Inilah bukti cinta yang sebenar-benarnya tentang cinta, yang telah dicontohkan Allah SWT melalui kehidupan Rasul-Nya.
Pagi itu, meski langit mulai menguning di ufuk timur, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Rasulullah dengan suara lemah memberikan khutbah terakhirnya;
Pagi itu, meski langit mulai menguning di ufuk timur, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayapnya. Rasulullah dengan suara lemah memberikan khutbah terakhirnya;
“Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, Al-Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, bererti mencintaiku dan kelak, orang-orang yang mencintaiku akan masuk syurga bersama-sama denganku.”
Khutbah
singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasul yang tenang menatap
sahabatnya satu-persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca,
dada Umar naik turun menahan nafas dan tangisnya. Usman menghela nafas
panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Isyarat itu telah
datang, saatnya sudah tiba Rasulullah akan meninggalkan kita semua!”
bisik hati para sahabat saat menangkap pandangan mata orang yang sangat
mereka cintai.
Sosok
mulia itu hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu
semakin terlihat saat Ali dan Fadhal dengan sigap memeluk Rasulullah
yang terlihat sangat lemah ketika melangkah turun dari mimbar. Saat
itu, jika saja mereka mampu, maka seluruh sahabat yang hadir di sana
pasti akan berusaha keras menahan detik-detik yang berlalu.
Matahari
kian tinggi, tapi pintu rumah Rasulullah masih tertutup. Sedang di
dalam, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan kening dan sekujur tubuh
berkeringat membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba
dari luar pintu terdengar seorang mengucapkan salam lalu meminta izin
untuk masuk. “Bolehkah saya masuk?” pintanya dengan santun. Namun
Fatimah yang menemui tamu ayahnya itu tidak mengizinkannya masuk.
“Maafkanlah wahai tuan, ayahku sedang sakit." kata Fatimah yang kemudian
membalikkan badan dan menutup pintu kembali. "Tidak mengapa," kata tamu
itu lagi dari balik pintu, "saya akan bersabar menunggu di sini sampai
sahibul bait bersedia menemui tamunya." lanjutnya lembut. Lalu ia pun
duduk di salahsatu sudut di depan rumah Rasulullah. Fatimah
memperhatikannya sejenak, kemudian kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya, “Siapakah yang datang itu, wahai anakku?” “Tidak tahu, ayah. Sepertinya baru kali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lemah lembut. Mendengar
itu Rasulullah menatap puterinya dengan pandangan yang menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi bahagian dari wajah anaknya itu ingin
dikenangnya baik-baik. “Ketahuilah,
anakku. Dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang
memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikat maut,” kata Rasulullah. "ijinkan ia masuk, dan katakan padanya bahwa aku sudah siap ... "Mendadak hati Fatimah
seakan luruh bagai gunung es yang tiba-tiba saja mencair. Namun sambil
menahan ledakkan tangisnya, ia pun kemudian keluar mempersilakan sang
tamu untuk masuk menemui ayahnya.
Saat
melihat kedatangan tamunya itu, Rasulullah pun menanyakan mengapa
Malaikat Jibril tidak menyertainya. Mendengar itu, maka atas ijin Allah
SWT, dipanggilah Malaikat Jibril yang sebelumnya sudah bersiap untuk
menyambut kedatangan ruh kekasih Allah dan penghulu dunia itu di langit.
Setelah
mengetahui bahwa Malaikat Jibril telah berada di ruangan itu, maka
Rasulullah pun berkata, “Wahai Jibril, jelaskan padaku apa saja hakku
nanti di hadapan Allah?” pintanya dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu
langit telah terbuka. Para malaikat telah menanti ruhmu. Sedangkan
semua pintu surga terbuka lebar menanti kedatanganmu, ya, Rasulullah!”
kata Malaikat Jibril.
Tapi, jawaban Jibril itu rupanya belum memuaskan hati Rasul, matanya masih memancarkan kekhawatiran dan tanda tanya. “Tidakkah engkau senang mendengar kabar ini, ya, Rasulullah?” tanya Malaiakat Jibril.
Seakan
tak mengindahkan pertanyaannya, Rasulullah kembali berucap,
“Kabarkanlah padaku bagaimana nasib umatku kelak setelah aku tiada."
pintanya.
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah. Aku mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Malaikat Jibril meyakinkannya. Mendengar itu Rasululullah pun kemudian diam.
Detik-detik
kian mendekat hingga tibalah saatnya Izrail, sang Malaikat Maut,
melakukan tugasnya. Setelah lebih dulu menanyakan kesiapan Rasul yang
dijawab dengan isyarat sebagai tanda sudah, maka perlahan-lahan ruh
Rasulullah pun ditarik oleh Malaikat Maut.
Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Wahai Izrail, betapa sakitnya sakaratul maut ini.” Perlahan terdengar desisan suara Rasulullah mengaduh.
Fatimah
hanya mampu memejamkan matanya. Sementara Ali yang duduk di sampingnya
hanya menundukan kepalanya semakin dalam. Malaikat Jibril pun
memalingkan muka. “Jijikkah engkau melihatku hingga memalingkan wajah, wahai Jibril?” tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang sanggup menyaksikan kekasih Allah meregang nyawa?” kata Jibril sambil terus berpaling. Sedetik kemudian terdengar Rasulullah memekik karena sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya
Allah, sungguh dahsyat rasa sakaratul maut ini! Hamba mohon timpakanlah
semua siksa maut ini kepadaku saja, jangan pada umatku,” pinta Rasul
pada Allah.
Badan
Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seperti hendak membisikkan sesuatu. Ali pun segera
mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”
Di
luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan. Para sahabat saling
berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali
mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii,
ummatii, ummatiii ...... !!!” Terdengar ucapan terakhir Rasulullah
sangat lirih, dan berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinar
kemuliaan kepada umat manusia itu.
Hari ini, dapatkah kita mencintainya seperti beliau mencintai kita?
Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa baarik wa salim ‘alaihi.
Betapa besar cinta Rasulullah kepada umatnya.
[Disadur dari Blog Wawasan]