Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah
hidup (siirah) Rasulullah SAW adalah peristiwa
diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di
Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan
dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah
(terletak sekitar 150 meter dari Masjid al Aqsa) menuju ke
Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi
antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan
untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra
(dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama:
"Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Memang "Subhanallah", sebuah ungkapan indah yang
terucapkan baik dalam kerangka kesadaran maupun diluar
kesadaran seorang Mu'min di saat menyaksikan, merasakan atau
mengalami sebuah kejadian yang "luar biasa" (kharij 'anil
'aadah). Ungkapan ini tidak pernah dan tak mungkin
tertujukan kepada sang makhluk, termasuk Rasulullah SAW.
Sebab sesuatu yang sifatnya "khalqi" atau makhluqi, tidak
mungkin dikategorikan sebagai "kharij 'anil 'aadah" (luar
biasa). Semua kejadian yang terjadi karena makhluk adalah
biasa, dan tidak mungkin dianggap luar biasa.
Itulah sebabnya "tasbihh" pada kata "Subhanallah"
senantiasa bergandengan dengan Allah SWT. Bukankah memang
kreasi-kreasi Ilahi dalam persepsi manusia semuanya adalah
"di luar kemampuan kendali manusiawi"? Sehingga wajar,
peristiwa Isra' wal Mi'raj, di mana Allah dengan sangat
enteng memperjalankan hambaNya ('abdihi), Muhammad SAW,
dengan jarak yang sangat-sangat jauh bahkan tak terbayangkan
seorang manusia dapat terjadi, apalagi pada zaman
kegelepan/kebodohan seperti itu. Tapi dengan akal yang sama,
adakah yang tidak bisa terjadi dengan Pencipta semua yang
manusia anggap biasa maupun luar biasa? Kalau sekiranya
teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia
tentang alam hanyalah sekitar 3% saja, sedangkan 97% berada
di luar kemampuannya", maka apakah secara akal pula, akal
yang begitu naïf itu mampu mempertanyakan "ke Maha luar
biasa-an" Allah SWT?
Saya justeru khawatir, jikalau banyak umat Islam yang
terikut oleh kaum empiris dan rasionalis yang rela
menghinakan "nurani" dan "qalbu"nya dalam memahami wahyu
Ilahi secara proporsional, menjadi "murtad" tanpa sadar jika
mengingkari berbagai kejadian "luar biasa" yang terjadi
karena Allah seperti informasi Al Qur'an, termasuk Isra' wal
Mi'raj. Dan oleh karenanya, saya hanya mengingatkan dua
"sikap" manusia terhadap pertistiwa agung itu. Sikap "imani"
yang ditempuh oleh para sahabat agung seperti Abu Bakar, dan
sikap "kufri" yang ditempuh oleh kafir Qurays dengan standar
akal pemikiran yang sempit. Umat Islam, dalam hal ini,
kiranya tahu diri dan pintar-pintar bersikap sehingga tidak
jatuh ke dalam perangkap "keraguan" yang ditembakkan oleh
penjahat-penjahat iman. Pendekatan yang terbaik adalah
pendekatan "imaniy", seperti yang ditempuh oleh Abu Bakar
Al-Siddiq, seperti yang tercakup dalam ucapannya: "Apabila
Muhammad yang mengatakannnya, pastilah benar adanya. Sungguh
saya telah mempercayainya lebih dari itu".
Untuk itu, ketimbang terkooptasi oleh perbincangan yang
berbahaya, atau minimal membawa kepada kesia-siaan, tidakkah
akan lebih baik jika memontem ini dipergunakan untuk
mentadabburi "hikam" atau "'ibar" (hikmah dan pelajaran)
yang terkandung di dalamnya. Sebab memang, salah satu
kelemahan umat Islam di hadapan untaian sejarah perjalanan
Islam dan segala yang terkait dengannya, termasuk berbagai
sejarah yang diungkapkan oleh Al Qur'an adalah bahwa umat
Islam hanya mampu menyelami pesisir sejarah yang
sesungguhnya "dalam" tersebut. Kisah Fir'aun, Qarun, Haman,
Tsamud, Abu Lahab, dan berbagai kisah masa lalu perjalanan
kehidupan, tak jarang dihafal namun tidak ditangkap secara
jernih dan teliti makna-makna yang terkandung di
dalamnya.
Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan
Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat
memotivasi kita untul lebih jauh dan sungguh-sungguh
menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari
perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya
Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun
sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika
itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat
"sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama
ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta
Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari
penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun
psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat.
Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan
kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.
Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah
meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala
sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaein", demikian
Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam
yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan
langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan
dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri
napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para
nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran
singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah
"penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan
kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk
kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad
menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke
depan.
Artinya, bahwa kita, saya dan anda semua, adalah
"rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan
ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan
tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan
mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke
arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin,
Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah
"perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina
aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang
betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi
segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan
sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang
tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara
da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi
seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung
pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter
dasar badi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min
rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat
Allah).
Kedua: Purifikasi/Pensucian Hati
Disebutkan bahwa sebelum di bawah oleh Jibril, beliau
dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya
dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor?
Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah
punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai
penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak.
Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa).
Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?
Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di
tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh"
(penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus
menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya.
"Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".
Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah
dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam
perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam
suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju
kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya,
atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang
intinya "nurani" (cahaya yang menerangiku), itulah lentera
perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata
juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa
alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin
jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh
karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan
pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh
kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati
akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh
hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya
seseorang pemilik hati. "Alaa inna fil jasadi mudhghah.
Idzaa soluhat, soluhat sairu 'amalihi. Wa idza fasadat,
fasada saairu 'amalihi".
Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia
ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun
karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali
pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya
menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang
hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah
dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati
tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa
disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa
quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, dalam rangka menjaga sinar "nurani"
ini (kalbu), disebutkan dalam berbagai bentuk urgensi
membersihkan dan menjaga kebersihan hari. "Sungguh beruntung
siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang
mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa
menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati
kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah
sebelum perjalanan sucinya tersebut.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar
Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap
Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman
halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang
berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah
menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal,
menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling
rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan
ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah
memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan,
hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan
dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat,
sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian.
Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda
kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang
benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi
akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap
kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi
setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.
Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada
pilihan-pilihan yang samar. Namun sensitivitas jiwa yang
bersih akan dengan mudah mengidentifikasi mana yang terbaik
untuk diambil dan ditolak. Kejelian dalam memilih yang
terbaik bagi keselamatan kita di dunia dan akhirat, akan
ditentukan oleh ketajaman kalbu dan nurani itu sendiri.
Inilah inti dari fitrah insani. Fitra menjadi acuan,
lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju
tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika
ternyata kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup
ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada
pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka
yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah
kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan
untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam
dalam diri setiap insan.
Keempat: Arah Perjalanan; Vertikal - Horizontal
Perjalanan dua arah, satau menuju Jerusalem dan satu lagi
menuju ke atas di Sidratul Muntaha. Perjalanan horizontal
yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan vertikal. Dalam
perjalanan horizontal ini beliau digambarkan bertolak dari
masjid ke sebuah masjid, dari masjidil Haram ke Masjidil
Aqsa. Artinya, bahwa dalam kita melangkahkan kaki di tengah
perjalanan kita menuju tujuan akhir, alangkah pentingnya
diperhatikan awal langkah. Motivasi dasar atau niat kita
dalam melakukan sesuatu harus karena "masjid" (sujud) atau
dalam kerangka ketaatan kepada Sang Khaliq. Lalu tujuan dari
dilakukannya sesuatu itu pula tidak lain sekedar untuk
menuju kepada masjid (sujud) atau ketaatan pula. Pertautan
niat dan tujuan (karena ketaatan), menjadikan setiap langkah
yang kita lakukan akan selalu harmonis dengan keduanya.
Bagaimana mungkin seseorang melakukan karena dan untuk
Allah, namun melakukannya dengan cara yang tidak diridhai
olehNya? "Qul Inna shalaati wa nusuki wamahyaaya wamamaati
lillaahi Rabbil'aalimiin".
Perjalanan horizontal di atas mutlak bersambungan dengan
perjalanan vertikal menuju kehariabaanNya. Dalam agama
Islam, setiap amalan "ta'abbud umuumi" (mu'amalaat) selalu
bersambungan dengan "ta'abbud khushushi" (ibadah khassah).
jika kamu telah menunaikan shalat, maka bertebaranglah di
atas bumi dan carilah rezki Allah. Dan ingatlah kepada Allah
yang banyak", demikian perintah Allah SWT.
Perjalanan horizontal yang dilakukan adalah proses menuju
arah vertikal. "Addunya mazra'atul aakhirah" (dunia itu
adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat) jelas Rasulullah
SAW. Maka kemanapun langkah kaki, dalam dunia horizontalnya,
akhirnya jua akan menuju ke atas. "Kullu nafsin dzaaiqatul
maut" (semua jiwa akan merasakan kematian), firman Allah.
Maka lakukanlah langkah-langkah horizontal kita secara baik,
karena itu akan menentukan proses langkah selanjutnya menuju
atas. Kedua arah perjalanan kaki dalam kehidupan ini
kemudian menjadi penentu ketentraman, kebahagiaan,
keharmonisan dan kesuksesan hidup insani. Allah
menggariskan: "Kenistaan dan kemiskinan akan menimpa mereka
di mana saja mereka berada, kecuali menjalin hubungan dengan
Allah dan hubungan dengan sesama manusia". Hubungan vertikal
yang solid dan juga hubungan horizontal yang mantap.
Kelima: Imam Shalat Berjama'ah
Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang
Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas
kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai
hikmah dan makna, bekal dalam melanjutkan sisa-sisa langkah
kehidupan seorang insan. Shalat menjadi simbol ketaatan
total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa
menjadi tujuan hidupnya.
Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan
tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa
(nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan
kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh
sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar
pada masanya, bahkan diakui telah diberikan keutamaan di
atas seluruh umat manusia (wa annii faddhaltukum
'alalaamiin), juga mengakui kepemimpinan Rasulullah SAW.
Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima
menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela
hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki
kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas
beliaulah seharusnya menjadi Imam.
Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga
simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia.
Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan
shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang
yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta
berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu,
kamu akan meraih keberuntungan" Sungguh, ruku dan sujud
secara bersama-sama menjadi bagian integral dari penyembahan
Allah bersama serta menjadi landasan dalam setiap perbuatan
yang baik. Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad
telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh
pemimpin umat lainnya. Sehingga adalah menjadi "logic" jika
umat Muhammad SAW juga seharusnya menjadi "pemimpin" bagi
seluruh umat manusia. "Dan demikianlah Kami jadikan kamu
umat pertengahan, agar kamu menjadi penyaksi-penyaksi atas
manusia yang lain, sebagaimana Rasul Allah telah menjadi
penyaksi atas kamu".
Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria
tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang
disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar
pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara
mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki
kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin
terhadap ayat-ayat Kami". Mengetahui urursan Kami. Itu
adalah kriteria awal. Pengetahuan atau "keilmuan" menandakan
bahwa seorang pemimpin itu mutlak memiliki "leadership
skill" yang tinggi. Sehingga wajar saja kalau Rasulullah
juga mensyaratkan kepemimpinan shalat misalnya dengan dua
hal; "aqraukum" (terbaik bacaannya) dan "a'lamukum
bilhadits" (yang paling berilmu dalam hadits). Ilmu hadits
di sini tentunya adalah mengetahui secara baik tatatanan
kehidupan Rasulullah sebagai pemimpin secara baik.
Dilemma umat terbesar adalah bahwa belum ada bukti
kongkrit kepemimpinan yang dapat menjadi "bargaining".
Sehingga ketika menklaim kepemimpinan, orang boleh saja
bertanya: "Dalam hal apakah anda akan memimpin kami"?
Politik, ekonomi, sosial budaya, atau bahkan moralitas? Saya
heran termangu-mangu, ketika menyaksikan di dunia Islam
orang berebutan naik bus umum. Orang tua, kaum wanita, orang
lemah tak ada yang menolong apalgi memberikan "prioritas",
sementara di dunia Barat, Amerika misalnya, mereka merupakan
elemen masyarakat uyang mendapat perhatian khusus. Lalu
apakah yang akan ditawarkan? Akankah kita tawarkan teori
muluk yang ternyata belum mampu menyentuk kehidupan riil
kita sendiri?
Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat
lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang
kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam
shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam
kehidupan manusia. Tapi menurut laporan sebuah majalah
baru-baru ini, menjadi salah satu negara terburuk (terkorup)
dan termiskin di dunia. Inilah kepemimpinan sebagian dunia
Islam masa kini. Murid saya di Labor Union (Retiree program)
mengatakan: "I love your country, but not much your people".
Saya bertanya: "Why?" Murid saya yang berumur 76 tahun ini
menjawab: "They stole my wallat. In the immigration, they
force me to pay them for nothing". Menyakitkan, tapi itulah
realita.
Keenam: Kembali ke Bumi dengan Shalat
Setiap kali kita membicarakan Isra' wal Mi'raj, yang
tergambar jelas dalam persepsi kita adalah perjalanan dari
masjidil Haram ke masjidil Aqsa, dilanjutkan ke Sidratula
Muntaha di al Baitul Ma'muur. Sangat sedikit yang menyadari,
bahwa segera setelah selesai perjalanan suci itu, Rasulullah
kembali ke bumi dengan satu bekal kehidupan yang paling
penting, yaitu shalat.
Ada dua sisi pada poin ini. Pertama adalah kembalinya ke
bumi. Kedua adalah dibekalkannya beliau dengan shalat.
Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera
berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam
kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun
ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di
suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan
dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki
tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan
keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan
untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan
yang masih harus diembannya.
Demikianlah seharusnya semangat spiritualitas seorang
Muslim, yang senantiasa terkait dengan dunia "atas", namun
kenyataannya dunia "bawah" juga merupakan kenyataan yang
harus dilalui. Menelusuri alam materi duniawi adalah
keniscayaan. Mencari dunia adalah, tidak saja tuntutan hajat
manusiawi, tapi menjadi kewajiban agama sekaligus. "Dan
bekerja keraslah untuk akhiratmu, namun jangan lupa nasibmu
di dunia ini", pesan Allah. Bahkan Al Qur'an, sebagaimana
diperintahkan untuk sungguh-sungguh pergi mengingat Allah
(fas'au ilaa dzikrillah), dan bahkan diperintahkan
mengabaikan "kesibukan jual beli" (wadzarul bae'), juga
segera setelah itu disusuli dengan perintah berlawanan:
"faidzaa qudhiyatis Shalaah fantasyirru fil ardh wabtaghuu
min fadhlillah". Kedua perintah tersebut adalah datang dari
Tuhan yang sama. Dan oleh karenanya, harus disikapi secara
sama pula. Artinya, kewajiban memenuhi ajakan untuk shaklat
Jum'at adalah 100%, memenuhi aturan-aturanNya juga 100%.
Namun pada saat yang sama, memenuhi ajakan kedua tadi,
bertebaran mencari rezki Allah adalah juga perintah 100% dan
juga harus memenuhi aturanNya 100%.
Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke
bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat
berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir
inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri
lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya.
"Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah
banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita
bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis
seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan
kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan
suci ke atas (Mi'raj).
Demikian sekilas makna Isra wal Mi'raj, mohon maaf atas
keterbatasan saya, semoga kalau ada manfaatnya diterima oleh
Allah SWT. Dan kalau seandainya banyak kesalahan, dan saya
yakin itu karena itulah hakikat saya, semoga Allah Yang
Rahman dan rahim berkenan mengampuni saya.
Wassalam,
Syamsi Ali
New York, 5 Oktober 2002
Syamsi Ali
New York, 5 Oktober 2002