Monday 13 August 2012

> > Shidq

Shidq


“Sifat shidq melahirkan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan kepada syurga. Seseorang bersifat shidq sehingga Allah menetapkannya sebagai shaddiq (orang yang shidq). Sesungguhnya kidzb --dusta; lawan shidq-- itu mengantarkan kepada perbuatan dosa dan dosa itu mengantarkan ke neraka. Seorang bersikap kidzb sehingga Allah menetapkannya sebagai kadzab (pendusta).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Shidq –secara bahasa berarti : kejujuran atau kebenaran- merupakan sifat dasar yang tidak bisa tidak harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah. Karena melalui ia lah kemudian seorang hamba dapat berinteraksi langsung dengan Allah subhanahu wa ta’ala tanpa sekat sedikit pun.

Sekat yang dimaksud adalah penyakit yang kerap kali menjadi benalu dalam ruang-ruang hati kita. Salah satunya adalah kidzb yang dalam riwayat di atas disebutkan akan membawa kita kepada siksa-Nya di neraka.

Selain itu, sifat shidq akan melahirkan keikhlasan yang abadi. Sehingga kita dapat katakan bahwa shidq lebih tinggi nilainya daripada keikhlasan itu sendiri. Dengan sendirinya, saat jiwa kita telah dihiasi dengan sifat shidq, maka kita akan terbebas dari debu-debu syirik, baik berupa riya’, sum’ah, atau yang lebih besar dari itu semua. Artinya, seorang yang shaddiq adalah orang yang telah jujur dan membenarkan perkataannya, niat atau kehendaknya, tekadnya, senantiasa menepati janji, serta beramal dan beraktivitas hanya berdasar atas kecintaannya terhadap Allah azza wa jalla.

Al Ustadz Jum’ah Amin Abdul ‘Aziz -mengutip perkataan Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab Maw’idzhat al-Mu’minin- menyebutkan bahwa derajat kejujuran itu tidak akan habisnya, karena seseorang itu kadang bisa bersifat shidq dalam satu hal, namun tidak bisa bersifat shidq pada lain hal, sehingga jika kejujuran itu secara menyeluruh, itulah kejujuran yang sebenarnya.[1] Karena pada dasarnya shidq itu berupa tingkatan, dari perkataan yang merupakan tingkatan paling rendah hingga shidq dalam amal dan segala aktivitas yang merupakan tingkatan yang paling tinggi, sedangkan tingkatan yang terbaik adalah mereka yang telah bersifat shidq dalam segala hal, dari perkataan hingga perbuatan. Baik aktivitas fisik ataupun aktivitas hati.

Maka kemudian, sudah sepatutnya kita merasa malu saat lisan berucap “wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal-ardha haniifan…” dan di saat yang sama hati dan pikiran kita justru jauh dari Allah, bahkan disibukkan dengan nafsu syahwati dan keinginan dunia yang fana. Bukankah pada saat itu kita telah menjadi bagian dari kadzabin..? Na’udzu billah…

Begitu pun saat lisan berkata “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin” namun di sisi lain ternyata masih diperbudak oleh dinar dan dirhamnya (hartanya). Maka sudah pasti sampailah pada diri kita apa yang telah disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, dan celakalah hamba sutra” (HR. Ibnu Majah). Karena pada hakikatnya kita telah menipu diri sendiri dan tentu saja telah menipu Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan bila kedustaan itu hanya terjadi dalam niat dan kehendak hati saja.

Semangat seorang shaddiq yang timbul dari segala aktivitasnya merupakan buah dari ketaatan dan perkataannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketaatan dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka (QS. Muhammad: 21). Semangat yang lahir dari sifat shidq tidak akan pernah surut apalagi padam. Allah senantiasa menjaga dan memeliharanya, di samping ia sendiri senantiasa memupuknya dengan iman dan taqwa. Sehingga ia tidak akan pernah rela dan ridha untuk memberikan sedikit pun loyalitas bagi selain Allah atau siapapun yang tidak dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Aktivitas seperti ini pula yang kemudian akan menghadirkan sifat amanah, tadhhiyah, tsabat, dan tajarrud (amanah, pengorbanan, keteguhan, dan totalitas/ kemurnian).

Seorang shaddiq tidak pernah terpengaruh oleh perkataan orang-orang di sekitarnya. Pujian ataupun cercaan yang hadir dalam ruang-ruang kehidupannya senantiasa dihadapi dengan tawakkal kepada Allah. Ia tidak akan merasa tinggi hati saat pujian menghampirinya, sebagaimana ia tidak akan merasa rendah diri saat orang-orang tidak mengapresiasi segala aktivitasnya dengan positif, bahkan mereka mencaci, memaki, dan memerangi. Ibadah seorang shaddiq tidak akan tampak berbeda di setiap tempat dan waktu. Kekhusyu’an shalatnya senantiasa ia jaga saat ia sendiri berdiri di sepertiga malam atau pada saat ia berdiri di depan menjadi imam. Tidak terasa berbeda saat ia sendiri atau saat ia berkumpul bersama-sama.

Pandangannya tertunduk bukan karena merasa rendah ataupun takut di hadapan makhluq, namun semua itu semata-mata berdasar atas cinta, rindu, dan takutnya ia kepada Allah swt. Karena ia tahu bahwa Allah Maha Pencemburu. Tutur katanya yang halus dan lembut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari seorang shaddiq. Wajahnya senantiasa bercahaya, memancarkan sinar ruhiyah karena sifat shidq-nya. Semangatnya senantiasa membara dalam menuntut ilmu dan beramal, sehingga ia selalu bisa optimal dalam setiap amanah yang diembannya. Ia akan selalu berangkat baik dalam keadaan ringan atau berat. Karena ia tahu bahwa aktivitasnya adalah aktivitas cinta seorang hamba terhadap Sang Khaliq. Sehingga ia tidak pernah mengharapkan apapun dari aktivitasnya selain keridhaan Sang Khaliq untuk menjumpainya di syurga ‘Adn.

Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya). (QS. Al-Ahzab: 23)

Penulis : Rd. Laili Al Fadhli
[Ketua Mahasiswa Pecinta Islam (MPI) Bandung dan Staf Humas Mahasiswa Pecinta Islam (MPI) Pusat]