II. KAITAN FREEMASONRY DENGAN SEJARAH REPUBLIK INDONESIA
Dalam membahas kaitan Freemasonry dengan sejarah Republik Indonesia, maka akan kita bagi dalam 2 bagian, yaitu:
- Hubungan Boedi Oetomo dengan Freemasonry dan Theosofi
- Dicabutnya Keppres nomor 264 tahun 1962, yang kemudian digantikan dengan Keppres nomor 69 tahun 2000 di masa Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI.
II.1. Boedi Oetomo & Freemasonry Yahudi
Dr. Th Stevens penulis buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas yang besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa. Kata pengantar buku ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan dengan satu organisasi politik Indonesia pertama “Boedi Oetomo” (Lihat hal. XVIII dan hal. 331)
Konggres I Boedi Oetomo (3-4 Oktober 1908) di Jogjakarta
Kedekatan Boedi Oetomo dengan Freemason terlihat pada masa-masa awal Boedi Oetomo didirikan.
Kongres pertama Boedi Oetomo yang
berlangsung pada 3-4 Oktober 1908 di Jogjakarta awalnya ingin
dilaksanakan di Loji milik Freemason. Namun, karena loji tersebut telah
lebih dulu dipakai untuk acara pameran lukisan, kongres Boedi Oetomo
yang rencananya diadakan di loji tersebut urung dilaksanakan.
“Adapoen roemah jang patoet akan tempat
kongres itu sebetoelnya logegebouw (– bangunan loge Freemasonry, pen. –)
orang Banjak di Djokja menamakan dia “roemah setan”, akan tetapi sajang
pada waktu itoe roemah soedah diizinkan kepada seorang toean, akan
diadakan tentoonstelling (pameran) gambar-gambar…” demikian seperti
dikutip dari buku Pitut Soeharto dan Drs. A Zainoel Ihsan, ”Cahaya Di
Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.”
Kedekatan Boedi Oetomo dengan organisasi
Freemasonry dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah berdirinya
organisasi tersebut.
Buku “Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918” yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo , memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota Boedi Oetomo berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis Boedi Oetomo sebagai “Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda).
Buku “Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918” yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo , memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota Boedi Oetomo berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis Boedi Oetomo sebagai “Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda).
Dalam pertemuan di loji tersebut,
Labberton memberikan ceramah berjudul “Theosofische in Verband met Boedi
Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).
Bukti lain mengenai kedekatan Boedi
Oetomo dengan Freemasonry bisa dilihat dari kiprah Paku Alam V, yang
merupakan anggota Freemason, yang banyak membantu terselenggaranya
kongres Boedi Oetomo di Surakarta.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Abdurachman Surjomihardjo, dalam Kata Pengantar buku
“Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”, karya
peneliti Jepang, Akira Nagazumi, mengatakan, “Paku Alam memberikan
pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya
mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry).”
Penjelasan serupa juga ditulis
Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku “Budi Utomo Cabang Betawi” yang
menyebut Paku Alam VII mengizinkan Loji Mataram dijadikan tempat kongres
Boedi Oetomo kedua.
Fakta sejarah lainnya mengenai kedekatan
Boedi Oetomo dengan Freemason dan Theosofi adalah pertemuan akbar
yang dilakukan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi
Oetomo pada 20 Mei 1918. Acara peringatan tersebut diadakan di Belanda,
di sebuah loji milik Theosofi. Mereka yang berkumpul dalam perayaan
tersebut selain para aktivis Freemason Belanda, juga dihadiri oleh
tokoh-tokoh nasionalis-Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan
Mangoenkoesoemo. Surat Kabar Oedaya pada 1923 memuatfoto para aktifis
Boedi Oetomo dan Theosofi dengan tulisan ”Masyarakat Indonesia
Memperingati 10 Tahun Boedi Oetomo di rumah (loge, red) Theosofi, Mei
1918 di Negeri Belanda.”
Hubungan erat antara Boedi Oetomo dengan
Freemason tersebut membawa dampak pada sikap keagamaan para
anggota/aktivis Boedi Oetomo, dimana mereka seringkali mengeluarkan
ungkapan-ungkapan yang tidak semestinya terhadap Islam.
Penggagas organisasi Boedi Oetomo, dr.
Wahidin Soediro Hoesodo adalah merupakan anggota Theosofi, sebuah
perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbala Yahudi yang
didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky.
Anggota Theosofi-Freemason tidak percaya
untuk berdo’a kepada Allah سبحانه وتعالى, Sang Maha Pencipta. Mereka
juga tidak mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota Theosofi yang
mengaku Muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan pemahaman yang
menyimpang. Contohnya adalah dalam sebuah majalah yang diterbitkan oleh
kelompok Theosofi bernama Majalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia
Tahun 1930 menyebut Candi Borobudur sebagai “Baitullaah di Tanah Java”.
Theosofi menganggap, antara Baitullaah di Makkah dan Baitullaah di
Tanah Java sama saja nilainya.
Kemudian Majalah Bangoen yang dikelola
oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat
ungkapan-ungkapan yang tidak patut terhadap istri-istri Rasulullah صلى
الله عليه وسلم dan syariat poligami. Selain itu, sebuah surat kabar
bernama Djawi Hisworo yang dikelola oleh para penganut kebatinan
Theosofi juga melakukan pernyataan yang tidak pantas terhadap pribadi
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Pada tanggal 8 dan 11 Januari tahun
1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat artikel
yang menyebut Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai pemabuk dan
pemadat. Pernyataan yang tidak sepantasnya inilah yang kemudian
memunculkan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad dibawah pimpinan HOS.
Cokroaminoto dimana salah satu anggotanya adalah KH. Ahmad Dahlan
pendiri Muhammadiyah.
Salah satu pimpinan Boedi Oetomo, yaitu
Dr. Radjiman Wediodiningrat (yang juga merupakan tokoh yang memimpin
jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang menjadi awal dari lahirnya dasar negara Indonesia
(Pancasila), dengan bangga menyatakan bahwa, “Bakat dan kemampuan orang
Jawa yang ada pada para aktivis Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang
ajaran Islam yang dianut oleh para aktivis Sarekat Islam.”
Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917,
ketika umat Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar organisasi ini
memperhatikan aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas menolaknya.
Radjiman mengatakan, “Sama sekali tidak bisa dipastikan bahwa orang Jawa
di Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.”
Radjiman yang merupakan ketua Boedi Oetomo tahun 1914-1915 itu sendiri adalah anggota Freemasonry dan perhimpunan Theosofi.
Tokoh utama Boedi Oetomo yakni dr.
Soetomo, dalam buku “Kenang-kenangan Dokter Soetomo” yang dihimpun oleh
Paul W. van der Veur, disebutkan dr. Soetomo pernah mengatakan bahwa
pemancaran zat Tuhan, “Itulah sebenarnya keyakinan saya. Itulah
keyakinan yang mengalir bersama darah dalam segala urat tubuh saya.
Sungguh, sesuai-sesuai benar.” (hal. 30). Soetomo juga mengatakan, “Aku
dan Dia satu dalam hakikat, yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan
yang sadar…” (hal.31).
Ini menunjukkan bahwa dr. Soetomo seorang penganut paham sesat “Manunggaling Kawula Gusti” buatan Syech Siti Jenar.
Dr. Soetomo juga seorang penganut
Theosofi; sebagaimana pengikut aliran theosofi lainnya, maka dia tidak
melakukan shalat lima waktu selayaknya umat Islam lainnya, melainkan
melakukan semedi, meditasi, yoga, dan sebagainya. Ia lebih mementingkan
“semedi” untuk mendapat ketenangan hidup, ketimbang shalat. Dengan rasa
bangga, saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra)
padatahun 1937, Soetomo mengatakan, “Kita harus mengambil contoh dari
bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang
bangsa Turki dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Ada fakta lain yang lebih mencengangkan,
bahwa dalam sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik
Boedi Oetomo dibawah asuhan dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh
A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain
berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan
jadikanlah Demak itu kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, yakni dr.
Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini
mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan Islam yang
membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan pemerintahan
Islam dibawah Khilafah Islamiyah. Pada tahun 1928, Tjipto
Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan
kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi
agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS. Tjokroaminoto.
Demikianlah, tidak berlebihan apabila
dikatakan bahwa gerakan-gerakan awal di Indonesia, seperti Boedi Oetomo
sangat terwarnai dan dipengaruhi oleh Zionisme Yahudi dengan kepanjangan
tangannya berupa Freemasonry (Tarekat Mason Bebas) yang sudah sangat
menyebar diseluruh Nusantara. Banyak faktor yang menyebabkan tokoh-tokoh
Nasionalis ini berpendirian demikian, salah satunya adalah pengetahuan
mereka yang minim tentang politik menurut Islam (Siyassah Syar’iyyah)
dan informasi bias yang mereka terima melalui literatur berbahasa
Belanda dan Eropa yang tidak diimbangi dengan literatur Islam yang
lengkap dan benar. (sumber: .akhirzaman.info)
II.2. Abdurrahman Wahid dan Keppres nomor 69 tahun 2000
Pada bulan Februari 1961, lewat Lembaran
Negara nomor 18/1961, Presiden Soekarno membubarkan dan melarang
keberadaan Freemasonry di Indonesia.
Lembaran Negara ini kemudian dikuatkan
oleh Keppres Nomor 264 tahun 1962 yang membubarkan dan melarang
Freemasonry dan segala “derivat”-nya seperti Rosikrusian, Moral
Rearmament, Lions Club, Rotary Club, dan Baha’isme. Sejak itu, loji-loji
mereka disita oleh negara.
Namun 38 tahun kemudian pada saat
Presiden Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Indonesia ke-4, ia
mencabut Keppres nomor 264/1962 tersebut dengan mengeluarkan Keppres
nomor 69 tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000.
Sejak itulah, keberadaan
kelompok-kelompok Yahudi seperti Organisasi Liga Demokrasi, Rotary
Club, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia)
atau Freemasonry Indonesia, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical
Organization Of Rosi Crucians (AMORC) dan Organisasi Baha’i menjadi
resmi dan sah kembali di Indonesia.
Sungguh ironis, Keppres no 69/2000 yang
dikeluarkan oleh Abdurrahman Wahid tersebut sampai sekarang masih saja
berlaku dan belum dicabut.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 69 TAHUN 2000
TENTANG
PENCABUTAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 264 TAHUN1962
TENTANG LARANGAN ADANYA ORGANISASI LIGA DEMOKRASI, ROTARY CLUB,DIVINE LIFE SOCIETY, VRIJMETSELAREN-LOGE (LOGE AGUNG INDONESIA),MORAL REARMAMENT MOVEMENT, ANCIENT MYSTICAL ORGANIZATIONOF ROSI CRUCIANS (AMORC), DAN ORGANISASI BAHA’I
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 69 TAHUN 2000
TENTANG
PENCABUTAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 264 TAHUN1962
TENTANG LARANGAN ADANYA ORGANISASI LIGA DEMOKRASI, ROTARY CLUB,DIVINE LIFE SOCIETY, VRIJMETSELAREN-LOGE (LOGE AGUNG INDONESIA),MORAL REARMAMENT MOVEMENT, ANCIENT MYSTICAL ORGANIZATIONOF ROSI CRUCIANS (AMORC), DAN ORGANISASI BAHA’I
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
1. bahwa pembentukan organisasi sosial
kemasyarakatan dan keagamaan pada hakekatnya merupakan hak asasi setiap
warganegara Indonesia;
2. bahwa larangan terhadap organisasi-organisasi sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip demokrasi;
3. bahwa meskipun dalam kenyataannya Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 sudah tidak efektif lagi, namun untuk lebih memberikan kepastian hukum perlu secara tegas mencabut Keputusan Presiden tersebut;
4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, b, dan huruf c di atas, maka dipandang perlu untuk mencabut Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962;
2. bahwa larangan terhadap organisasi-organisasi sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip demokrasi;
3. bahwa meskipun dalam kenyataannya Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 sudah tidak efektif lagi, namun untuk lebih memberikan kepastian hukum perlu secara tegas mencabut Keputusan Presiden tersebut;
4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, b, dan huruf c di atas, maka dipandang perlu untuk mencabut Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PENCABUTAN KEPUTUSAN PRESIDEN
NOMOR 264 TAHUN 1962 TENTANG LARANGAN ADANYA ORGANISASI LIGA DEMO-KRASI,
ROTARY CLUB, DIVINE LIFE SOCIETY, VRIJMET-SELAREN-LOGE (LOGE AGUNG
INDONESIA), MORAL REARMAMENT MOVEMENT, ANCIENT MYSTICAL ORGANIZATION OF
ROSI- CRUCIANS (AMORC), DAN ORGANISASI BAHA’I.
Pasal 1
Mencabut Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 tentang Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (AMORC) dan Organisasi Baha’i.
Mencabut Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 tentang Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (AMORC) dan Organisasi Baha’i.
Pasal 2
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
(sumber:indocropcircles.wordpress.com)
Ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
(sumber:indocropcircles.wordpress.com)
Itulah fakta yang terjadi. Sesudah
pencabutan Keppres nomor 264/1962 maka hiduplah dengan leluasa isme-isme
Yahudi dan berbagai kesesatan lainnya, karena alasan yang mereka
gunakan adalah selalu berdalih dengan “Hak Asasi Manusia”, disisi lain
mereka melupakan “Hak Allah سبحانه وتعالى” untuk ditaati dan dipatuhi
oleh ciptaan-Nya.
Semestinya kalau Presiden-Presiden
berikutnya dan pemerintah Indonesia berpihak kepada bangsa, negara dan
rakyat banyak yang mayoritasnya adalah Muslimin, tentulah mereka akan
mencabut kembali Keppres nomor 69 tahun 2000 tersebut. Karena ini adalah
menyangkut perkara ‘aqiidah kaum Muslimin.
Namun fakta yang terjadi adalah Keppres
tersebut dibiarkan begitu saja. Dan hal ini menunjukkan keberhasilan
kaum Freemasonry Yahudi dalam menunaikan Program Internasional mereka
yakni dengan cara merekrut orang-orang yang memiliki kedudukan penting
di masyarakat (pimpinan masyarakat/negeri) agar mereka berkhidmat serta
berkontribusi untuk FreemasonryYahudi. Pada akhir kajian ini, kaum
Muslimin dapat melihat sendiri video pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa
ia akan bekerja keras agar Israel diakui oleh Republik Indonesia.
Ini semua membuktikan bahwa Freemasonry
Yahudi dan aksi-aksi mereka bukanlah sekedar mitos, melainkan keberadaan
dan cengkraman mereka benar-benar nyata di tanah air kita ini . . . . . bersambung !