Banyak Sekali PEMIMPI dan Pengkhayal yang berharap kalau Islam akan musnah dari muka bumi. Dengan berbagai strategi,intrik dan Opini dibentuk yang diharapkan
bisa memenuhi harapan cita cita mereka yang memusnahkan Islam dari muka
bumi. Kita perlu lihat sejarah masa lalu bagaimana mereka yang punya
kekuatan Penuh, yaitu tidak sekedar Kekuatan ekonomi tetapi dekat dengan
kekuasaan, bagaimana Upaya Pemurtadan didukung penuh oleh Rezim
PENJAJAH, tetapi kenyataannya upaya upaya mereka mendapatkan hasil tidak
sebagaimana yang mereka harapkan, KENYATAANNYA ISLAM masih TETAP EKSIS di
BUMI ini. maka dalam sebagai contoh kita lihat upaya PARA PEMIMPI
tersebut dengan contoh spesifik, Kegagalan Usaha “menghapus” Islam dari
Masyarakat Jawa ini.
MASIH ingat, nama Mbah Petruk yang mendadak menjadi sangat populer
ketika Gunung Merapi kembali bergejolak? Di samping Mbah Petruk, ada
juga Nyai Rara Kidul. Berkait dengan dua tokoh jagading lelembut tadi,
diadakanlah ritual sedekah gunung dan sedekah laut yang menjadi ritual
rutin masyarakat Jawa. Kebanyakan, citra sinkretik seperti ini menjadi
wajah tunggal ketika seseorang berbicara tentang Jawa.
Juga, apabila kita mengamati buku-buku mengenai kebudayaan Jawa, maka
istilah seperti larung sesaji, kejawen, pusaka keramat, adalah
tema-tema dominan ketika berbicara kebudayaan Jawa.
Pandangan seperti itulah sebenarnya yang diinginkan dari gerakan
jangka panjang orientalisme dan missionarisme di Jawa di masa kolonial.
Di mana mereka berusaha menghapus identitas Islam di tanah itu dengan
selalu mengkait-kaitkan antara Jawa dengan Hindu atau Budha.
Namun, data sejarah justru menunjukkan hal yang sebaliknya, Jawa dan
Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Upaya ”pengkerdilan”
identitas Islam tidak lain bertujuan untuk memuluskan misi kristenisasi
di Jawa. Tulisan ini merupakan ringkasan dari tesis Arif Wibowo di Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang berhasil ia pertahankan di hadapan para penguji. Selamat menikmati.
***
Berkaca dari Kiai Sadrach
Para misionaris dan orientalis berupaya memisahkan identitas Islam dari Jawa untuk melancarkan misi kristenisasi. Islam pada abad XIX menjadi inspirasi utama perlawanan rakyat
Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Baik yang berskala besar
seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh sampai perlawanan
yang berskala kecil dalam pemberontakan petani di Cilegon. Kejadian ini
menyebabkan Belanda mengubah gaya politik kolonialnya, dengan melakukan
politik etis yang meliputi educatie, emigratie dan irrigatie (pendidikan, perpindahan dan pengairan).
Kerstening politiek (politik pengkristenan)
merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik etis. Sehingga kaum
etisi mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di Belanda.
Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa
(Belanda).
Kisah yang Gagal
Setidaknya, ada dua macam penetrasi Kristen ke dalam masyarakat Jawa,
yakni penerjemahan Alkitab dan pemakaian kebudayaan Jawa. Penerjemahan
pertama kali dilakukan oleh Johannes Emde pada 1811. Sedangkan yang
memelopori pemakaian budaya Jawa dalam penginjilan adalah Coenraad
Laurens Colen. Konsep Colen inilah yang kemudian berkembang dan disebut
inkulturasi. Nama-nama seperti Paulus Tosari, Matius Niep, Kiai Sadrach, Ngibrahim Tunggul Wulung adalah buah dari inkulturasi dalam penginjilan.
Dari deretan nama tadi, Kiai Sadrach merupakan sosok yang paling populer. Ia seorang guru ngelmu (pinisepuh).
Dalam mengenalkan Kristen kepada masyarakat, Sadrach menyebut gerejanya
dengan masjid. Dan memang gereja itu gaya bangunannya mirip masjid
pada umumnya. Sebelum upacara peribadatan dimulai, sebuah bedhug
dipukul dan diakhiri dengan ritual slametan.
Bagi Kiai Sadrach, Bible adalah norma hidup yang mirip dengan pitutur (nasehat) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat dalam pandangan Islam. Sadrach bukan fenomena tunggal, sebab di Jawa Timur juga ada Ngibrahim Tunggul Wulung, yang memaknai kekristenannya menyerupai Muslim dan akhirnya dikafirkan oleh para pendeta Calvinis yang membaptisnya.
Kegagalan Kristen versi Sadrach dan Tunggul Wulung yang dianggap
berkepercayaan ganda, separo kristen dan separo Islam, disebabkan
integrasi yang sangat kuat pandangan metafisika Islam ke dalam
masyarakat Jawa. Selain itu, menjadi Kristen saat itu, bagi orang Jawa
adalah aib terbesar dalam hidupmenjadi Kristen saat itu, bagi orang Jawa
adalah aib terbesar dalam hidup. Di masyarakat, ia akan menyandang
gelar “wong jawa ilang jawane” (orang jawa hilang jawanya), atau “jawa
wurung landa durung” (hilang jawanya, tapi Belanda juga belum).
Karena itu, apa yang dilakukan Sadrach maupun Ngabdullah Tunggul
Wulung, bisa jadi untuk menghindari resistensi sosial masyarakat
sekitar.
Orientalisme dan Usaha Kudeta Kebudayaan
SEPERTINYA, Van Lith, misionaris Katolik ordo Yesuit, belajar dari
kasus Sadrach. Setelah korespondensi panjang dengan Sadrach, dan
pengamatan mendalam di lapangan, Van Lith mengubah pola penginjilannya.
Dari individu menjadi penginjilan kolektif dalam bentuk sekolah. Dengan
mendidik anak-anak Jawa sejak kecil, diharapkan akan menghasilkan
kekatolikan/kekristenan yang murni. Seiring dicanangkannya politik etis
di bidang pendidikan di kalangan pribumi, Van Lith lalu mendirikan
sekolah calon guru.
Dalam mencari murid yang berkualitas, Van Lith aktif melakukan
kunjungan kepada para bangsawan kraton dan priyayi, agar menyekolahkan
anaknya di Kolese Xaverius (sekolah yang didirikan Van Lith). Semua
murid yang masuk awalnya adalah Muslim, lalu menjadi Katolik ketika
lulus. Tidak cukup menjadi guru, beberapa murid Kolese Xaverius
melanjutkan pendidikannya ke jenjang imamat. Sehingga bila dilihat dari
banyaknya jumlah imam pribumi yang dihasilkan, menurut Steenbrink, usaha
Van Lith ini paling sukses di dunia untuk kegiatan serupa.
Dalam Kolese Xaverius, identitas kejawaan sangat ditekankan,
sedangkan segala hal yang berbau Islam dihilangkan. Bahasa Melayu, yang
dianggap identik dengan Islam tidak diajarkan, cukup dua bahasa : bahasa
Jawa dan bahasa Belanda. Dengan demikian diharapkan proses integrasi
kekatolikan dan kejawaan dapat berjalan sempurna.
Van Lith juga mendidik para muridnya untuk serius mengkaji budaya
Jawa. Hasil kajian dari para muridnya itu diterbitkan dalam jurnal St
Claverbond, yang diterbitkan di Belanda. Satu karya tulis dari pastur Jesuit yang dianggap mampu menangkap
inti dari kebudayaan Jawa adalah disertasi dari Petrus Joshepus
Zoetmulder yang terbit pada 1935. Dalam disertasinya yang berjudul
Pantheisme en Monisme In de Javaansche Soeloek-Litteratuur, Zoetmulder
dianggap mampu mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat Jawa,
melalui telaahnya terhadap Serat Centhini dan pelbagai karya sastra
suluk Jawa. Menurut Dick Hartoko, meskipun penelitian ilmiah (mengenai
kebudayaan Jawa) tidak pernah berhenti, tetapi itu tidak menggoyahkan
patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr Zoetmulder setengah abad yang
lalu.
Dalam pandangan Zoetmoelder, doktrin manunggaling kawula gusti sama
sekali tidak terkait dengan konsep wihdatul wujud yang menjadi diskursus
kontroversial kalangan ahli tasawuf Islam. Menurutnya, manunggaling
kawula gusti dalam budaya Jawa adalah suatu bentuk pandangan monistis
yang berasal dari ajaran Atman Hindu. Bahkan pada karya sastra yang
eksplisit, corak ke Islamannya pun akan dianggap sebagai Islam yang
telah terpengaruh alam religius India maupun lewat alam religius Hindu
Jawa.
Tetap Berlangsung Hingga Kini
Inkulturasi, pada perkembangannya tidak hanya untuk kalangan
internal, tapi juga untuk membentuk konsep tentang Jawa. Sehingga dapat
dilihat, saat ini pandangan Zoetmulder menjadi mainstream dalam banyak
penelitian mengenai agama Jawa atau kebudayaan Jawa.
Beberapa buku tentang Jawa pada periode berikutnya, masih mengacu
pada kerangka berpikir Zoetmulder, bahkan lebih menspesifikkan lagi
tentang apa yang disebut sebagai agama Jawa.
Dan keseriusan ini terbukti mampu menghasilkan nama-nama besar yang
dalam berbagai sisi kebudayaan Jawa, seperti Bagong Kusudiharjo di
bidang tari Jawa, SH Mintarja dengan novelnya, Api di Bukit Menoreh, YB
Mangunwijaya di bidang arsitektur dan pemberdayaan masyarakat.
Di kalangan antropolog ada nama Niels Mulder, penulis buku Mistisisme Jawa; Frans Magnis Suseno, “Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi” tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Juga ada Sindhunata, “Anak Bajang Menggiring Angin”.
Di tingkat nasional kita mengenal Prof Drijarkara, yang terkenal dengan
konsep ’Indonesia bukan negara agama tapi juga bukan negara sekuler,’
WJS Poerwadarminto dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Karena itu, jika wajah sinkretik menjadi wajah utama Muslim Jawa,
Wali Sanga ”tertutupi” Siti Jenar dan munculnya anggapan bahwa aqidah
kejawen “Manunggaling Kawulo Gusti” versi kebatinan dianggap
sebagai wakil resmi Muslim Jawa, tidak lain dan tidak bukan adalah buah
dari gerakan jangka panjang orientalisme dan misionarisme di Jawa.
Setidaknya, bila masyarakat tidak berhasil “ter-kristenkan”, paling
tidak, mereka akan jauh dari agamanya, sebuah wasiat suci Samuel Zwemmer
untuk para penginjil.
Islam Sebagai Landasan Budaya Jawa
Eksodus masyarakat Jawa dari pusat-pusat kerajaan Hindu dan Budha
yang tidak memberinya kehidupan yang aman, ke daerah-daerah pelabuhan
mengantarkan mereka bersentuhan dengan para pedagang Muslim dan para
ulama.
Egalitarianisme Islam dan struktur keimanan mudah dimengerti
menyebabkan rakyat Jawa berbondong-bondong masuk Islam. Periode ini
merupakan gelombang pertama Islamisasi di Pulau Jawa.
Dalam pandangan Zamakhsyari Dhofier, ada dua tahap penyebaran Islam di Pulau Jawa. Pertama, di mana orang menjadi Islam sekadarnya, yang selesai pada abad ke 16.
Kedua, tahap pemantapan untuk betul-betul menjadi orang
Islam yang taat secara pelan-pelan menggantikan kehidupan keagamaan yang
lama. Sultan Agung Hanyokrokusumo, penguasa Mataram (1613-1645) mengawali
tahap pemantapan melalui pendidikan Islam secara massal kepada
masyarakat Jawa. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca
al-Qur`an, tata cara beribadah dan tentang ajaran Islam: rukun iman dan
rukun Islam.
Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca
al-Qur`an, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Para guru agama
ini diberi gelar Kyahi Anom oleh pihak kraton. Di tingkat kadipaten
didirikan pesantren yang dipimpin oleh Kyahi Sepuh.
Saat itu juga dilakukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab
dalam kajian yang bersistem bandungan (halaqah). Kitab-kitab itu
meliputi kitab fikih, tafsir, Hadits, ilmu kalam dan tasawuf. Juga
nahwu, sharaf dan falaq.
Sistem kalender juga disesuaikan dengan sistem Islam. Sehingga budaya
ilmu tidak hanya menjadi milik elit tapi menjadi milik masyarakat
secara keseluruhan. Akselerasi pemahaman Islam melalui sistem pendidikan massal inilah
yang menyebabkan Islamisasi di segala sisi kehidupan masyarakat.
Konsep-konsep Islam telah menjadi landasan kegiatan kemasyarakatan.
Istilah upawasa (poso) sembahyang, suwargo dan neroko hanya bisa ditafsirkan dengan pengertian shaum, shalat, jannah dan naar.
Islam juga menancapkan budaya baru seperti adil, mikir yang tidak
bisa dicari padanannya dalam akar kata asli bahasa Jawa. Taawun yang
dijabarkan dalam budaya gotong royong adalah ciri khas masyarakat asli
Jawa, juga tasamuh yang diwujudkan dalam budaya tepa salira.
Ritus-ritus penting dalam masyarakat Jawa seperti kelahiran,
perkawinan dan kematian juga didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Masyarakat Jawa sudah tidak mengenal bagaimana cara ijab qabul ala agama asli Jawa ataupun merawat jenazah ala kejawen.
Oleh karena itu, dikotomi antara Islam dengan abangan yang
dipropagandakan anak didik orientalis maupun kalangan misionaris tidak
pernah mendapatkan pijakan teoritis yang kuat. Sebab, yang berlaku di
Jawa kata Andrey Moller adalah ortopraks Islam, yakni meski pelan namun
pasti terus bergerak menuju Islam.
Oleh karena itu, orang Jawa, baik itu dari kalangan priyayi maupun
abangan di masa tuanya akan berubah menjadi santri yang rajin ke masjid,
yasinan dan khataman. Wallahu a’lam bish shawab
Sumber : MUSLIM MENJAWAB TANTANGAN