Thursday, 13 December 2012

> > Hukum Menggugurkan Janin Akibat Pemerkosaan

Hukum Menggugurkan Janin Akibat Pemerkosaan


Dr Musthafa, Ketua Muktamar Al-Alami untuk Pemeliharaan HAM di Bosnia Herzegovina  pernah menanyakan sesuatu yang menyakitkan dan membingungkan kepada Syekh Yusuf Qardhawi.

Pertanyaan Dr Musthafa ini ia kutip dari kasus beberapa orang remaja putri yang diperkosa oleh tentara Serbia yang kejam lagi bengis.

Tentara Serbia tersebut sering mengintimidasi umat Islam Bosnia serta  tidak mengindahkan kehormatan dan harkat manusia. Akibat kekejaman mereka, banyak gadis Muslimah yang  hamil.

Remaja putri Muslimah tersebut banyak menderita gangguan mental, ketakutan, sekaligus bingung dengan janin yang dikandungnya. Apakah sikap yang semestinya dilakukan oleh remaja putri yang menjadi korban tindak kriminalitas tersebut?

Apakah syarak memperbolehkan para remaja putri tersebut menggugurkan kandungan mereka? Kalau kandungan  itu dibiarkan hingga si janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka bagaimana hukumnya? Kemudian bagi wanita Muslimah yang diperkosa tersebut, sampai dimanakah tanggung jawabnya terhadap janin yang dikandungnya?



Menyikapi hal yang pelik ini, Syekh Yusuf Qardhawi menjawab hal ini dalam muktamar yang diselenggarakan di Zagreb, ibukota Kroasia. Syekh Al-Ghazali yang juga hadir dalam muktabar tersebut juga menyerahkan  persoalan ini kepada Qardhawi untuk menjawabnya.

Pertanyaan  yang serupa pernah diajukan kepada Qardhawi oleh Muslim di Eritrea mengenai  nasib  yang  menimpa anak-anak  dan  saudara-saudara  perempuan  mereka akibat ulah tentara  Nasrani  yang  tergabung  dalam  pasukan   pembebasan Eritrea.

Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan beberapa tahun  lalu oleh  sekelompok  wanita  Mukminah  dari penjara orang-orang zalim jenis thaghut di beberapa negara  Arab  Asia kepada  sejumlah  ulama di negara-negara Arab. Isinya, apa yang harus  mereka  lakukan  terhadap  kandungan  mereka  yang merupakan  kehamilan  haram  yang  terjadi karena pemerkosaan dan sama sekali bukan atas kehendak mereka.

Pertama-tama, Qardhawi menerangkan bahwa sama sekali wanita-wanita tersebut tidak menanggung dosa sama sekali terhadap apa yang terjadi pada diri mereka, selama mereka sudah berusaha menolak dan memeranginya.

Mereka yang dipaksa di bawah acungan senjata dan  di  bawah  tekanan  kekuatan yang besar, apalah yang dapat diperbuat oleh wanita tawanan yang tidak punya kekuatan di hadapan para penawan atau pemenjara yang bersenjata lengkap yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh  belas kasihan kepada makhluk?


Allah SWT tidak menganggap dosa dari orang yang terpaksa dalam masalah yang lebih besar daripada zina, yaitu kekafiran dan mengucapkan kalimatul-kafri.

Firman-Nya, "Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)." (QS. An-Nahl: 106).

Bahkan Alquran mengampuni dosa (tidak berdosa) orang yang dalam keadaan darurat, meskipun ia masih punya sisa kemampuan lahiriah untuk berusaha, hanya saja tekanan kedaruratannya lebih  kuat.

Allah  berfirman setelah menyebutkan macam-macam makanan yang diharamkan, “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang." (QS. Al-Baqarah: 173).

Rasulullah SAw bersabda,"Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas suatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya."

Qardhawi menasihatkan kepada pemuda-pemuda Muslim agar mendekatkan diri kepada Allah dengan menikahi salah seorang dari wanita-wanita tersebut. Dengan tujuan untuk mengobati  luka hati mereka yang telah kehilangan sesuatu yang paling berharga sebagai wanita terhormat dan suci.

Adapun menggugurkan kandungan, maka pada dasarnya hal ini terlarang. Semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan, yang dari keduanya muncul makhluk yang baru  dan menetap di dalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim.

Maka  makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari hubungan yang haram seperti zina. Dan Rasulullah SAW telah memerintahkan wanita Ghamidiyah yang mengaku telah berbuat zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu sampai melahirkan anaknya.

Setelah itu ia disuruh menunggu sampai anaknya selesai masa menyusui. Baru  setelah  itu dijatuhi hukuman rajam.

Inilah fatwa yang dipilih Qardhawi untuk keadaan normal, meskipun ada sebagian fukaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan asalkan belum berumur 40 hari. Hal ini berdasarkan sebagian riwayat yang mengatakan bahwa peniupan roh terhadap janin itu terjadi pada waktu berusia 40 atau 42 hari.

Bahkan sebagian fukaha ada  yang  memperbolehkan  menggugurkan kandungan  sebelum berusia 120 hari, berdasarkan riwayat yang masyhur bahwa peniupan roh terjadi pada waktu itu.
 

Namun, Qardhawi sendiri berpendapat  dan yang ia pandang kuat ialah pendapat yang melarang hal tersebut.

Meskipun dalam keadaan uzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di antara  dua  pendapat  terakhir  tersebut.

Apabila uzurnya semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas. Dan bila hal itu terjadi sebelum berusia 40 hari, maka yang demikian lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).

Selain  itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan dari musuh yang kafir dan durhaka,  yang  melampaui  batas  dan  pendosa, terhadap wanita Muslimah yang suci dan bersih, merupakan uzur yang kuat bagi si Muslimah dan keluarganya  karena  ia  sangat benci  terhadap  janin  hasil pemerkosaan tersebut serta ingin terbebas  daripadanya.

Maka, ini merupakan rukhshah yang difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar ukurannya. Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fukaha  yang  sangat ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan kandungan meskipun baru berusia satu  hari. 

Bahkan, ada  pula yang  mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik dari pihak laki-laki  maupun dari pihak perempuan, ataupun  dari kedua-duanya. Hal ini dengan beralasan beberapa hadis yang menamakan nazl  sebagai pembunuhan  tersembunyi  (terselubung). Maka tidaklah  mengherankan  jika  mereka  mengharamkan pengguguran setelah terjadinya kehamilan.

Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang ketat yang melarangnya.

Sedangkan pendapat yang  mengatakan  bahwa  sel  telur  wanita setelah  dibuahi  oleh  sel  sperma  laki-laki  telah  menjadi manusia, maka yang demikian hanyalah  semacam  majas  (kiasan) dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia.

Memang  benar  bahwa  wujud  ini  mengandung kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel sperma  serta  sel  telur  itu  sendiri  sebelum bertemu sudah mengandung kehidupan, namun yang demikian  bukanlah  kehidupan manusia yang telah diterapkan hukum padanya.

Karena itu, rukhshah terikat dengan kondisi uzur yang muktabar (dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli syarak,  dokter,  dan cendekiawan.  Sedangkan  yang  kondisinya tidak demikian, maka tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.  


Bagi wanita Muslimah yang mendapatkan cobaan dengan musibah seperti  ini  (korban perkosaan) hendaklah memelihara janin tersebut.

Sebab menurut syarak, ia tidak menanggung dosa. Sebagaimana ia tidak dipaksa untuk menggugurkannya.

Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka dia adalah anak Muslim, sebagaimana sabda Nabi SAW, "Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."

Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam. Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak  apabila  kedua orang  tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang terbaik  agamanya. 

Ini bagi orang (anak) yang diketahui ayahnya, maka bagaimana dengan anak yang tidak ada bapaknya? Sesungguhnya dia adalah anak Muslim, tanpa diragukan lagi.

Dalam  hal  ini,  bagi  masyarakat  Muslim sudah  seharusnya mengurus pemeliharaan dan nafkah anak itu serta memberinya pendidikan yang baik,  jangan menyerahkan beban itu kepada ibunya yang miskin dan yang telah terkena cobaan.

Demikian pula pemerintah dalam Islam, seharusnya bertanggung jawab terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial tertentu. Dalam hadis sahih Muttafaq 'alaih, Rasulullah  SAW bersabda, “Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawabannya."[fatwa Qardhawi][sumber]