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut
berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu
sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau
kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam
justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.
Tak cukupkah
bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yg sudah jelas
terang benderang saja yang kita kerjakan. Kenapa harus
ditambah-tambahin/mengada-ada. Mereka beranggapan ajaran Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masih kurang sempurna.
KH.
Ahmad Dahlan yang semasa kecilnya bernama Muhammad Darwis dilahirkan di
Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah KH. Abu Bakar, Imam dan
Khatib Masjid Besar Kauman, dan Ibu yang bernama Siti Aminah binti KH.
Ibrahim penghulu besar di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi
pekerjaan ayahnya menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah ia
melihat praktek-praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi
dalem Kraton, sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki
keadaan.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan oleh Dahlan pada
mulanya bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama di
kalangan penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli
berbunyi (dengan ejaan baru):
Maka perhimpunan itu maksudnya :
a.
Menyebarkan pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residentie Yogyakarta.
b. Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Berkat
kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin organisasinya, maka dalam
waktu singkat organisasi itu mengalami perkembangan pesat sehingga tidak
lagi dibatasi pada residensi Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh
Jawa dan menjelang tahun 1930 telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa.
Misi
utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid)
pemahaman agama. Adapun yang dimaksudkan dengan pembaharuan oleh
Muhammadiyah ialah yang seperti yang dikemukakan M. Djindar Tamimy:
Maksud dari kata-kata “tajdid” (bahasa Arab) yang artinya “pembaharuan”
adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya :
Pertama : berarti pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada
keasliannya/ kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya mengenai
soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-ubah.
Kedua : berarti pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu
sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik, strategi,
taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu, yang sifatnya
berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu.
Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya.
Dapat
disimpulkan bahwa pembaharuan itu tidaklah selamanya berarti
memodernkan, akan tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan
ajaran.
Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bertujuan
menegakkan agama Islam ditengah-tengah masyarakat, sehingga terwujud
masyarakat Islam sebenar-benarnya.
Islam sebagai agama terakhir,
tidaklah memisahkan masalah rohani dan persoalan dunia, tetapi
mencakup kedua segi ini. Sehingga Islam yang memancar ke dalam berbagai
aspek kehidupan tetaplah merupakan satu kesatuan suatu keutuhan.
Pembaharuan Islam sebagai satu kesatuan inilah yang ditampilkan
Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga dalam perkembangan sekarang ini
Muhammadiyah menampakkan diri sebagai pengembangan dari pemikiran
perluasan gerakan-gerakan yang dilahirkan oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai
karya amal shaleh.
Usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas
dapat dibagi ke dalam tiga bidang garapan, yaitu : bidang keagamaan,
pendidikan, dan kemasyarakatan.
Pembaharuan
dalam bidang keagamaan ialah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar
yang berlaku abadi, yang karena waktu, lingkungan situasi dan kondisi,
mungkin menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas tampak dan
tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran tambahan lain.
Di atas
telah disebutkan bahwa yang dimaksud pembaharuan dalam bidang keagamaan
adalah memurnikan kembali dan mengembalikan kepada keasliannya. Oleh
karena itu dalam pelaksanaan agama baik menyangkut aqidah (keimanan)
ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan aslinya, yaitu
sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran dan dituntunkan
oleh Nabi Muhammad SAW, lewat sunah-sunahnya.
Dalam masalah
aqidah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni,
bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khufarat tanpa
mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran Islam, sedang dalam
ibadah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut sebagaimana
yang dituntunkan Rasulullah SAW tanpa tambahan dan perubahan dari
manusia.
Dengan kembali kepada ajaran dasar ini yang populernya
disebut pada Al-Qur’an dan Hadits, Muhammadiyah berusaha menghilangkan
segala macam tambahan yang datang kemudian dalam agama. Memang di
Indonesia keadaan ini terasa sekali, bahwa keadaan keagamaan yang
nampak adalah serapan dari berbagai unsur kebudayaan yang ada.
Di
antara praktek-praktek dan kebiasaan yang bukan berasal dari agama
Islam antara lain : pemujaan arwah nenek moyang, benda-benda keramat,
berbagai macam upacara dan selamatan, seperti pada waktu-waktu tertentu
pada waktu hamil, pada waktu puput pusar, khitanan, pernikahan, dan
kematian. Upacara dan do’a yang diadakan pada hari ke-3, ke-5, ke-40,
ke-100, ke-1000 setelah meninggal. Peristiwa penting yang berssfat
sosial yang berhubungan dengan kepercayaan seperti kenduri/ slametan
pada bulan Sya’ban dan Ruwah. Berziarah ke makam orang-orang suci dan
minta dido’akan. Begitu pula orang sering kali meminta nasehat dan
bantuannya kepada petugas agama di desa (seperti modin, rois, kaum)
dalam hal-hal yang berhubungan dengan takhayul, misal untuk menolak
pengaruh penyakit, yang untuk itu biasanya mereka diberi/dibacakan
do’a-do’a dalam bahasa Arab, yang di antara do’a tersebut tidak jarang
bagian-bagian yang berbau Agama Hindu atau animisme dari zaman kuno, dan
sebagainya.
Terhadap tradisi dan kepercayaan di atas
banyak orang Islam yang menganggap bahwa hal tersebut termasuk
amalan-amalan keagamaan, atau setidak-tidaknya hal tersebut tidak
bertentangan.
Terhadap tradisi, adat kebiasaan dan berbagai macam kepercayaan di atas banyak kaum muslimin yang melakukannya tanpa reserve, bahkan mereka menganggap bahwa hal di atas termasuk keharusan menurut agama.
Untuk itu Muhammadiyah berusaha meluruskan kembali dengan memberantas segala bentuk bid’ah dan khurafat sepeti bentuk di atas.
Usaha
Muhammadiyah untuk memurnikan keyakinan umat Islam Indonesia, ialah
Muhammadiyah telah mengenalkan penelaahan kembali dan pengubahan
drastis, jika diperlukan, menuju penafsiran yang benar terhadap
Al-Qur’an dan Al-Hadits.