Marilah kita mulai membaca ayat ini
pelan-pelan, satu persatu. Kita mengambil posisi berhadapan dengan
Al-Qur’an, membaca informasi yang ada didalamnya,
Pertama kita baca kalimat ‘Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ,dst, dst’,
ketika membaca kalimat tersebut, kita diposisikan oleh si Penulisnya
untuk mengambil tempat berhadapan dengan-Nya, Dia bicara langsung kepada
kita karena memakai kata ganti orang pertama, lalu ketika melanjutkan
membaca ‘yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan langit dan bumi’,
ketika itu posisi sudah berpindah, si penutur kalimat seolah-olah
berada disamping, menceritakan tentang Allah ‘disana’ si Pencipta langit
dan bumi, kita seolah-olah berada disatu ketinggian melihat luasnya
langit dan bumi yang diciptakan-Nya, berinteraksi dengan alam raya
sebagai bukti tentang keberadaan Allah. Kalau dibayangkan sebagai suatu
shooting adegan film, posisi kamera yang sebelumnya berada dibelakang
kita, mewakili mata kita untuk menatap sipenutur cerita telah berpindah,
posisinya sekarang beralih berada disamping untuk mengarahkan
pandangan kearah alam semesta, keberadaan kita tidak lagi tampak dalam
layar, namun tergambar melalui mata kamera, sama-sama memandang alam
yang ditangkap oleh kamera tersebut.
Lalu ketika melanjutkan kepada kalimat ‘Tuhan yang Maha Pemurah, bersemayam diatas ‘arsy, posisi kita makin ‘menciut’ memberi penekanan kepada keagungan ‘arsy karena adanya perpindahan bentuk kata ‘Allah’ menjadi ‘ar-rahmaan’, Allah nun berada dalam keagungan-Nya, namun sifatnya yang ar-rahman terasa sangat dekat dengan kita yang berada ditengah-tengah alam semesta ciptaan-Nya. Ibarat kamera di ‘zoom-out’
menciptakan jarak yang makin jauh, namun dikontradiksikan dengan
pemakaian kata yang menunjukkan sekalipun jaraknya makin jauh tetapi
kekuasaan-Nya tetap dekat menjangkau setiap gerak-gerik kita. Ketika
dilanjutkan ke kalimat ‘kepunyaan-Nya, dst, dst’, kata ganti
yang dipakai adalah pihak ketiga, berarti si penuturnya ada disamping
kembali, sekali lagi memperlihatkan apa yang menjadi kepunyaan-Nya,
yaitu seluruh langit dan bumi yang bisa dilihat. Kamera berpindah posisi
berada disamping kita dan pihak yang memberikan informasi, merekam
dialog yang terjadi antara dua pihak. ‘Skenario’ setelah itu memberikan
kesan bahwa kamera kembali berada dibelakang kita menyorot pihak yang
berbicara, yang muncul dilayar adalah close-up wajah pihak yang menuturkan cerita, si penutur seolah-olah berpindah dihadapan untuk menjelaskan kekuasaan Tuhan, ‘jika kamu mengeraskan ucapan, maka sesungguhnya Dia..‘, artinya kita sedang diberitahu ‘face to face’
oleh sesuatu yang bertutur tentang Dia yang ada disana yang mengetahui
segalanya, memberitahukan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia yang
mengetahui isi hati kita tersebut, menyatakan bahwa Dia memiliki
nama-nama yang indah untuk dipanggil. Perubahan posisi dari samping
menjadi ke depan dengan kondisi ‘close-up’ menciptakan kesan si
penuturnya meminta kita untuk fokus terhadap apa yang diinformasikan,
sebagai suatu ‘kesimpulan’ dari rangkaian cerita dari awalnya. Ini
diibaratkan ketika kita mau mengajarkan seseorang dan mengharapkan agar
dia fokus memperhatikan apa yang disampaikan, kita lalu mengambil posisi
berhadapan dengan dia, duduk dalam jarak yang dekat, mata ketemu mata,
sehingga situasi di sekeliling tidak bisa mengganggu konsentrasi orang
tersebut, maka pesan bisa sampai dengan sempurna.
Demikian kondisi kebathinan seorang pembaca surat Thaha 2-8, ibarat
menonton bioskop, skenario yang dibuat adalah bersifat interaktif.
Penonton tidak duduk di kursi menonton dialog linier sambil makan
popcorn dan minum coca-cola, melihat layar, tembak-tembakan,
kebut-kebutan. Kita tidak terlibat dengan hanya duduk mendengar dialog
si A bicara kepada si B, lalu si B menjawab si A. Setelah film selesai
diputar, maka urusan juga selesai tanpa kesan berarti. Adegan film
tinggal adegan film, kita sama sekali tidak ada urusan dengan segala
aksi yang terjadi karena tugas kita hanya menonton. Sebaliknya
‘skenario’ Al-Qur’an yang merubah-ubah kata ganti, membuat si pembacanya
menjadi masuk dan ikut terlibat kedalam apa yang dibaca, menyerap pesan
nyang disampaikan seolah-olah mendapatkannya karena kita ikut terlibat
didalamnya.
Ada cerita menarik dari Komaruddin Hidayat, mengisahkan tentang
temannya, seorang Profesor di universitas McGill, Montreal, Canada yang
telah masuk Islam. Profesor tersebut mengemukakan pendapatnya tentang
Al-Qur’an : “Jika saya membaca buku-buku teori akademis, cukuplah
seminggu persiapannya dan saya akan bisa menjelaskannya di depan
mahasiswa saya 80% dari kandungan buku tersebut. Kalau saya membaca buku
novel, maka cukuplah sekali saja, sudah malas untuk membaca kedua
kalinya. Buku-buku ilmiah itu logikanya linier, runtut, mudah diikuti
uraiannya, dengan metode ‘speed reading’ sebuah buku tebal bisa tamat
dibaca hanya dalam waktu sehari. Namun ketika saya membaca Al-Qur’an,
saya menemukan gaya penuturan yang sangat kompleks, adakalanya linier,
lalu memutar balik, dan kalau dicermati saling berhubungan membentuk
jaringan makna. Sekalipun saya membaca ayat yang sama seperti yang saya
baca kemaren, saya menemukan adanya perbedaan kesan dan rasa”.
Kesan yang sama juga dikemukakan oleh Prof. Jeffrey Lang, ketika dia pertama kali berinterkasi dengan Al-Qur’an :
Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai
membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi
berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak
menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah
menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan
yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung,
personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan
menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya
berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ
menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik
ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang
Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah
pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan
berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara
berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral
yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan
saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan
pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya
dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”