Tuesday 14 August 2012

> > Inilah Makna Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya

Inilah Makna Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya


Sering kita mendengar seseorang mengatakan "Aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya", atau seruan "Kita harus mencintai Allah dan Rasul-Nya." Tapi, apa sesungguhnya makna mencintai Allah dan Rasul-Nya itu?.

Al-Azhari berkata, “Arti cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati dan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.” Al-Baidhawi berkata, “Cinta adalah keinginan untuk taat.” Ibnu Arafah berkata, “Cinta menurut istilah orang arab adalah menghendaki sesuatu untuk meraihnya” Al-Zujaj berkata, “Cintanya manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati keduanya dan ridha terhadap segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa Rasulullah saw.” Sedangkan arti cinta Allah kepada hamba-Nya adalah ampunan, ridha dan pahala.

Al-Baidhawi berkata ketika menafsirkan firman Allah: Niscaya Allah akan mencintaimu dan memberikan ampunan kepadamu (TQS. Ali ‘Imran [3]: 31 ). Maksudnya, pasti Allah akan ridha kepadamu. Al-Azhari berkata, “Cinta Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan kenikmatan kepadanya dengan memberi ampunan.” Allah berfirman: Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir (TQS. Ali ‘Imran [3]: 32). Maksudnya, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka.

Sufyan bin Uyainah berkata, “Arti dari niscaya Allah akan mencintaimu adalah Allah akan mendekat padamu. Cinta adalah kedekatan. Arti Allah tidak mencintai orang-orang kafir adalah Allah tidak akan mendekat kepada orang kafir.” Al-Baghawi berkata, “Cinta Allah kepada kaum Mukmin adalah pujian, pahala, dan ampunan-Nya bagi mereka.” Al-Zujaj berkata, “Cinta Allah kepada makhluk-Nya adalah ampunan dan nikmatnya-Nya atas mereka, dengan rahmat dan ampunan-Nya, serta pujian yang baik kepada mereka.

Cinta dalam arti yang telah disebutkan di atas merupakan suatu kewajiban. Karena mahabbah (cinta) merupakan salah satu kecenderungan yang akan membentuk nafsiyah seseorang. Kecenderungan ini terkadang berupa perkara alami yang berbentuk naluri yang bersifat fitri (sesuai dengan penciptaan Allah). Naluri seperti ini tidak berhubungan dengan mafhum (pemahaman) apapun; seperti kecenderungan manusia terhadap kepemilikan, kecintaan pada kelestarian dirinya, kecintaan pada keadilan, kecintaan pada keluarga, anak, dan sebagainya. Namun kecenderungan ini terkadang juga merupakan dorongan yang berhubungan dengan mafhum tertentu. Mafhum inilah yang nantinya akan menentukan jenis kecenderungan tersebut. Misalnya, bangsa Indian, mereka tidak mencintai bangsa Eropa yang bermigrasi ke negeri mereka (karena menjajah mereka, ed.). Sementara itu kaum Anshar mencintai orang-orang Muhajirin (dari Makkah) yang berhijrah ke mereka (Madinah). Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah jenis kecintaan yang terikat dengan mafhum syar’i, yang telah diwajibkan oleh Allah.

Dalil dari Al-Quran tentang hal ini adalah: Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. (TQS. Al-Baqarah [2]: 165).

Maknanya, orang-orang beriman itu lebih besar kecintaannya kepada Allah dibandingkan dengan kecintaan orang-orang musyrik kepada tuhan-tuhan tandingan selain Allah.

Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.
(TQS. At-Taubah [9]: 24).

Red : Shodiq ramadhan
Sumber: Min Muqawimmat Nafsiyah Islamiyah / Suara Islam