Tuesday 17 July 2012

> > Parno Itu Menyiksa !!!

Parno Itu Menyiksa !!!


Parno (bahasa gaul untuk paranoid) itu menyiksa!

Tidak percaya? Inilah kisahku untukmu.

Pagi itu rasanya aku adalah lelaki terlemah di dunia. Bukan termiskin di dunia. Karena gelar yang satu itu sudah diklaim Hamdan ATT sejak belasan tahun lalu. Bayangkan, hanya karena sebuah berita di koran, aku sampai muntah tiga kali!

Rabu, 22 November 2006. Pukul enam pagi. Setelah jadwal rutin minum jamu gendong setiap pagi—yang cukup berguna menjaga vitalitas makhluk “nokturnal” seperti aku–iseng baca-baca koran kriminal ibukota. Aku membiasakan diri tidak membaca satu jenis bacaan saja. Koran serius, jurnal politik, novel filsafat atau sejarah, buletin psikologi, sastra, info rumah tangga, tips ibu dan anak sampai tabloid infotaintment pun kuhalalkan. Ada banyak ide atau inspirasi kehidupan luar biasa yang justru datang dari berita remeh-temeh pada bacaan atau koran yang sering dianggap low grade tersebut.

Namun sebuah berita pagi itu sungguh luar biasa. Luar biasa menyiksa mental sekaligus mengocok isi perutku. Bukan karena lucu. Justru sebaliknya.

Di Depok, Jawa Barat, pada Selasa siang, Jiwo, seorang wanita usia 35-an tanpa suami yang diduga mengidap kelainan jiwa membakar bayi yang baru saja dilahirkannya. Bayi laki-laki itu kemudian dibakarnya dan dimakan bersama kecap dan nasi. Ketika perbuatan itu diketahui warga sekitar, tinggal tersisa potongan tubuh bayi berupa kedua pangkal kaki dan paha. Bahkan ari-ari bayi itu masih terlihat menjulur dari kemaluan si wanita.

Kontan saja, belum tuntas seluruh berita, isi perutku bergejolak. Buru-buru aku ke kamar mandi. Dua kali muntah, saudara-saudara. Cairan kuning kecoklatan jamu yang baru kuminum tumpah semua. Hanya itu. Karena aku biasa minum jamu sebelum sarapan. Saat gejolak pertama reda, ketika kembali melihat foto potongan tubuh bayi malang tersebut di halaman depan koran, kembali imajinasi menyiksaku. Terpaksalah tempat sampah mungil di kamarku jadi pelampiasan. Rasanya kosong sudah isi perutku pagi itu.

Orang tersayangku juga hanya tersenyum manis saat aku ceritakan berita itu pada sore harinya. “Jangan paranoid gitulah, Bang,” ujarnya santai. “Eh, bayi itu tadi dimakannya gimana?Emang enak ya?” ledeknya dengan mimik lucunya yang khas.

Oh, my God. Aku melotot. Mendadak perutku mual kembali. Yuni pun tertawa terbahak-bahak, sukses membuatku ‘menderita’. Aku merengut. Memang sih si yayang ini pembawaannya cuek dan rada tomboy, tapi mbok ya empati gitu lho!
Atau aku yang terlalu peka? 

Dulu, sewaktu kelas tiga SD, aku juga mengalami hal yang sama. Sempat berbulan-bulan mengalami ketakutan dan ngeri selepas membaca kisah pembunuhan berantai yang dilakukan sepasang perempuan gendut di Inggris hanya karena sering diejek warga di lingkungannya. Belasan korban dibunuh oleh kakak beradik itu dengan pisau pencucuk batu es dan dicincang sebelum akhirnya disimpan di gudang bawah tanah rumah mereka. 

Alhasil, gudang bawah tanah rumah mereka berubah jadi catacombe—kuburan bawah tanah yang bentuknya berlorong yang biasa terdapat di Eropa pada abad pertengahan. Kisah pembunuhan itu digambarkan sedemikian detil dan hidupnya dalam majalah tebal itu. Sebuah majalah wanita saat itu. Belasan tahun kemudian aku baru tahu jenis tulisan seperti itu namanya feature. Sungguh feature yang hebat, karena membuatku traumatis untuk membacanya kembali. Bahkan untuk sekedar menyentuh majalah itu. Majalah itu aku enyahkan ke tempat sampah di belakang rumah. Meski belakangan kakak perempuanku ribut-ribut mencari majalah yang belum selesai dibacanya itu.

Ya, berita di Depok itu adalah berita traumatis kedua dalam hidupku setelah berita zaman SD dulu. Ketika beberapa tahun lalu Robot Gedek menghabisi para bocah laki-laki yang disodominya dengan cara menyilet perut mereka dan menghisap darah dari bekas siletan tersebut layaknya drakula, aku masih bisa membacanya dengan penuh kontrol diri. Tentu bulu kuduk agak meremang karena ngeri. Demikian juga ketika nama sang pemakan mayat, Soemanto, beredar menjadi kegegeran nasional, reaksiku masih wajar-wajar saja. Ada ngeri, jijik. Tapi sebatas kadar normal. Namun, sang Soemanti—julukan dari wartawan untuk sang pemakan bayi ini—sungguh luarbiasa terornya. Entahlah bagi pembaca yang lain. Bagiku, ya.
Bahkan saat menuliskan kisah ini aku masih merasakan mual-mual ketika mengingat ulang berita itu. Bukan morning sickness, tentunya. Namun aku harus menuliskan kisah ini sebagai suatu terapi, menurut Paulo Coelho. Dalam salah satu novelnya, The Alchemist, Coelho menganjurkan agar setiap kesedihan, kengerian atau perasaan yang menyiksa dituliskan untuk kemudian kertasnya dibakar dan dilarung ke sungai sehingga seiring lenyapnya abu kertas itu, lenyap pula kengerian dan perasaan yang menyiksa kita. Bagiku, internet adalah salah satu tong sampah dan “sungai” pembuangan terbaik selain Kali Ciliwung.

Sering aku berpikir apakah aku paranoid. Aku bukan orang yang gampang jijik dengan sesuatu. Ketika teman-teman semasa kecilku mengorek-korek selokan kotor dengan sepotong kayu bahkan bersarung tangan untuk mencari cacing guna umpan ikan cupang—trend hewan peliharaan bocah zaman SD dulu—aku santai saja mengorek-ngoreknya dengan tangan telanjang. Aku rasanya tidak separanoid George W. Bush yang harus mengubah tempat pendaratan helikopternya secara mendadak karena ketakutan ancaman sniper dan tertimpa pohon di Kebun Raya Bogor di tengah hujan deras (2006). Alhasil, helipad senilai enam milyar yang sudah dibangun untuk kunjungan sang presiden Amerika Serikat tersebut selama enam jam harus merana sia-sia. Sudah dibangun dengan ngebut siang malam, tak didarati, dan harus dibongkar pula.

Aku juga tidak separanoid salah satu teman lamaku yang sering kami olok-olok dengan julukan Mr. Waterman. Ia dapat menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk cuci tangan atau wudhu. Menurutnya, setiapkali mencuci tangan atau mandi, seakan ada bayangan yang mengawasinya dan kadang memperingatinya bahwa ia belum mencuci atau mandi dengan bersih. Sehingga ia harus melakukannya berulang-ulang. Entahlah apa kabar saudaraku yang berdarah Minang itu. Selepas ia menikah dengan gadis sekampungnya, lama kami tak bersua.

Nah, am I paranoid? Menurut kamus Oxford, paranoid adalah ajektiva, kata sifat, untuk penderita paranoia. Sementara paranoia didefinisikan sebagai mental illness in which somebody believes that other people want to harm them (penyakit mental di mana seseorang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya). Dalam kamus Webster, paranoia adalah mental disorder marked by irrational suspicion. Gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang tidak rasional atau logis.

Am I paranoid? Kondisi negeri saat ini memang layak dijadikan justifikasi. Ketika social distrust, ketidakpercayaan sosial, berkembang di antara kalangan masyarakat; ketika kekerasan sering jadi bahasa pamungkas untuk mengatasi perselisihan dan perbedaan; ketika ikatan kekeluargaan melonggar dan menjadikan sesama anggota keluarga asing dengan tetangga bahkan saudaranya sendiri. 

Contoh kecil, di Jakarta, bandingkan saja antrean di tempat umum saat ini dan beberapa tahun lalu. Dulu, setiap orang bisa dengan santai menyandang ransel di punggung saat antre. Saat ini pemandangan tas ransel yang ditaruh di depan dada adalah kelaziman. Bahkan sebuah keharusan untuk menghindari pencopetan, sebagaimana yang sering dihimbaukan petugas Terminal Busway Harmoni kepada jejalan antrean penumpang yang bisa sepanjang 50 meter saat jam-jam berangkat dan pulang kerja. Di banyak daerah di Tanah Air, kerap kali tawuran atau perkelahian bahkan antarkampung terjadi hanya karena saling adu pandang.

Am I paranoid? Entahlah, sabodo teuing. Terkadang mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu ada akan menjadi sebuah nubuat yang terpenuhi dengan sendirinya, self-fulfilling prophecy. Terlalu takut gagal ujian akan membuat kita terbebani dan grogi. Ujung-ujungnya gagallah kita. Persis seperti apa yang kita khawatirkan.

Yang jelas saat ini aku prihatin akan satu hal. Khalifah Umar ibnu Khattab pernah menyatakan bahwa jika ada seekor keledai mati kelaparan di tepi sungai Effrat di Irak—yang termasuk wilayah imperium kekuasaannya saat itu yang membentang dari Arab Saudi hingga Somalia dan sebagian Afrika—maka itu adalah tanggung jawabnya yang akan dimintakan pertanggungannya di hari akhir. Lalu bagaimana nasib para pemimpin negeri ini di tingkat lokal dan nasional di hari akhir nanti jika Jiwo terpaksa memakan bayinya karena kelaparan akibat sulitnya ekonomi di bawah kepemimpinan mereka? Orang waras saja banyak yang susah makan dan tak terurus negara. Apalagi orang gila. Meskipun sebenarnya konstitusi negara mengamatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Tentu maksudnya tidak dipelihara agar eksistensi kemiskinannya tetap abadi. Tapi dientaskan, diangkat harkat dan martabat kehidupannya.

Jika para pemimpin itu selalu bilang sulit dan sulit, memang seperti itu adanya. Jadi pemimpin memang semestinya tidak enak. Leiden is lijden, memimpin adalah menderita, ujar K.H. Agus Salim—menteri luar negeri pertama republik ini yang fasih sembilan bahasa asing–yang semasa hidupnya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di gang becek dan sempit di Jakarta. Bukankah pemimpin sejatinya adalah orang yang paling dulu lapar dan paling akhir kenyang demi mendahulukan perut rakyatnya?

“Ah, itu kecurigaan tak logis. Paranoid lu!” Barangkali demikian komentar sebagian orang-orang yang tak setuju. Que sera…sera