Thursday, 5 April 2012

> > ISRA' MI'RAJ RASULULLAH SAW

ISRA' MI'RAJ RASULULLAH SAW


Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW adalah peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah (terletak sekitar 150 meter dari Masjid al Aqsa) menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama:
"Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".
Memang "Subhanallah", sebuah ungkapan indah yang terucapkan baik dalam kerangka kesadaran maupun diluar kesadaran seorang Mu'min di saat menyaksikan, merasakan atau mengalami sebuah kejadian yang "luar biasa" (kharij 'anil 'aadah). Ungkapan ini tidak pernah dan tak mungkin tertujukan kepada sang makhluk, termasuk Rasulullah SAW. Sebab sesuatu yang sifatnya "khalqi" atau makhluqi, tidak mungkin dikategorikan sebagai "kharij 'anil 'aadah" (luar biasa). Semua kejadian yang terjadi karena makhluk adalah biasa, dan tidak mungkin dianggap luar biasa.

Itulah sebabnya "tasbihh" pada kata "Subhanallah" senantiasa bergandengan dengan Allah SWT. Bukankah memang kreasi-kreasi Ilahi dalam persepsi manusia semuanya adalah "di luar kemampuan kendali manusiawi"? Sehingga wajar, peristiwa Isra' wal Mi'raj, di mana Allah dengan sangat enteng memperjalankan hambaNya ('abdihi), Muhammad SAW, dengan jarak yang sangat-sangat jauh bahkan tak terbayangkan seorang manusia dapat terjadi, apalagi pada zaman kegelepan/kebodohan seperti itu. Tapi dengan akal yang sama, adakah yang tidak bisa terjadi dengan Pencipta semua yang manusia anggap biasa maupun luar biasa? Kalau sekiranya teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah sekitar 3% saja, sedangkan 97% berada di luar kemampuannya", maka apakah secara akal pula, akal yang begitu naïf itu mampu mempertanyakan "ke Maha luar biasa-an" Allah SWT?

Saya justeru khawatir, jikalau banyak umat Islam yang terikut oleh kaum empiris dan rasionalis yang rela menghinakan "nurani" dan "qalbu"nya dalam memahami wahyu Ilahi secara proporsional, menjadi "murtad" tanpa sadar jika mengingkari berbagai kejadian "luar biasa" yang terjadi karena Allah seperti informasi Al Qur'an, termasuk Isra' wal Mi'raj. Dan oleh karenanya, saya hanya mengingatkan dua "sikap" manusia terhadap pertistiwa agung itu. Sikap "imani" yang ditempuh oleh para sahabat agung seperti Abu Bakar, dan sikap "kufri" yang ditempuh oleh kafir Qurays dengan standar akal pemikiran yang sempit. Umat Islam, dalam hal ini, kiranya tahu diri dan pintar-pintar bersikap sehingga tidak jatuh ke dalam perangkap "keraguan" yang ditembakkan oleh penjahat-penjahat iman. Pendekatan yang terbaik adalah pendekatan "imaniy", seperti yang ditempuh oleh Abu Bakar Al-Siddiq, seperti yang tercakup dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang mengatakannnya, pastilah benar adanya. Sungguh saya telah mempercayainya lebih dari itu".

Untuk itu, ketimbang terkooptasi oleh perbincangan yang berbahaya, atau minimal membawa kepada kesia-siaan, tidakkah akan lebih baik jika memontem ini dipergunakan untuk mentadabburi "hikam" atau "'ibar" (hikmah dan pelajaran) yang terkandung di dalamnya. Sebab memang, salah satu kelemahan umat Islam di hadapan untaian sejarah perjalanan Islam dan segala yang terkait dengannya, termasuk berbagai sejarah yang diungkapkan oleh Al Qur'an adalah bahwa umat Islam hanya mampu menyelami pesisir sejarah yang sesungguhnya "dalam" tersebut. Kisah Fir'aun, Qarun, Haman, Tsamud, Abu Lahab, dan berbagai kisah masa lalu perjalanan kehidupan, tak jarang dihafal namun tidak ditangkap secara jernih dan teliti makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untul lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya

Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.

Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaein", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.

Artinya, bahwa kita, saya dan anda semua, adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar badi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).

Kedua: Purifikasi/Pensucian Hati
Disebutkan bahwa sebelum di bawah oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?

Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".

Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya "nurani" (cahaya yang menerangiku), itulah lentera perjalanan hidup.
Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati. "Alaa inna fil jasadi mudhghah. Idzaa soluhat, soluhat sairu 'amalihi. Wa idza fasadat, fasada saairu 'amalihi".

Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa quluubihim".
Di Al Qur'an sendiri, dalam rangka menjaga sinar "nurani" ini (kalbu), disebutkan dalam berbagai bentuk urgensi membersihkan dan menjaga kebersihan hari. "Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.

Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar
Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".
Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.

Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Namun sensitivitas jiwa yang bersih akan dengan mudah mengidentifikasi mana yang terbaik untuk diambil dan ditolak. Kejelian dalam memilih yang terbaik bagi keselamatan kita di dunia dan akhirat, akan ditentukan oleh ketajaman kalbu dan nurani itu sendiri. Inilah inti dari fitrah insani. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika ternyata kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Arah Perjalanan; Vertikal - Horizontal

Perjalanan dua arah, satau menuju Jerusalem dan satu lagi menuju ke atas di Sidratul Muntaha. Perjalanan horizontal yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan vertikal. Dalam perjalanan horizontal ini beliau digambarkan bertolak dari masjid ke sebuah masjid, dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Artinya, bahwa dalam kita melangkahkan kaki di tengah perjalanan kita menuju tujuan akhir, alangkah pentingnya diperhatikan awal langkah. Motivasi dasar atau niat kita dalam melakukan sesuatu harus karena "masjid" (sujud) atau dalam kerangka ketaatan kepada Sang Khaliq. Lalu tujuan dari dilakukannya sesuatu itu pula tidak lain sekedar untuk menuju kepada masjid (sujud) atau ketaatan pula. Pertautan niat dan tujuan (karena ketaatan), menjadikan setiap langkah yang kita lakukan akan selalu harmonis dengan keduanya. Bagaimana mungkin seseorang melakukan karena dan untuk Allah, namun melakukannya dengan cara yang tidak diridhai olehNya? "Qul Inna shalaati wa nusuki wamahyaaya wamamaati lillaahi Rabbil'aalimiin".

Perjalanan horizontal di atas mutlak bersambungan dengan perjalanan vertikal menuju kehariabaanNya. Dalam agama Islam, setiap amalan "ta'abbud umuumi" (mu'amalaat) selalu bersambungan dengan "ta'abbud khushushi" (ibadah khassah). jika kamu telah menunaikan shalat, maka bertebaranglah di atas bumi dan carilah rezki Allah. Dan ingatlah kepada Allah yang banyak", demikian perintah Allah SWT.

Perjalanan horizontal yang dilakukan adalah proses menuju arah vertikal. "Addunya mazra'atul aakhirah" (dunia itu adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat) jelas Rasulullah SAW. Maka kemanapun langkah kaki, dalam dunia horizontalnya, akhirnya jua akan menuju ke atas. "Kullu nafsin dzaaiqatul maut" (semua jiwa akan merasakan kematian), firman Allah. Maka lakukanlah langkah-langkah horizontal kita secara baik, karena itu akan menentukan proses langkah selanjutnya menuju atas. Kedua arah perjalanan kaki dalam kehidupan ini kemudian menjadi penentu ketentraman, kebahagiaan, keharmonisan dan kesuksesan hidup insani. Allah menggariskan: "Kenistaan dan kemiskinan akan menimpa mereka di mana saja mereka berada, kecuali menjalin hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia". Hubungan vertikal yang solid dan juga hubungan horizontal yang mantap.

Kelima: Imam Shalat Berjama'ah
Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna, bekal dalam melanjutkan sisa-sisa langkah kehidupan seorang insan. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.

Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya, bahkan diakui telah diberikan keutamaan di atas seluruh umat manusia (wa annii faddhaltukum 'alalaamiin), juga mengakui kepemimpinan Rasulullah SAW. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.

Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan" Sungguh, ruku dan sujud secara bersama-sama menjadi bagian integral dari penyembahan Allah bersama serta menjadi landasan dalam setiap perbuatan yang baik. Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya. Sehingga adalah menjadi "logic" jika umat Muhammad SAW juga seharusnya menjadi "pemimpin" bagi seluruh umat manusia. "Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi penyaksi-penyaksi atas manusia yang lain, sebagaimana Rasul Allah telah menjadi penyaksi atas kamu".

Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami". Mengetahui urursan Kami. Itu adalah kriteria awal. Pengetahuan atau "keilmuan" menandakan bahwa seorang pemimpin itu mutlak memiliki "leadership skill" yang tinggi. Sehingga wajar saja kalau Rasulullah juga mensyaratkan kepemimpinan shalat misalnya dengan dua hal; "aqraukum" (terbaik bacaannya) dan "a'lamukum bilhadits" (yang paling berilmu dalam hadits). Ilmu hadits di sini tentunya adalah mengetahui secara baik tatatanan kehidupan Rasulullah sebagai pemimpin secara baik.

Dilemma umat terbesar adalah bahwa belum ada bukti kongkrit kepemimpinan yang dapat menjadi "bargaining". Sehingga ketika menklaim kepemimpinan, orang boleh saja bertanya: "Dalam hal apakah anda akan memimpin kami"? Politik, ekonomi, sosial budaya, atau bahkan moralitas? Saya heran termangu-mangu, ketika menyaksikan di dunia Islam orang berebutan naik bus umum. Orang tua, kaum wanita, orang lemah tak ada yang menolong apalgi memberikan "prioritas", sementara di dunia Barat, Amerika misalnya, mereka merupakan elemen masyarakat uyang mendapat perhatian khusus. Lalu apakah yang akan ditawarkan? Akankah kita tawarkan teori muluk yang ternyata belum mampu menyentuk kehidupan riil kita sendiri?

Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Tapi menurut laporan sebuah majalah baru-baru ini, menjadi salah satu negara terburuk (terkorup) dan termiskin di dunia. Inilah kepemimpinan sebagian dunia Islam masa kini. Murid saya di Labor Union (Retiree program) mengatakan: "I love your country, but not much your people". Saya bertanya: "Why?" Murid saya yang berumur 76 tahun ini menjawab: "They stole my wallat. In the immigration, they force me to pay them for nothing". Menyakitkan, tapi itulah realita.

Keenam: Kembali ke Bumi dengan Shalat
Setiap kali kita membicarakan Isra' wal Mi'raj, yang tergambar jelas dalam persepsi kita adalah perjalanan dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa, dilanjutkan ke Sidratula Muntaha di al Baitul Ma'muur. Sangat sedikit yang menyadari, bahwa segera setelah selesai perjalanan suci itu, Rasulullah kembali ke bumi dengan satu bekal kehidupan yang paling penting, yaitu shalat.

Ada dua sisi pada poin ini. Pertama adalah kembalinya ke bumi. Kedua adalah dibekalkannya beliau dengan shalat.

Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.

Demikianlah seharusnya semangat spiritualitas seorang Muslim, yang senantiasa terkait dengan dunia "atas", namun kenyataannya dunia "bawah" juga merupakan kenyataan yang harus dilalui. Menelusuri alam materi duniawi adalah keniscayaan. Mencari dunia adalah, tidak saja tuntutan hajat manusiawi, tapi menjadi kewajiban agama sekaligus. "Dan bekerja keraslah untuk akhiratmu, namun jangan lupa nasibmu di dunia ini", pesan Allah. Bahkan Al Qur'an, sebagaimana diperintahkan untuk sungguh-sungguh pergi mengingat Allah (fas'au ilaa dzikrillah), dan bahkan diperintahkan mengabaikan "kesibukan jual beli" (wadzarul bae'), juga segera setelah itu disusuli dengan perintah berlawanan: "faidzaa qudhiyatis Shalaah fantasyirru fil ardh wabtaghuu min fadhlillah". Kedua perintah tersebut adalah datang dari Tuhan yang sama. Dan oleh karenanya, harus disikapi secara sama pula. Artinya, kewajiban memenuhi ajakan untuk shaklat Jum'at adalah 100%, memenuhi aturan-aturanNya juga 100%. Namun pada saat yang sama, memenuhi ajakan kedua tadi, bertebaran mencari rezki Allah adalah juga perintah 100% dan juga harus memenuhi aturanNya 100%.

Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj).

Demikian sekilas makna Isra wal Mi'raj, mohon maaf atas keterbatasan saya, semoga kalau ada manfaatnya diterima oleh Allah SWT. Dan kalau seandainya banyak kesalahan, dan saya yakin itu karena itulah hakikat saya, semoga Allah Yang Rahman dan rahim berkenan mengampuni saya.

Wassalam,
Syamsi Ali
New York, 5 Oktober 2002