Adalah
mengherankan, ada di kalangan ummat Islam yang salah dalam menyikapi
Al- Qur’an. Mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai sarana mencari nafkah.
Sebagian mereka menghapal Al-Qur’an dengan tujuan agar bisa di gunakan
oleh orang yang membutuhkannya dalam acara-acara pernikahan dan
perayaan-perayaan tertentu.
Al-Qur’an
datang menyinari hati yang gelap dan menyinari jiwa yang gersang. Dan
dia datang sebagai juru nasehat bagi orang yang membutuhkan bimbingan,
sebagai pembawa kabar gembira bagi orang yang mau beriman dan sebagai
pemberi peringatan bagi orang yang mengingkarinya. Betapa banyak
kebaikan yang dapat dirasakan dengan kedatangannya, sehingga orang yang
sedih akan menjadi gembira dengan membacanya dan orang yang bingung
akan menjadi tenang, serta orang yang hina akan menjadi mulia dengan
mempelajari dan mengamalkannya.
Lebih
jauh, diapun sebagai obat mujarab bagi segala penyakit. Siapa yang
membaca ayat- ayatnya untuk pengobatan, maka akan mendapati mukjizat
Al-Qur’an dengan menyembuhkan berbagai penyakit dengan seizin Allah
Ta’ala, termasuk beberapa jenis penyakit yang kalangan medis saat ini
belum mampu menyembuhkannya. Sehingga tidaklah mengherankan kalau di
katakan Al-Qur’an adalah penawar dan rahmat bagi orang yang beriman,
sebagaimana firman-Nya:
“Dan
kami turunkan Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar (penyembuh
penyakit fisik maupun rohani) dan rahmat bagi orang yang beriman
kepada-Nya. “(QS. Al-Isra’[17] : 82).
Bahkan
jika dilihat dari segi pahala dan keutamaannya, Al-Qur’an menyimpan
sekian banyak pahala dan keutamaan bagi orang yang mendengar, membaca,
mempelajari, memahami dan mengamalkannya. Orang yang mahir membaca
Al-Qur’an maka pada hari kiamat akan di kumpulkan bersama rombongan
malaikat yang mulia. Sedangkan bagi orang yang terbata-bata dalam
membacanya akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala dia membaca
Al-Qur’an dan pahala kesungguhan dalam membacanya dengan baik dan benar.
Al-Qur’an
akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi orang yang
membacanya dan mengamalkannya. Bahkan Al-Qur’an akan menjadi pelindung
baginya dari adzab Allah Ta’ala di dunia maupun akhirat. Sehingga
dikatakan, orang yang mempelajari Al-Qur’an akan mengamalkannya sebagai
sebaik-baik manusia, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari – Muslim).
Tetapi
kebaikan, keutamaan dan pahala tersebut tidak dapat dirasakan kecuali
oleh orang-orang yang diberi taufik dan hidayah oleh Allah Ta’ala agar
mau beriman kepadanya, membaca, mempelajarinya, dan berusaha
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun orang yang
ingkar terhadapnya, tidak mau beriman kepadanya, tidak mau membaca
maupun mempelajarinya, apalagi mengamalkannya, maka sekali-kali dia
tidak akan merasakan manfaat dari Al Qur'an barang sedikitpun. Untuk
mereka Al-Qur’an akan menjadi sebab dihinakan dan di sesatkannya orang
tersebut, bahkan akan menjadi hujjah (alasan) di hadapan Allah Ta’ala
untuk menyiksakan pada hari kiamat.
Yang
lebih mengherankan, ada di kalangan ummat Islam ini yang salah dalam
menyikapi Al- Qur’an. Mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai sarana
mencari nafkah. Sebagian mereka menghapal Al-Qur’an dengan tujuan agar
bisa di gunakan oleh orang yang membutuhkannya dalam acara-acara
pernikahan dan perayaan-perayaan tertentu. Kemudian dia mendapat upah
dari bacaannya. Ada lagi yang menggunakan Al-Qur’an sebagai alat mencari
nafkah di pemakaman kaum muslimin. Bila ada di antara kaum muslimin
yang ingin menziarahi saudaranya di perkuburan umum, maka tidak perlu
repot-repot membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan menghapalkan do’a-do’anya.
Ini baru sebagian contoh kesalahan yang terjadi di masyarakat Islam,
dan anehnya lagi, di anggap sebagai hal yang lumrah.
Akar
dari musibah memilukan ini adalah adanya keyakinan bahwa bacaan
Al-Qur’an yang mereka bacakan untuk orang mati itu bisa bermanfaat bagi
si mayit. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk mengamalkannya, bahkan
mereka begitu bersemangat untuk melakukan amalan bid’ah ini lebih besar
daripada untuk ibadah yang wajib, yang sudah sangat jelas keutamaan
dan faedahnya. Sebagai contoh, mereka sangat pro-aktif dalam mengamalkan
bi’dah ini, sementara sholat berjama’ah di masjid mereka lalaikan.
Harapan
mereka, bacaan tersebut bisa bermanfaat bagi si mayit agar terbebas
dari siksa kubur dan mendapat pahala yang terus mengalir, padahal Allah
Ta’ala dan Rasulnya tidak pernah mengajarkan yang demikian. Bahkan
ditegaskan dalam firman-Nya bahwa seseorang tidak memperoleh pahala
melainkan dari yang diusahakannya saja. Jika usahanya baik maka dia
akan mendapatkan balasannya dan jika usahanya buruk dia akan
mendapatkan balasannya pula. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan bahwasanya seseorang tidak memperoleh selain apa yang telah di usahakannya. “(QS. An- Najm [53]: 39).
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam juga menegaskan dalam salahsatu sabda beliau:
“Jika
manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara:
Shodaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang
mendo’akannya.“ (HR. Muslim).
Adapun
jika anak si mayit yang membaca Al-Qur’an, maka pahalanya akan sampai
kepadanya, karena anak adalah hasil usaha ayahnya. Ini adalah pendapat
ulama, diantaranya Al-Imam Asy- Syafi’i Rahimahullah.
Yang
perlu dipertanyakan, bagaimana mungkin Al-Qur’an bisa memberi manfaat
kepada si mayit, apabila semasa hidupnya ia suka meninggalkan sholat,
suka berbuat maksiat, dan perbuatan dosa-dosa lainnya? Al-Qur’an
sendiri sesungguhnya telah memberinya peringatan akan kecelakaan dan
siksa dari Allah SWT.
Allah
Ta’ala tidaklah menurunkan Al-Qur’an yang mulia ini melainkan agar
dibaca, di pahami dan diamalkan isinya. Yakni perintah-perintah yang
hendaknya dikerjakan dengan ikhlas sesuai dengan yang dicontohkan oleh
Rasulullah Shollallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu
‘anhum ajmai’in. Adapun yang berupa larangan hendaknya dijauhi dengan
sejauh-jauhnya. Dan tentu tidak ada yang dapat melakukan hal ini
melainkan orang yang hidup, sehat akal dan fikirannya, serta terjaga
fitrahnya. Dengan demikian maka tentu saja, Al-Qur’an diperuntukkan bagi
orang hidup. Bukan untuk orang mati.
Maraji’
1. Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
2. At-Tibyan fii Aadaabi Hamalatil Qur’an, karya Al-Imam An-Nawawi.
Dikutip
dari http://Darussalaf.or.id Dinukil dari Buletin Al-Bayyinah,
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah, Judul asli: Keutamaan Al Qur’an.
Wassalam, Abu Muawiah / sumber