Wednesday 29 August 2012

> > Seandainya Ketaqwaan ada Sertifikatnya, Refleksi Idul Fitri . . .

Seandainya Ketaqwaan ada Sertifikatnya, Refleksi Idul Fitri . . .


Saya membayangkan, pada satu saat setelah selesainya bulan Ramadhan malaikat turun kebumi membawa sertifikat yang telah ditanda-tangani, telah dicap stempel akherat, disana tertulis nama saya. Pernyataan dalam sertifikat tersebut : “Telah berhasil menjalani ibadah puasa dibulan Ramadhan dengan hasil memuaskan, dan untuk itu yang bersangkutan telah dianugerahi ketaqwaan dan dinyatakan telah bersih dari dosa seperti bayi yang baru lahir, demikianlah sertifikat ini dibuat dan diberikan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya”. Apa reaksi logis yang akan saya lakukan..?? apa yang akan anda perbuat kalau itu terjadi dengan diri anda..??

Saya pasti akan mencari pigura yang bagus, kalau bisa terbuat dari emas, berukir indah dengan hiasan permata, sertifikat tersebut akan saya gantung di dinding untuk bisa saya nikmati setiap waktu dengan bangga, tidak lupa saya akan mengadakan selamatan mengundang teman-teman, kalau perlu mengundang band D’masiv atau wayang kulit semalam suntuk, sebagai tanda syukur atas hadiah yang sudah diberikan. Lalu…?? Yaa…cuma sampai disitu, setelah itu saya akan kembali melanjutkan kehidupan dengan cara yang sama seperti sebelum Ramadhan, toh ketaqwaan sudah saya dapatkan dan saya sudah menikmatinya, nanti pada Ramadhan ditahun depan, saya akan bikin program lagi agar kembali bisa mendapatkan sertifikat yang sama.
Namun untungnya, ketaqwaan tidak ada sertifikatnya, selesai Ramadhan kita sama sekali tidak mengetahui apakah kita sudah berhasil menjalankan ibadah puasa tersebut dengan standard yang telah ditentukan oleh Allah, apakah Dia sudah menjadikan kita orang-orang yang bertaqwa sesuai apa yang dinyatakan-Nya dalam Al-Qur’an, ketika Ramadhan selesai kita hanya bisa berharap :”Semoga Allah menerima ibadah yang kita lakukan selama ini – taqabbalallahu minna wa minkum…”, atau sebaliknya kita hanyalah seseorang yang rugi seperti yang disampaikan oleh Rasulullah : “Berapa banyak orang yang puasa, tapi tidak dapat apa-apa kecuali haus dan lapar.” (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim).


Ketaqwaan ditanamkan Allah bukan dalam bentuk ‘hasil’, namun di menyatu dengan ‘proses’. Sebenarnya sangat gampang untuk mengidentifikasi apakah amal ibadah kita selama Ramadhan benar-benar telah mencapai hasil seperti yang ditetapkan, mengacu kepada apa niat kita ketika memulainya. Apabila kita memasang niat diawal Ramadhan memang untuk mendapatkan ketaqwaan, maka itu pula yang akan kita peroleh, karena selama menjalankan ibadah tersebut kita akan selalu mengisi hati kita dengan pertanyaan : “Apakah saya sudah maksimal menjalankannya, sudah mengisi hari-hari dibulan Ramadhan dengan memperbanyak shalat, meningkatkan kualitas shalat fardhu dengan sebanyak mungkin mengerjakannya di mesjid, menyediakan waktu lebih untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an, banyak bersedekah dan berbuat kebaikan. .”. Bagi kita yang menetapkan niat hanya karena menjalankan kewajiban, maka di akhir Ramadhan yang kita rasakan adalah kebebasan kembali dari ‘tugas berat’ yang tidak kita sukai menjalankannya. Setiap hari di bulan Ramadhan selalu kita isi dengan ‘penantian panjang’ kapan waktu berbuka, lalu setelah sahur hati kita selalu resah mengingat jam-jam berikut yang harus kita isi dengan keterikatan, tidak boleh makan-minum, jangan berbuat aneh-aneh seperti ngobrol membuang waktu atau sekedar menikmati wanita cantik yang lewat dihadapan, ketika Ramadhan berakhir kita berteriak gembira :”Merdekaaa…!!”.

Ketaqwaaan diberikan Allah bukan dalam bentuk deviden atau hasil usaha yang bisa kita nikmati dan habiskan begitu kita menerimanya, tapi itu diberikan Allah dalam bentuk ‘suntikan modal’ agar usaha kita dimasa yang akan datang bisa dijalankan dengan lebih berkembang dan lebih berkualitas, sehingga diharapkan akan menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar. Meminjam istilah krisis finansial kemaren, pada bulan Ramadhan, kita diberikan ‘stimulus ekonomi’ ketika perbuatan baik yang kita lakukan diganjar pahala yang berlipat, ibarat sebuah supermarket yang menggelar bulan promosi dengan ‘harga pahala’ yang diobral serendah mungkin, diskon besar-besaran, beli satu gratis satu, dengan jumlah uang yang sama kita bisa memperoleh barang yang lebih banyak, demikian pula amal kebaikan yang kita kerjakan dibulan Ramadhan akan menghasilkan pahala yang lebih banyak. Pahala yang kita dapat telah ditetapkan Allah bisa menghapus dosa-dosa kita :

[11:114]..Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.

Al-Ghazali mengatakan bahwa dosa itu ibarat kotoran yang menempel di qalbu, sedangkan qalbu ibarat cermin, ketika kotoran tersebut makin banyak dan tidak dibersihkan, qalbu kita tidak mampu lagi untuk menerima cahaya yang datang dari Allah, qalbu kita sudah membatu untuk bisa menerima kebenaran. Di bulan Ramadhan Allah memberikan kesempatan agar kita bisa membersihkan kotoran yang menempel dengan cara yang lebih gampang dan cepat, sehingga amal kebaikan kita selama Ramadhan menghasilkan ‘deterjen dengan formula khusus’, yang bekerja disaat Ramadhan selesai, qalbu kita kembali bersih dan bisa menerima cahaya kebenaran yang datang dari Allah. Indikasinya sangat terasa, kita begitu mudah tersentuh dan menangis ketika mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan, kesalehkan kita yang dikerjakan pada bulan Ramadhan berlanjut terus, merasa nikmat mengerjakan shalat di mesjid, tetap mencoba membaca Al-Qur’an setiap hari karena ada dorongan yang datang dalam hati, ada dorongan untuk berpuasa sunat, tergugah melihat kehidupan orang-orang lain yang mengalami kesulitan, tetap bersikap dermawan dan sering memberikan sedekah. Artinya ‘suntikan modal’ ketaqwaan dari Allah sudah bekerja. Disitulah dikatakan bahwa ketaqwaan tidak diberikan dalam bentuk ‘hasil’, melainkan dicantelkan kedalam ‘proses’ kita menjalani kehidupan selanjutnya. Kalau anda bisa merasakan hal tersebut, artinya ibadah anda selama Ramadhan sudah berhasil mencapai target yang telah ditetapkan Allah.

Lalu apakah dimasa-masa mendatang kita akan menjalankan kehidupan yang damai sejahtera, tenteram, bahagia, mengalami kenikmatan hidup yang terus-menerus yang lebih bahagia dibandingkan sebelumnya..?? Orang yang bertaqwa tidak akan mempermasalahkan soal itu, karena kebahagiaan, kesejahteraan, kenikmatan selalu datang silih berganti dengan kesengsaraan, kemalangan dan nestapa

[21:35] Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.

Hikmah Ramadhan terletak kepada kesiapan jiwa kita untuk menghadapi ujian Allah selanjutnya dan bukan terletak pada ada atau tidaknya cobaan yang akan mendatangi kita. Boleh jadi ujian tersebut akan kita hadapi dalam jumlah dan kualitas yang lebih tinggi, yang sanggup mengguncangkan hati, bisa dalam bentuk kehilangan sanak keluarga yang kita cintai, lenyapnya harta benda dan jabatan, penyakit, problema yang datang dari pasangan dan anak-anak, atau bisa juga hal yang sebaliknya : dapat jabatan baru dengan kekuasaan yang lebih besar, memperoleh harta melimpah sehingga sanggup membeli apapun, keberhasilan anak-anak yang akan membuat kita berbangga dan terlena.

Ketaqwaan yang diberikan membuat kita sanggup untuk menghadapi semuanya, tidak akan membuat kita menjadi manusia yang makin menjauhkan diri dengan Allah. Ketika Allah memberi kita ujian, Dia sebenarnya sudah menyatakan bahwa ujian tersebut akan sanggup kita hadapi, dan kalau kita cerdas untuk memanfaatkan kemampuan diri, maka kita akan kembali bergerak kepada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih dekat kepada Allah. Kebaikan dan keburukan yang ditimpakan akan merangsang kita untuk meningkatkan interaksi kita dengan Allah, membuat kita berusaha menghadirkan Allah dalam qalbu kita setiap saat, kebaikan akan membuat kita mengingat-Nya dengan rasa syukur, keburukan dan musibah akan memunculkan-Nya dalam rasa sabar, tidak ada satu kejadianpun yang akan membuat kita terputus hubungan dengan Allah. Interaksi itulah yang akan dinilai, apakah kita sudah menjalani kehidupan lebih baik dari sebelumnya berdasarkan penilaian Allah. Ketaqwaan merupakan ‘bahan bakar’ kita untuk makin mendekatkan diri kepada-Nya karena Allah sudah menetapkan posisi bagaimana Dia akan berinteraksi dengan kita :

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah Ta’ala berfirman : “Aku menurut sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam dirinya maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam kelompok orang-orang yang lebih baik dari kelompok mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika ia mendekat kepada-Ku sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil”. (Hadits ditakhrij oleh Bukhari).

Untung ketaqwaan tidak ada sertifikatnya, kalau ada maka kita mungkin saat ini sedang duduk-duduk didepan sertifikat tersebut yang digantung didinding berpigura indah dari emas, memandangnya dengan bangga, merasakan ‘kenikmatan’ status yang sudah kita dapatkan, dan kita tidak menyadari bahwa sebenarnya hidup kita telah berhenti. [sumber]