Tuesday 10 July 2012

> > Jilbab dan Ghamis, Sekali Lagi . . . Jangan Anggap Remeh Memakai Simboll !!

Jilbab dan Ghamis, Sekali Lagi . . . Jangan Anggap Remeh Memakai Simboll !!


Pertanyaan sering diajukan tentang model pakaian dan atribut laki-laki yang mewakili nilai-nilai Islam :”Pakaian seperti apa yang bisa dikatakan sebagai pakaian Muslim..??”. Sebagian memakai ghamis Arab lengkap dengan ‘keffiyeh’ menutup kepala, lalu mereka merasakan diri sudah memakai pakaian Muslim. Yang lain pakai baju Yaman atau model mujahidin Afganistan, lalu menganggap itulah pakaian ‘ala’ Islam. Ada lagi yang pakai baju Pakistani, atau model baju Maroko yang sering dipakai oleh ustadz Jeffry (Uje), itu juga dikatakan model yang Islami. Yang ‘made in dalam negeri’ juga tidak ketinggalan, baju koko lengkap dengan sarung dan kopiah, bisa berwarna hitam atau putih., padahal baju koko sejatinya berasal dari Cina, sama sekali tidak ada urusannya dengan Islam. Bahkan saya pernah menemukan pakaian Islam kombinasi baju ghamis dengan sarung dan kopiah di kepala, saya sampai meledek dengan menjulukinya model ‘nuwahabi’ alias campuran gaya nahdiyin dengan wahabi. Kalau dalam pernak-pernik ajaran kedua kelompok ini sering berseberangan, ternyata dalam model pakaian malah bisa akur.

Semua model pakaian tersebut dalam batas-batas tertentu dianggap masyarakat umum mewakili cara berpakaian yang Islami, sekalipun tidak tepat. Orang Arab memakai baju ghamis karena baju tersebut memang merupakan produk budaya Arab, jadi Arab Muslim, Kristen, bahkan atheis sekalipun pakai baju tersebut. Karena merupakan baju orang Arab, maka semua lapisan masyarakat Arab menjadikan ghamis sebagai baju mereka, tidak peduli ulama, pejabat, tukang copet, pemerkosa, semuanya akan mengatakan ghamis adalah baju mereka. Namun di Indonesia dan mungkin juga di beberapa negara non-Arab, ghamis sudah kadung dilekatkan dengan Islam, mungkin karena persepsi yang muncul dalam masyarakat kita Islam adalah Arab, maka model pakaian mereka juga ikut-ikutan memuat nilai Islam. ‘Keffiyeh’ buat sementara orang dianggap mewakili gaya pejuang Palestina, dan karena Palestina, maka itu adalah simbol Islam, padahal duta besar palestina di Indonesia, Fariz Mehdawi, pernah menyatakan 50% penduduk Palestina sebenarnya adalah orang Yahudi. Namun ini juga tidak masalah, persepsi masyarakat umum di Indonesia tersebut sudah melekatkan nilai Islami terhadap baju ghamis atau keffiyeh, maka seseorang yang mengenakannya pasti punya niat untuk menunjukkan diri sebagai seorang Muslim. Demikian juga dengan baju model lain, mulai dari Pakistani, Maroko, sampai ke baju koko, sarung dan kopiah. Sepanjang di wilayah tersebut hidup persepsi yang sama tentang model suatu pakaian dan terkait dengan nilai Islam, maka si pemakainya akan dikatakan berusaha menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim.

Bisa jadi suatu waktu, karena sudah banyaknya orang-orang non-Muslim yang memakai pakaian yang selama ini melekat nilai-nilai Islam, lalu persepsi masyarakat berubah, tidak lagi menyatakan misalnya ghamis bukan lagi mewakili nilai-nilai Islam karena orang-orang Arab mayoritas sudah murtad dan kafir, sehingga dalam masyarakat terbentuk persepsi ghamis adalah simbol kekafiran, maka umat Islam tidak akan lagi memakai ghamis untuk menunjukkan dirinya sebagai Muslim, mereka akan mencari simbol lain yang masih dianggap melekat nilai-nilai Islaminya. Bisa juga ada kemungkinan, pakaian model lain yang dulunya dianggap mewakili kekafiran, kemaksiatan dan budaya non-Muslim, seperti jas dan dasi, lalu dengan banyaknya orang Eropah dan Amerika yang beralih memeluk Islam sehingga menjadi mayoritas, maka persepsi masyarakat umum terbentuk dengan mengatakan jas dan dasi sudah menjadi simbol-simbol yang Islami, maka orang yang ingin menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim akan memakai pakaian tersebut.

Semua yang saya sebutkan diatas adalah tentang simbol-simbol Islam melalui pakaian dan asesorisnya, terbentuk dari persepsi masyarakat, bisa berubah-ubah, bisa berbeda antara satu negara dengan negara lain, bisa juga berubah sesuai perkembangan jaman. Umat Islam banyak yang memakai simbol-simbol tersebut untuk menyatakan identitasnya sebagai seorang Muslim, dengan tujuan agar ketika memakainya ada pengaruh positif yang muncul untuk mengidentifikasikan diri sebagai seorang Muslim, lalu mengatur perilakunya sesuai ajaran Islam, minimal selama dia memakai simbol-simbol tersebut. Anda sebenarnya bisa mencoba bagaimana pengaruh pakaian ini bekerja. Silahkan suatu waktu anda memakai pakaian yang dipersepsikan oleh masyarakat sekeliling mengandung nilai-nilai kebebasan, urakan dan cuek, maka perilaku anda juga akan terdorong untuk melakukan gaya yang sesuai nilai yang dilekatkan masyarakat terhadap pakaian anda. Anda pakai model baju Michael Jackson, maka anda berusaha untuk bergerak lincah, kalau perlu sering pakai gaya jalan ‘moonwalk’. Tahun 80’an orang banyak yang memakai simbol pakaian model John Travolta, maka kelakuannya juga meniru gaya slengek’an seperti yang diperagakannya dalam film ‘Grease’. Dulu di Indonesia terkenal model Lupus, tokoh cerpen anak muda, dengan gaya cuek pakai permen karet ditiup, maka anak muda yang memakai simbol-simbol tersebut juga berusaha mengidentifikasikan diri untuk berlagak cuek, sekalipun banyak yang kurang pas sehingga malah terkesan tengik. Yang ingin saya sampaikan, pemakaian simbol berupa model pakaian dan asesorisnya punya pengaruh terhadap perilaku orang yang memakainya karena adanya kesamaan persepsi dengan masyarakat disekeliling terhadap nilai yang dikandung oleh simbol tersebut.

Sekarang kita telusuri bagaimana Islam mengajarkan tentang pemakaian simbol-simbol ini…
Allah dalam Al-Qur’an menyinggung soal simbol ini dalam perintahnya tentang kewajiban wanita Muslim untuk memakai jilbab :

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ‪(Al-Ahzaab: 59)
 
Saya tidak bermaksud membahas perbedaan pendapat ulama tentang jilbab, terkait apakah bagian wajah termasuk bagian tubuh wanita yang harus ditutup, sebagian ulama menyatakan harus dan sebagian lainnya mengatakan tidak termasuk. Yang jelas perintah untuk memakai simbol yang bernama jilbab memang ada dalam Al-Qur’an. Menariknya, Allah memberikan salah satu alasan mengapa Dia mewajibkan wanita muslimah untuk memakai jilbab dengan alasan ‘lebih mudah untuk dikenal’. Disini Allah sebenarnya bicara soal simbol, sesuatu penampilan yang mengandung nilai Islami yang membedakan si pemakainya dengan wanita yang tidak memakainya. Disini Allah dengan jelas telah menetapkan pakaian yang berbentuk jilbab telah dilekatkan-Nya dengan nilai-nilai Islam, ini bukan lagi persepsi yang dibentuk oleh masyarakat umum, berbeda halnya dengan baju ghamis, sarung, sorban, baju koko, persepsi masyarakat justru terbentuk setelah adanya perintah Allah ini. Dengan memakai jilbab, maka muslimah tersebut menyatakan dirinya sebagai seorang Muslimah, dan karena simbol-simbol yang dipakai berinteraksi dengan si pemakainya, maka dalam diri Muslimah tersebut muncul dorongan untuk memakai nilai-nilai Islam, serta berusaha menghindari dari tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, minimal selama dia memakai jilbab. Allah mengetahui bahwa perilaku manusia bisa dipengaruhi oleh simbol yang saat itu dia kenakan.

Mungkin anda akan bertanya :”Seperti halnya baju ghamis, jas dan dasi, celana jeans dan kaos, apakah persepsi terhadap jilbab bisa berubah..?? suatu saat ketika banyak non-Muslim yang memakai jilbab dan berkelakuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, lalu masyarakat punya persepsi jilbab bukan lagi terkait dengan nilai Islam, bukankah itu bisa terjadi..?”. Tentu saja secara logika hal tersebut bisa saja terjadi. Sekarangpun usaha orang untuk memisahkan jilbab dari nilai-nilai Islam sudah banyak dilakukan, baik yang terjadi dikalangan Muslimah sendiri yang tidak menjaga kelakuannya ketika memakai jilbab, maupun pihak lain yang memang sengaja mau merusak dan memisahkan nilai Islam dari jilbab. Kita dengan gampang menemukan banyaknya beredar video porno dengan pelakunya wanita memakai jilbab, atau juga foto-foto memuat model perempuan memakai jilbab dengan gaya yang seronok. Ini semua jelas mengarah kepada usaha untuk memisahkan jilbab dengan nilai yang dimuatnya sesuai apa yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an. Lalu apakah kemudian persepsi kita menjadi berubah ketika melihat seorang Muslimah memakai jilbab..? (maksud saya adalah jilbab yang benar-benar jilbab, bukan apa yang disebut orang sekarang sebagai ‘jilbab trendy’, pakai kerudung tapi pantat megal-megol memakai jeans ketat).

Persepsi tersebut tetap ada, bahwa dalam penampilan Muslimah tersebut tetap muncul nilai-nilai Islami, sekalipun mungkin sebelumnya kita sudah menonton video porno yang memperlihatkan adegan cewek memakai jilbab lagi beraksi. Allah sudah menetapkan suatu bentuk dan batasan cara berpakaian, maka persepsi kita tidak akan berubah dari apa yang telah ditetapkan Allah tersebut. Kalau anda masih penasaran lalu bertanya :”Bagaimana kalau perilaku kemaksiatan dengan memakai jilbab makin mewabah, apakah tidak akan mempengaruhi persepsi masyarakat lalu berubah menjadikan jilbab sebagai simbol kemaksiatan..??”. Untuk pertanyaan berandai-andai ini, kita bisa memberikan jawaban :”Keimanan saya tidak bisa menerima kemungkinan itu, apa yang sudah ditetapkan Allah akan berlaku sampai akhir jaman. Jadi silahkan saja dicoba terus untuk memisahkan nilai Islam dari jilbab, dan habiskan umur anda untuk itu..”. Sebagai seorang Muslim itulah sikap yang paling aman untuk diambil, kalau tidak, misalnya anda meragukannya karena kemungkinan tersebut masuk akal anda, anda lalu menunggu terjadinya perubahan persepsi, ketika anda mati dan ternyata perubahan tersebut tidak juga terjadi, anda akan tercatat mati sebagai seorang Muslim yang meragukan ketetapan Allah yang jelas tercantum dalam Al-Qur’an, anda tahu sendiri apa namanya orang yang mati dalam keadaan demikian..

Selain Al-Qur’an, Islam juga bicara soal simbol melalui hadits. Kita menemukan sekurang-kurangnya 8 jalur periwayatan hadits yang berbicara tentang memelihara jenggot. Intinya hadist tersebut berbunyi :

Dari Ibnu Umar r.a., Rosul -shollallohu alaihi wasallam- pernah bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot kalian panjang, dan potong tipislah kumis kalian! (HR. Bukhori: 5892)

Terdapat beberapa redaksi tentang hadits ini, namun semuanya memuat soal kata : (1) Selisihilah/bedakanlah diri kalian (2) memelihara jenggot (3) mencukur kumis. Secara logika bunyi hadist ini agak aneh, pertanyaannya adalah :”Apakah Rasulullah tidak tahu bahwa tidak semua laki-laki mempunya ‘bakat’ tumbuh jenggot dan kumis..??”. Kita tentu tidak punya pikiran bahwa nabi Muhammad SAW, yang setiap perkataan dan perbuatannya selalu dalam bimbingan Allah, tidak mengerti apa-apa soal tersebut. Namun perhatikanlah sekali lagi bunyi haditsnya lalu dikaitkan dengan sebab mengapa Rasulullah memerintahkannya. Dalam periwayatan melalui jalur lain dicatat bahwa ucapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan para sahabat :

Dari Abu Umamah: …lalu kami (para sahabat) pun menanyakan: “Wahai Rosululoh, sungguh kaum ahli kitab itu (biasa) memangkas jenggot mereka dan memanjangkan kumis mereka?”. (HR. Ahmad: 21780, dihasankan oleh Albani, dan dishohihkan oleh Muhaqqiq Musnad Ahmad, lihat Musnad Ahmad 36/613)

Jadi inti dari ajaran Rasulullah soal ini terletak kepada kata ‘selisihilah/bedakan diri kalian dengan kaum musyrik’, dan disebabkan ciri-ciri yang disampaikan pada waktu itu adalah soal jenggot dan kumis maka cara untuk membedakan diri adalah dengan membuat penampilan yang bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh kaum musyrik.

Persepsi pada waktu itu terhadap jenggot dan kumis sudah terbentuk sesuai pengelompokan masyarakat terkait dengan ajaran agama. Disini Rasulullah bicara soal simbol, sama dengan apa yang terjadi dalam ayat Al-Qur’an tentang jilbab. Rasulullah dengan ucapannya membentuk persepsi baru terhadap simbol jenggot dan kumis dengan cara membalikkannya lalu mencantelkan nilai-nilai Islam disitu. Setelah itu persepsi masyarakat terbentuk berdasarkan ajaran yang beliau berikan sampai sekarang. Pertanyaan yang sama akan muncul :”Apakah tidak mungkin suatu ketika laki-laki non-Muslim juga ikut-ikutan memelihara jenggot dan mencukur kumis persis seperti umat Islam, sehingga persepsi tersebut berubah, jenggot tidak lagi terkait dengan nilai-nilai Islam..?? Saat ini banyak ditemukan, rabi Yahudi juga banyak yang memakai jenggot, orang Kristen ortodoks memakai jenggot, kaum Amish di Amerika Serikat juga memakai jenggot yang mirip dengan ciri-ciri umat Islam, bahkan anak band ‘rock and roll’ juga memakai jenggot. Jawabannya tentu saja mungkin terjadi. Karena hal ini berdasarkan ucapan Rasulullah maka melekatnya nilai kepada simbol tidak bersifat mutlak sebagaimana halnya jilbab yang didasari ayat Al-Qur’an. Selain itu ajaran Rasulullah ini merupakan reaksi terhadap penampilan non-Muslim pada waktu itu, disamping yang saya kemukakan sebelumnya, tidak semua laki-laki memiliki ‘bakat’ berjenggot. Namun jangan karena dianggap sesuatu yang terkait konteks jaman dulu yang mungkin saja tidak bisa diterapkan sekarang, lalu ajaran beliau ini dianggap sudah tidak berlaku dan kedaluarsa. Seharusnya kita mengambil esensinya, yaitu soal ‘nyatakan dirimu berbeda dengan kemusyrikan dan kekafiran’, sarananya bisa memakai apa saja, ketika suatu simbol dalam masyarakat dipersepsikan mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam, jauhilah.., pakailah simbol yang mewakili nilai Islam.

Jangan bersikap :”Apa yang dipakai tidak penting, yang penting hatinya..”, lalu dilengkapi lagi dengan argumentasi berdasarkan ayat Al-Qur’an :”Yang membedakan antara satu manusia dengan manusia lain adalah ketaqwaannya..”. Tentu saja dimata Allah ketaqwaan merupakan kriteria untuk menilai seseorang sebagai ‘hasil akhir’ dari setiap perbuatan dan ucapannya yang nyata. Kita jangan memakai alasan ini untuk mengabaikan apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Memakai simbol-simbol yang memuat nilai Islami dan menjauhi yang bertentangan dengan nilai Islam juga diwasiatkan oleh beliau. Kalau urusan hanya soal ketaqwaan lalu buat apa Allah memerintahkan kaum Muslimah untuk memakai jilbab dengan alasan ‘agar lebih mudah untuk dikenali’..?? Bagaimana mungkin seorang manusia bisa mengenali orang lain dari tingkat ketaqwaan yang tersimpan rapat dalam hati dan hanya Allah yang tahu..?? Kalau nilai seorang manusia semata-mata berdasarkan ketaqwaannya dan dilepaskan dengan perilaku dan ucapan yang terlihat oleh orang lain, memakai jilbab tidak perlu diperintahkan Allah, itu logikanya..

Lalu mengapa ajaran Islam sangat serius berbicara soal pemakaian simbol ini..?? sampai-sampai tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah..??. Jawabannya : karena pada dasarnya manusia tidak bisa dilepaskan dari memakai simbol, anda membuang ghamis, sarung dan kopiah lalu menggantinya dengan jas dan dasi, artinya anda membuang suatu simbol dan beralih memakai simbol lain. Bahkan ketika anda telanjang bulat tidak memakai apapun, itu juga merupakan simbol dari nudisme. Disitu Islam mengajarkan, karena kita tidak punya pilihan lain terkait dengan simbol ini maka Allah dan Rasul-Nya memberikan kita simbol untuk dipakai, memberikan ajaran bahwa setiap umat Islam harus memilih simbol yang menggambarkan nilai-nilai Islam, yang berbeda dengan nilai-nilai yang bukan Islam.

Jadi sekali lagi, jangan anggap remeh soal memakai simbol dengan mengatakan :”Ah….pakai atribut Islam nggak menjamin juga, orangnya tetap saja bisa berkelakuan ngawur..”. Pakailah simbol-simbol yang dipersepsikan masyarakat mengandung nilai-nilai Islam, jadikan simbol tersebut untuk memunculkan dorongan positif dalam diri anda untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam, sehingga perilaku anda bisa diarahkan sesuai nilai Islam yang terdapat dalam simbol tersebut.