Nikah Bikin Kita Kaya ? percaya atau tidak banyak hal ini terbukti , pas banget malam ini judul ceramah yang saya dapat mengenai anjuran menikah ,
taukah sobat mengenai anjuran menikah di dalam agama islam? ya
rasulullah SAW mengajarkan kita untuk menikah, karena jodoh sudah Allah
tentukan dan yang terpenting kita harus ikhtiar, jikalau memang kita tdk
dapat jodoh di dunia, Insya Allah di akhirat ada bidadari yang
menunggu,hehhehe.
ada kisah seorang pemuda sahabat rasulullah yang bertanya kepada
rasulullah, "ya rasul, bagaimana caranya agar aku kaya ?" dan rasulullah
menjawab menikahlah, singkat cerita pemuda tersebut mengikuti perintah
rasul dan menikah, akhirnya pemuda tersebut menjadi kaya. nah bagaimana ?
dan kalau mau nikah juga gak boleh asal2an milih jodoh, yang terpenting
adalah agamanya, apabila agamanya baik, maka Insya Allah baik pula
nantinya rumah tangganya, byk org yg menikah ujung2nya cerai, karena
mereka menikah bukan karena Allah namun karena hal lain seperti harta.
kenapa kok nikah bisa bikin kaya ? ya itu kuasa Allah, bayangkan saja 2
rezky hamba Allah di gabungkan menjadi satu, lalu ada keturunannya,
gimana gk kaya coba ? nah ini ada kisah lagi monggooo...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Pada hari-hari pertama pernikahan kami,
suami bertanya, “Ke mana saja uangmu selama ini?” Pertanyaan itu sungguh
menggedor dadaku. Ya, ke mana saja uangku selama ini?
Buku tabunganku tak pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta.
Selalu hanya satu digit. Itu pun biasanya selalu habis lagi untuk
kepentingan yang agak besar seperti untuk bayar kuliah (ketika aku
kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di kampung.
Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil
amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis,
instruktur pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat,
honor anggota tim audit ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku
selama ini?
Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk
keaktifanku cukup besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya
kegiatan, makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran
uangku yang tidak jelas.
Namun diam-diam aku malu padanya. Sesaat sebelum pernikahan kami, dia
berkata, “Gajiku jauh di bawah gajimu...”. Kata-kata suamiku -ketika
masih calon- itu membuatku terperangah. “Yang benar saja?” sambutku
heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan kondisi
perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat
numerasinya.
Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan gajinya yang kecil
itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah
sepeda motor baru dan sebuah rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota
Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan
dikantornya dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal
kompromi untuk urusan uang tak jelas.” Fakta bahwa gajinya kecil
membuatku tahu bahwa suamiku adalah seorang yang hemat dan pandai
mengatur penghasilan. Sedang aku?
Hari-hari pertama kami pindahan...
Aku menata baju-baju kami di lemari. “Mana lagi baju, Mas?” tanyaku pada
suami yang tengah berbenah. “Udah, itu aja!” Aku mengernyit. “Itu aja?
Katanya kemarin baju Mas banyak?” tanyaku lebih lanjut. “Iya, banyak
kan?” tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian menghitung dengan suara
keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu celana panjang
baru, tiga pasang baju seragam.
Itu untuk baju yang dipakai keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga
potong kaos oblong dengan gambar sablon sebuah pesantren, dua celana
pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian dalam.
Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi
pintu sebuah lemari. Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya
pakaianku lebih dari tiga kali lipat lebih banyak dibanding jumlah baju
suamiku. Kata orang, kaum wanita biasanya memang memiliki baju lebih
banyak dibanding kaum laki-laki.
Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku.
Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke
mana saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk
keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang
untuk belanja pakaian. Oo!
Pekan-pekan pertama aku hidup bersamanya...
Aku mencoba mencatat semua pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak
untuk makan sehari-hari. Cukup pusing memang. Apalagi jika melihat
harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba lihat...! Untuk makan
seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari seratus ribu.
Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam seminggu
selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari.
Buah–makanan -kesukaanku- dan susu –minuman favorit suamiku- selalu
tersedia di kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya
menghabiskan kurang dari lima ratus ribu untuk makan dan belanja
bulanan.
Aku jadi berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika
melajang? Aku tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat
pengeluaranku dan aku tidak memasak. Tapi yang pasti, makan siang dan
malamku rata-rata seharga sepuluh hingga belasan ribu. Belum lagi jika
aku jalan-jalan atau makan di luar bersama teman. Bisa dipastikan
puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan lebih dari
500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!
Baru sebulan menikah....
“De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak? Bisa lebih diatur lagi?”
“Mas, untuk pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah
saranaku mengerjakan amanah di organisasi.” Si mas pun mengangguk. Tapi
ternyata, kuhitung dalam sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300
ribu, itu pun sudah termasuk pulsa untuk hp si Mas, lumayan berkurang
dibanding dulu yang nyaris selalu di atas 500 ribu rupiah.
Masih bulan awal perkawinan kami...
Seminggu pertama, aku diantar jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi
berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan
raya dan meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua
ribu rupiah saja. Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali,
masing-masing dua ribu rupiah.
Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari
kantor. Bisa ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima
belas menit. Ongkosnya dua ribu rupiah saja sekali jalan.
Tapi dulu aku malas jalan kaki. Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku
sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu rupiah. Kadang-kadang aku naik
dua kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya
ternyata ongkos jalanku dulu? Belum lagi jika hari Sabtu Ahad.
Kegiatanku yang banyak membuat pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku
berlipat.
Belum lagi tiga bulan menikah....
“Ke ITC, yuk, Mas?” Kataku suatu hari. Sejak menikah, rasanya aku belum
lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling pasar tradisional.
“Oke, tapi buat daftar belanja, ya?” kata Masku. Aku mengangguk. Di ITC,
aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat yang menarik, aku
berhenti.
Tapi si Mas selalu langsung menarik tanganku dan berkata,”Kita
selesaikan yang ada dalam daftar dulu?” Aku mengangguk malu. Dan aku
kembali teringat, dulu nyaris setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku
mampir ke ITC, mall dan sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada
sesuatu yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga
itu?
Masih tiga bulan pernikahan “Kita beli oleh-oleh sebentar ya, untuk
Bude?” Masku meminggirkan motor. Kios-kios buah berjejer di pinggir
jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah salah satu kerabat.
Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi itu.
“Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM itu...” Aku ingat, tadi pagi seorang
tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini adalah kesekian kali, ada
tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan. Dan selama masih
ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi pinzaman(meski tidak
langsung saat itu juga). Semua itu membuatku tahu, meskipun hemat, si
Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya. Jangan
menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan
lantas menjadi pelit!
***
Semester pertama pernikahan....
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang
mata. Benda itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru kelas
menengah (meski masih termasuk kategori low end).
Namun selama ini, setiap kali melihatnya di pameran atau di toko-toko
komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi. Tak pernah berani
merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi rasanya,
dalam waktu dekat benda di etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh
indah, memiliki sebuah benda berharga yang kubeli dengan uangku sendiri,
uang yang kukumpulkan dari gajiku.
Sejak menikah, aku tak pernah lagi membeli baju untuk diriku sendiri.
Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling untuk sebulan. Sejak
menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke kantor. Aku juga
jarang ke mall lagi.
Dan kini, setiap kali akan membeli sesuatu, aku selalu bertanya:
perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku menikmati semua itu. Dan
kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu yang lebih berharga
dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku dan
masa depanku nanti.
Aku bersyukur kepada Allah. Semua ini, bisa dikatakan sebagai berkah
pernikahan. Bukan berkah yang datang tiba-tiba begitu saja dari langit.
Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui pelajaran berhemat yang
dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...
*Oleh Azimah Rahayu ...
Wallahua’lam bish Shawwab ....
Barakallahufikum ....
Nah bagaimana ? hukum nikah udah tau kan ? hehehhe, ayo ayo
tunaikan sunah rasul ,hehhehe. mari kita berikhtiar dan menikahlah
karena Allah bukan karena harta. [sumber]