Tuesday, 10 July 2012

> > Al-Qur’an, Kitab yang ‘Menelan’ si Pembacanya..

Al-Qur’an, Kitab yang ‘Menelan’ si Pembacanya..


Marilah kita mulai membaca ayat ini pelan-pelan, satu persatu. Kita mengambil posisi berhadapan dengan Al-Qur’an, membaca informasi yang ada didalamnya,

Pertama kita baca kalimat ‘Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ,dst, dst’, ketika membaca kalimat tersebut, kita diposisikan oleh si Penulisnya untuk mengambil tempat berhadapan dengan-Nya, Dia bicara langsung kepada kita karena memakai kata ganti orang pertama, lalu ketika melanjutkan membaca ‘yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan langit dan bumi’, ketika itu posisi sudah berpindah, si penutur kalimat seolah-olah berada disamping, menceritakan tentang Allah ‘disana’ si Pencipta langit dan bumi, kita seolah-olah berada disatu ketinggian melihat luasnya langit dan bumi yang diciptakan-Nya, berinteraksi dengan alam raya sebagai bukti tentang keberadaan Allah. Kalau dibayangkan sebagai suatu shooting adegan film, posisi kamera yang sebelumnya berada dibelakang kita, mewakili mata kita untuk menatap sipenutur cerita telah berpindah, posisinya sekarang beralih berada disamping  untuk mengarahkan pandangan kearah alam semesta, keberadaan kita tidak lagi tampak dalam layar, namun tergambar melalui mata kamera, sama-sama memandang alam yang ditangkap oleh kamera tersebut.

Lalu ketika melanjutkan kepada kalimat ‘Tuhan yang Maha Pemurah, bersemayam diatas ‘arsy, posisi kita makin ‘menciut’ memberi penekanan kepada keagungan ‘arsy karena adanya perpindahan bentuk kata ‘Allah’ menjadi ‘ar-rahmaan’, Allah nun berada dalam keagungan-Nya, namun sifatnya yang ar-rahman terasa sangat dekat dengan kita yang berada ditengah-tengah alam semesta ciptaan-Nya. Ibarat kamera di ‘zoom-out’ menciptakan jarak yang makin jauh, namun dikontradiksikan dengan pemakaian kata yang menunjukkan sekalipun jaraknya makin jauh tetapi kekuasaan-Nya tetap dekat menjangkau setiap gerak-gerik kita. Ketika dilanjutkan ke kalimat ‘kepunyaan-Nya, dst, dst’, kata ganti yang dipakai adalah pihak ketiga, berarti si penuturnya ada disamping kembali, sekali lagi memperlihatkan apa yang menjadi kepunyaan-Nya, yaitu seluruh langit dan bumi yang bisa dilihat. Kamera berpindah posisi berada disamping kita dan pihak yang memberikan informasi, merekam dialog yang terjadi antara dua pihak. ‘Skenario’ setelah itu memberikan kesan bahwa kamera kembali berada dibelakang kita menyorot pihak yang berbicara, yang muncul dilayar adalah close-up wajah pihak yang menuturkan cerita, si penutur seolah-olah berpindah dihadapan untuk menjelaskan kekuasaan Tuhan, ‘jika kamu mengeraskan ucapan, maka sesungguhnya Dia..‘, artinya kita sedang diberitahu ‘face to face’ oleh sesuatu yang bertutur tentang Dia yang ada disana yang mengetahui segalanya, memberitahukan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia yang mengetahui isi hati kita tersebut, menyatakan bahwa Dia memiliki nama-nama yang indah untuk dipanggil. Perubahan posisi dari samping menjadi ke depan dengan kondisi ‘close-up’ menciptakan kesan si penuturnya meminta kita untuk fokus terhadap apa yang diinformasikan, sebagai suatu ‘kesimpulan’ dari rangkaian cerita dari awalnya. Ini diibaratkan ketika kita mau mengajarkan seseorang dan mengharapkan agar dia fokus memperhatikan apa yang disampaikan, kita lalu mengambil posisi berhadapan dengan dia, duduk dalam jarak yang dekat, mata ketemu mata, sehingga situasi di sekeliling tidak bisa mengganggu konsentrasi  orang tersebut, maka pesan bisa sampai dengan sempurna.

Demikian kondisi kebathinan seorang pembaca surat Thaha 2-8, ibarat menonton bioskop, skenario yang dibuat adalah bersifat interaktif. Penonton tidak duduk di kursi menonton dialog linier sambil makan popcorn dan minum coca-cola, melihat layar, tembak-tembakan, kebut-kebutan. Kita tidak terlibat dengan hanya duduk mendengar dialog si A bicara kepada si B, lalu si B menjawab si A. Setelah film selesai diputar, maka urusan juga selesai tanpa kesan berarti. Adegan film tinggal adegan film, kita sama sekali tidak ada urusan dengan segala aksi yang terjadi karena tugas kita hanya menonton. Sebaliknya ‘skenario’ Al-Qur’an yang merubah-ubah kata ganti, membuat si pembacanya menjadi masuk dan ikut terlibat kedalam apa yang dibaca, menyerap pesan nyang disampaikan seolah-olah mendapatkannya karena kita ikut terlibat didalamnya.

Ada cerita menarik dari Komaruddin Hidayat, mengisahkan tentang temannya, seorang Profesor di universitas McGill, Montreal, Canada yang telah masuk Islam. Profesor tersebut mengemukakan pendapatnya tentang Al-Qur’an : “Jika saya membaca buku-buku teori akademis, cukuplah seminggu persiapannya dan saya akan bisa menjelaskannya di depan mahasiswa saya 80% dari kandungan buku tersebut. Kalau saya membaca buku novel, maka cukuplah sekali saja, sudah malas untuk membaca kedua kalinya. Buku-buku ilmiah itu logikanya linier, runtut, mudah diikuti uraiannya, dengan metode ‘speed reading’ sebuah buku tebal bisa tamat dibaca hanya dalam waktu sehari. Namun ketika saya membaca Al-Qur’an, saya menemukan gaya penuturan yang sangat kompleks, adakalanya linier, lalu memutar balik, dan kalau dicermati saling berhubungan membentuk jaringan makna. Sekalipun saya membaca ayat yang sama seperti yang saya baca kemaren, saya menemukan adanya perbedaan kesan dan rasa”.

Kesan yang sama juga dikemukakan oleh Prof. Jeffrey Lang, ketika dia pertama kali berinterkasi dengan Al-Qur’an :

Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.

“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.

Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”

“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.

“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”