Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada rasul yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam,
Nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Istilah
shalat awwabin mungkin belum terlalu familiar, karena jarang digunakan
dan dijelaskan. Padahal beberapa hadits menyebutkannya. Oleh sebab itu
kami menyusun tulisan ini untuk menjelaskannya. Terlebih ada pertanyaan
pembaca voa-islam.com yang ditujukan kepada redaksi melalui pesan
singkat SMS yang menanyakannya. "Ustad Apakah Shalat Awwabin itu dan apa
perbedaannya dengan shalat sunnah rawatib," isi pertanyaan tersebut.
Makna Awwabin
Kata Awwabin jama' (bentuk plural) dari Awwab, maknanya: orang yang taat, yang kembali kepada ketaatan. (Lihat Syarh Shahih Muslim li an-Nawawi no. 1237)
Menurut Syaikh al-Mubarakfuuri dalam Ithaful Kiram, ta'liq atas Bulughul Maram hal. 112, maknanya adalah Al-Raja'
(yang banyak kembali), maksudnya: orang yang banyak kembali kepada
Allah Ta'ala dengan melaksanakan kebaikan-kebaikan dan hasanat
(kebajikan) serta meninggalkan perbuatan-perbuatan munkar dan buruk."
Menurut Imam al-Shan'ani rahimahullah,
"Al-Awwab adalah yang banyak kembali kepada Allah Ta'ala dengan
meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dan melaksanakan
perbuatan-perbuatan baik." (Subul al-Salam: 2/293 dari Maktabah
Syamilah)
Apa Maksud Shalat Awwabin?
Istilah shalat Awaabin digunakan untuk menyebut shalat Dhuha. Ini terdapat dalam hadits Zaid bin Arqam , ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba' pada saat mereka mengerjakan shalat Dhuha. Lalu beliau bersabda,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ مِنْ الضُّحَى
"Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasan di waktu Dhuha." (HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi. Lafadz milik Imam Ahmad)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
أَوْصَانِي
خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَبِالْوِتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَبِصَلَاةِ الضُّحَى
فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ
"Kekasihku
Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewasiatkan kepadaku untuk berpuasa tiga
hari dari setiap bulan, shalat witir sebelum tidur, dan dari shalat
Dhuha, maka sungguh itu adalah shalatnya awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak taat kepada Allah)."
(HR. Ahmad dan Ibnu Huzaimah. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam
Shahih al-Targhib wa al-Tarhib. Dan dalam Irwau; Ghalil beliau
mengatakan, "Dikeluarkan Imam Ahmad: 2/505 dari al-'Awwam. Sanadnya
shahih sesuai syarat Syaikhain. . .")
Shalat
awwabin pada dua hadits di atas adalah shalat Dhuha. "Shalat Awwabiin
adalah shalat Dhuha yang dikerjakan sebanyak 2 rakaat, empat rakaat,
enam rakaat, atau delapan rakaat semenjak matahari sudah meninggi sampai
mendekati waktu Dhuhur, dan mengakhirkannya sampai matahari sudah
sangat memanas adalah lebih utama." Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Munajjid yang dinukil dari www.imanway.com.
Beliau mendasarkan pada hadits Muslim dari Zaid bin Arqam di atas,"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba' pada saat mereka mengerjakan shalat (Dhuha). Lalu beliau bersabda,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ مِنْ الضُّحَى
"Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasa di waktu Dhuha."
Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Zaid bin Arqam,
أَنَّ
نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى مَسْجِدِ
قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتْ الشَّمْسُ
فَإِذَا هُمْ يُصَلُّونَ فَقَالَ إِنَّ صَلاةَ الأَوَّابِينَ كَانُوا
يُصَلُّونَهَا إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ
"Bahwasanya
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang ke masjid Qubba' atau masuk ke
dalam masjid Qubba' sesudah matahari terbit yang pada saat itu mereka
sedang mengerjakan shalat. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya shalatnya
awwaabin (orang yang banyak taan kepada Allah) yang mereka
mengerjakannya apabila anak onta sudah kepanasan."
Maksud رَمِضَتْ الْفِصَالُ
(anak onta sudah kepanasan) adalah matahari sudah sangat panas sampai
memanaskan tanah dan pasir sehingga panasnya itu dirasakan oleh kaki
anak-anak onta. Hal itu tidak terjadi kecuali pada saat matahari sudah
meninggi dan mendekati pertengahan siang. Hal itu terjadi beberapa menit
menjelang tergelincirnya matahari, sekitar seperempat jam menjelang
adzan Dzuhur. Dan pada waktu inilah pelaksanaan shalat Dhuha yang paling
utama. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: 1/85-86)
Imam
Nawawi berkata, "Dan faidah di dalamnya (hadits tersebut): utamanya
shalat (Dhuha) pada waktu ini. Para shahabat kami berkata: Ia merupakan
waktu shalat dhuha yang paling utama, walaupun boleh dikerjakan sejak
terbitnya matahari hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah
hari)." (Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, hadits no. 1237)
Syaikh
Mubarakfuuri mengatakan, "Dan hadits tersebut memberi faidah untuk
mengakhirkan shalat Dhuha sampai menjelang pertengahan siang." (Lihat
Bulughul maram dg ta'liqnya Ithaful Kiram: hal. 112)
Dari
al-Qasim al-Syaibani, bahwasannya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum yang
sedang melaksanakan shalat di waktu dhuha, maka ia berkata:
أَمَا
لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ
الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Tidakkah
mereka mengetahui bahwasannya shalat di selain waktu ini lebih utama?
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
“Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim)
Pengingkaran
Zaid bin Arqam ini bukanlah merupakan pengingkaran terhadap keberadaan
shalat Dhuha di awal siang. Akan tetapi pengingkaran Zaid bin Arqam ini
adalah agar supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah
meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar, karena
waktu pelaksanaan shalat Dhuha (Shalat Awwabiin) yang paling utama
adalah ketika matahari telah memanas. Wallahu Ta'ala a'lam.
Kenapa Disebut Shalat Awwabin?
Dinamakannnya
shalat yang dikerjakan pada waktu tersebut dengan shalat awwabin,
karena pada saat itu jiwa ini cenderung untuk istirahat, maka sibuk
mengerjakan shalat di dalamnya lebih mengutamakan mencari ridha Allah
Ta'ala dari pada menuruti keinginan jiwa. (Lihat Bulughul Maram dengan
Ta'liqnya Ithaful Kiram, hal. 112)
Shalat Awwabin adalah Shalat antara Maghrib dan Isya'
Ada
beberapa ulama yang menyebut shalat di antara maghrib dan Isya' adalah
shalat awwabin. Jumlah rakaatnya berlainan; dari dua rakaat, empat
rakaat, enam rakaat, sepuluh rakaat, sampai dua puluh rakaat. Hanya saja
riwayat-riwayat yang dijadikan sandaran tidak ada yang shahih dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Padahal sebagaimana yang diketahui bahwa asal dari ibadah adalah tawakkuf sehingga ada dalil shahih yang menunjukkannya.
Syaikh al-albani dalam Silsilah Dhaifah
(1/481) mengatakan: Ketahuilah bahwa setiap hadits yang menganjurkan
untuk melaksanakan beberapa rakaat tertentu di antara maghrib dan isya'
adalah tidak shahih, sebagiannya lebih dhaif dari yang lain. Dan
sesungguhnya telah ada riwayat shahih tentang shalat di waktu ini dari
praktek Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tanpa menetapkan jumlah tertentu. Sedangkan yang berasal dari sabda beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka setiap hadits yang diriwayatkan darinya adalah bermasalah yang tidak boleh diamalkan. Wallahu Ta'ala a'lam.
Kesimpulan
Shalat
awwabin adalah shalat Dhuha itu sendiri yang dikerjakan saat matahari
sudah meninggi dan memanaskan pasir dan bebatuan, sehingga anak onta
mengangkat kakiknya karena kepanasan. Waktu itu menjelang tengah hari
atau kira-kira seperempat jam sebelum adzan Dhuhur. Ini adalah waktu
terbaik untuk mendirikan shalat Dhuha.
Sedangkan
penamaannya untuk shalat di antara Maghrib dan Isya', memang ada
beberapa ulama yang mengakuinya, hanya saja riwayat-riwayat yang
menerangkannya tidak ada yang shahih, dan ini diakui oleh Imam Syaukani
dalam Nailul Authar. Sehingga yang lebih benar, bahwa shalat awwabin
adalah shalat Dhuha itu sendiri yang dilaksanakan menjelang Dhuhur.
Karenanya
sangat jelas perbedaannya dengan sunnah rawatib (shalat sunnah yang
mengiringi shalat fardhu), khususnya antara Maghrib dan Isya'. Dan
terdapat beberapa hadits shahih yang menerangkan tentang adanya shalat
sunnah sesudah Maghrib yang berjumlah dua raka'at. Bahkan jumhur
memasukkannya sebagai sunnah mu'akkadah (yang sangat-sangat ditekankan).
Namun itu tidak dinamakan dengan shalat awwabin. Wallahu Ta'ala a'lam.
[PurWD/voa-islam.com]
Sumber : VOA-ISLAM