Pertanyaan
sering diajukan tentang model pakaian dan atribut laki-laki yang
mewakili nilai-nilai Islam :”Pakaian seperti apa yang bisa dikatakan
sebagai pakaian Muslim..??”. Sebagian memakai ghamis Arab lengkap dengan
‘keffiyeh’ menutup kepala, lalu mereka merasakan diri sudah
memakai pakaian Muslim. Yang lain pakai baju Yaman atau model mujahidin
Afganistan, lalu menganggap itulah pakaian ‘ala’ Islam. Ada
lagi yang pakai baju Pakistani, atau model baju Maroko yang sering
dipakai oleh ustadz Jeffry (Uje), itu juga dikatakan model yang Islami.
Yang ‘made in dalam negeri’ juga tidak ketinggalan, baju koko lengkap
dengan sarung dan kopiah, bisa berwarna hitam atau putih., padahal baju
koko sejatinya berasal dari Cina, sama sekali tidak ada urusannya dengan
Islam. Bahkan saya pernah menemukan pakaian Islam kombinasi baju ghamis
dengan sarung dan kopiah di kepala, saya sampai meledek dengan
menjulukinya model ‘nuwahabi’ alias campuran gaya nahdiyin dengan wahabi. Kalau dalam pernak-pernik ajaran kedua kelompok ini sering berseberangan, ternyata dalam model pakaian malah bisa akur.
Semua model pakaian tersebut dalam batas-batas tertentu dianggap
masyarakat umum mewakili cara berpakaian yang Islami, sekalipun tidak
tepat. Orang Arab memakai baju ghamis karena baju tersebut memang
merupakan produk budaya Arab, jadi Arab Muslim, Kristen, bahkan atheis
sekalipun pakai baju tersebut. Karena merupakan baju orang Arab, maka
semua lapisan masyarakat Arab menjadikan ghamis sebagai baju mereka,
tidak peduli ulama, pejabat, tukang copet, pemerkosa, semuanya akan
mengatakan ghamis adalah baju mereka. Namun di Indonesia dan mungkin
juga di beberapa negara non-Arab, ghamis sudah kadung dilekatkan dengan
Islam, mungkin karena persepsi yang muncul dalam masyarakat kita Islam
adalah Arab, maka model pakaian mereka juga ikut-ikutan memuat nilai
Islam. ‘Keffiyeh’ buat sementara orang dianggap mewakili gaya
pejuang Palestina, dan karena Palestina, maka itu adalah simbol Islam,
padahal duta besar palestina di Indonesia, Fariz Mehdawi, pernah
menyatakan 50% penduduk Palestina sebenarnya adalah orang Yahudi. Namun
ini juga tidak masalah, persepsi masyarakat umum di Indonesia tersebut
sudah melekatkan nilai Islami terhadap baju ghamis atau keffiyeh, maka
seseorang yang mengenakannya pasti punya niat untuk menunjukkan diri
sebagai seorang Muslim. Demikian juga dengan baju model lain, mulai dari
Pakistani, Maroko, sampai ke baju koko, sarung dan kopiah. Sepanjang di
wilayah tersebut hidup persepsi yang sama tentang model suatu pakaian
dan terkait dengan nilai Islam, maka si pemakainya akan dikatakan
berusaha menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim.
Bisa jadi suatu waktu, karena sudah banyaknya orang-orang non-Muslim
yang memakai pakaian yang selama ini melekat nilai-nilai Islam, lalu
persepsi masyarakat berubah, tidak lagi menyatakan misalnya ghamis bukan
lagi mewakili nilai-nilai Islam karena orang-orang Arab mayoritas sudah
murtad dan kafir, sehingga dalam masyarakat terbentuk persepsi ghamis
adalah simbol kekafiran, maka umat Islam tidak akan lagi memakai ghamis
untuk menunjukkan dirinya sebagai Muslim, mereka akan mencari simbol
lain yang masih dianggap melekat nilai-nilai Islaminya. Bisa juga ada
kemungkinan, pakaian model lain yang dulunya dianggap mewakili
kekafiran, kemaksiatan dan budaya non-Muslim, seperti jas dan dasi, lalu
dengan banyaknya orang Eropah dan Amerika yang beralih memeluk Islam
sehingga menjadi mayoritas, maka persepsi masyarakat umum terbentuk
dengan mengatakan jas dan dasi sudah menjadi simbol-simbol yang Islami,
maka orang yang ingin menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim
akan memakai pakaian tersebut.
Semua yang saya sebutkan diatas adalah tentang simbol-simbol Islam
melalui pakaian dan asesorisnya, terbentuk dari persepsi masyarakat,
bisa berubah-ubah, bisa berbeda antara satu negara dengan negara lain,
bisa juga berubah sesuai perkembangan jaman. Umat Islam banyak yang
memakai simbol-simbol tersebut untuk menyatakan identitasnya sebagai
seorang Muslim, dengan tujuan agar ketika memakainya ada pengaruh
positif yang muncul untuk mengidentifikasikan diri sebagai seorang
Muslim, lalu mengatur perilakunya sesuai ajaran Islam, minimal selama
dia memakai simbol-simbol tersebut. Anda sebenarnya bisa mencoba
bagaimana pengaruh pakaian ini bekerja. Silahkan suatu waktu anda
memakai pakaian yang dipersepsikan oleh masyarakat sekeliling mengandung
nilai-nilai kebebasan, urakan dan cuek, maka perilaku anda juga akan
terdorong untuk melakukan gaya yang sesuai nilai yang dilekatkan
masyarakat terhadap pakaian anda. Anda pakai model baju Michael Jackson,
maka anda berusaha untuk bergerak lincah, kalau perlu sering pakai gaya
jalan ‘moonwalk’. Tahun 80’an orang banyak yang memakai simbol pakaian model John Travolta, maka kelakuannya juga meniru gaya slengek’an seperti yang diperagakannya dalam film ‘Grease’.
Dulu di Indonesia terkenal model Lupus, tokoh cerpen anak muda, dengan
gaya cuek pakai permen karet ditiup, maka anak muda yang memakai
simbol-simbol tersebut juga berusaha mengidentifikasikan diri untuk
berlagak cuek, sekalipun banyak yang kurang pas sehingga malah terkesan
tengik. Yang ingin saya sampaikan, pemakaian simbol berupa model pakaian
dan asesorisnya punya pengaruh terhadap perilaku orang yang memakainya
karena adanya kesamaan persepsi dengan masyarakat disekeliling terhadap
nilai yang dikandung oleh simbol tersebut.
Sekarang kita telusuri bagaimana Islam mengajarkan tentang pemakaian simbol-simbol ini…
Allah dalam Al-Qur’an menyinggung soal simbol ini dalam perintahnya tentang kewajiban wanita Muslim untuk memakai jilbab :
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzaab: 59)
Saya
tidak bermaksud membahas perbedaan pendapat ulama tentang jilbab,
terkait apakah bagian wajah termasuk bagian tubuh wanita yang harus
ditutup, sebagian ulama menyatakan harus dan sebagian lainnya mengatakan
tidak termasuk. Yang jelas perintah untuk memakai simbol yang bernama
jilbab memang ada dalam Al-Qur’an. Menariknya, Allah memberikan salah
satu alasan mengapa Dia mewajibkan wanita muslimah untuk memakai jilbab
dengan alasan ‘lebih mudah untuk dikenal’. Disini Allah
sebenarnya bicara soal simbol, sesuatu penampilan yang mengandung nilai
Islami yang membedakan si pemakainya dengan wanita yang tidak
memakainya. Disini Allah dengan jelas telah menetapkan pakaian yang
berbentuk jilbab telah dilekatkan-Nya dengan nilai-nilai Islam, ini
bukan lagi persepsi yang dibentuk oleh masyarakat umum, berbeda halnya
dengan baju ghamis, sarung, sorban, baju koko, persepsi masyarakat
justru terbentuk setelah adanya perintah Allah ini. Dengan memakai
jilbab, maka muslimah tersebut menyatakan dirinya sebagai seorang
Muslimah, dan karena simbol-simbol yang dipakai berinteraksi dengan si
pemakainya, maka dalam diri Muslimah tersebut muncul dorongan untuk
memakai nilai-nilai Islam, serta berusaha menghindari dari tindakan yang
bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, minimal selama dia memakai
jilbab. Allah mengetahui bahwa perilaku manusia bisa dipengaruhi oleh
simbol yang saat itu dia kenakan.
Mungkin anda akan bertanya :”Seperti halnya baju ghamis, jas dan
dasi, celana jeans dan kaos, apakah persepsi terhadap jilbab bisa
berubah..?? suatu saat ketika banyak non-Muslim yang memakai jilbab dan
berkelakuan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, lalu masyarakat
punya persepsi jilbab bukan lagi terkait dengan nilai Islam, bukankah
itu bisa terjadi..?”. Tentu saja secara logika hal tersebut bisa saja
terjadi. Sekarangpun usaha orang untuk memisahkan jilbab dari
nilai-nilai Islam sudah banyak dilakukan, baik yang terjadi dikalangan
Muslimah sendiri yang tidak menjaga kelakuannya ketika memakai jilbab,
maupun pihak lain yang memang sengaja mau merusak dan memisahkan nilai
Islam dari jilbab. Kita dengan gampang menemukan banyaknya beredar video
porno dengan pelakunya wanita memakai jilbab, atau juga foto-foto
memuat model perempuan memakai jilbab dengan gaya yang seronok. Ini
semua jelas mengarah kepada usaha untuk memisahkan jilbab dengan nilai
yang dimuatnya sesuai apa yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an.
Lalu apakah kemudian persepsi kita menjadi berubah ketika melihat
seorang Muslimah memakai jilbab..? (maksud saya adalah jilbab yang
benar-benar jilbab, bukan apa yang disebut orang sekarang sebagai ‘jilbab trendy’, pakai kerudung tapi pantat megal-megol memakai jeans ketat).
Persepsi tersebut tetap ada, bahwa dalam penampilan Muslimah tersebut
tetap muncul nilai-nilai Islami, sekalipun mungkin sebelumnya kita
sudah menonton video porno yang memperlihatkan adegan cewek memakai
jilbab lagi beraksi. Allah sudah menetapkan suatu bentuk dan batasan
cara berpakaian, maka persepsi kita tidak akan berubah dari apa yang
telah ditetapkan Allah tersebut. Kalau anda masih penasaran lalu
bertanya :”Bagaimana kalau perilaku kemaksiatan dengan memakai jilbab
makin mewabah, apakah tidak akan mempengaruhi persepsi masyarakat lalu
berubah menjadikan jilbab sebagai simbol kemaksiatan..??”. Untuk
pertanyaan berandai-andai ini, kita bisa memberikan jawaban :”Keimanan
saya tidak bisa menerima kemungkinan itu, apa yang sudah ditetapkan
Allah akan berlaku sampai akhir jaman. Jadi silahkan saja dicoba terus
untuk memisahkan nilai Islam dari jilbab, dan habiskan umur anda untuk
itu..”. Sebagai seorang Muslim itulah sikap yang paling aman untuk
diambil, kalau tidak, misalnya anda meragukannya karena kemungkinan
tersebut masuk akal anda, anda lalu menunggu terjadinya perubahan
persepsi, ketika anda mati dan ternyata perubahan tersebut tidak juga
terjadi, anda akan tercatat mati sebagai seorang Muslim yang meragukan
ketetapan Allah yang jelas tercantum dalam Al-Qur’an, anda tahu sendiri
apa namanya orang yang mati dalam keadaan demikian..
Selain Al-Qur’an, Islam juga bicara soal simbol melalui hadits. Kita
menemukan sekurang-kurangnya 8 jalur periwayatan hadits yang berbicara
tentang memelihara jenggot. Intinya hadist tersebut berbunyi :
Dari Ibnu Umar r.a., Rosul -shollallohu alaihi wasallam- pernah
bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot kalian panjang,
dan potong tipislah kumis kalian! (HR. Bukhori: 5892)
Terdapat
beberapa redaksi tentang hadits ini, namun semuanya memuat soal kata :
(1) Selisihilah/bedakanlah diri kalian (2) memelihara jenggot (3)
mencukur kumis. Secara logika bunyi hadist ini agak aneh, pertanyaannya
adalah :”Apakah Rasulullah tidak tahu bahwa tidak semua laki-laki
mempunya ‘bakat’ tumbuh jenggot dan kumis..??”. Kita tentu tidak punya
pikiran bahwa nabi Muhammad SAW, yang setiap perkataan dan perbuatannya
selalu dalam bimbingan Allah, tidak mengerti apa-apa soal tersebut.
Namun perhatikanlah sekali lagi bunyi haditsnya lalu dikaitkan dengan
sebab mengapa Rasulullah memerintahkannya. Dalam periwayatan melalui
jalur lain dicatat bahwa ucapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan
para sahabat :
Dari Abu Umamah: …lalu kami (para sahabat) pun menanyakan: “Wahai
Rosululoh, sungguh kaum ahli kitab itu (biasa) memangkas jenggot mereka
dan memanjangkan kumis mereka?”. (HR. Ahmad: 21780, dihasankan oleh Albani, dan dishohihkan oleh Muhaqqiq Musnad Ahmad, lihat Musnad Ahmad 36/613)
Jadi inti dari ajaran Rasulullah soal ini terletak kepada kata ‘selisihilah/bedakan diri kalian dengan kaum musyrik’,
dan disebabkan ciri-ciri yang disampaikan pada waktu itu adalah soal
jenggot dan kumis maka cara untuk membedakan diri adalah dengan membuat
penampilan yang bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh kaum
musyrik.
Persepsi
pada waktu itu terhadap jenggot dan kumis sudah terbentuk sesuai
pengelompokan masyarakat terkait dengan ajaran agama. Disini Rasulullah
bicara soal simbol, sama dengan apa yang terjadi dalam ayat Al-Qur’an
tentang jilbab. Rasulullah dengan ucapannya membentuk persepsi baru
terhadap simbol jenggot dan kumis dengan cara membalikkannya lalu
mencantelkan nilai-nilai Islam disitu. Setelah itu persepsi masyarakat
terbentuk berdasarkan ajaran yang beliau berikan sampai sekarang.
Pertanyaan yang sama akan muncul :”Apakah tidak mungkin suatu ketika
laki-laki non-Muslim juga ikut-ikutan memelihara jenggot dan mencukur
kumis persis seperti umat Islam, sehingga persepsi tersebut berubah,
jenggot tidak lagi terkait dengan nilai-nilai Islam..?? Saat ini banyak
ditemukan, rabi Yahudi juga banyak yang memakai jenggot, orang Kristen
ortodoks memakai jenggot, kaum Amish di Amerika Serikat juga memakai
jenggot yang mirip dengan ciri-ciri umat Islam, bahkan anak band ‘rock and roll’
juga memakai jenggot. Jawabannya tentu saja mungkin terjadi. Karena hal
ini berdasarkan ucapan Rasulullah maka melekatnya nilai kepada simbol
tidak bersifat mutlak sebagaimana halnya jilbab yang didasari ayat
Al-Qur’an. Selain itu ajaran Rasulullah ini merupakan reaksi terhadap
penampilan non-Muslim pada waktu itu, disamping yang saya kemukakan
sebelumnya, tidak semua laki-laki memiliki ‘bakat’ berjenggot. Namun
jangan karena dianggap sesuatu yang terkait konteks jaman dulu yang
mungkin saja tidak bisa diterapkan sekarang, lalu ajaran beliau ini
dianggap sudah tidak berlaku dan kedaluarsa. Seharusnya kita mengambil
esensinya, yaitu soal ‘nyatakan dirimu berbeda dengan kemusyrikan dan kekafiran’,
sarananya bisa memakai apa saja, ketika suatu simbol dalam masyarakat
dipersepsikan mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam,
jauhilah.., pakailah simbol yang mewakili nilai Islam.
Jangan
bersikap :”Apa yang dipakai tidak penting, yang penting hatinya..”,
lalu dilengkapi lagi dengan argumentasi berdasarkan ayat Al-Qur’an
:”Yang membedakan antara satu manusia dengan manusia lain adalah
ketaqwaannya..”. Tentu saja dimata Allah ketaqwaan merupakan kriteria
untuk menilai seseorang sebagai ‘hasil akhir’ dari setiap perbuatan dan
ucapannya yang nyata. Kita jangan memakai alasan ini untuk mengabaikan
apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Memakai simbol-simbol yang memuat
nilai Islami dan menjauhi yang bertentangan dengan nilai Islam juga
diwasiatkan oleh beliau. Kalau urusan hanya soal ketaqwaan lalu buat apa
Allah memerintahkan kaum Muslimah untuk memakai jilbab dengan alasan ‘agar lebih mudah untuk dikenali’..??
Bagaimana mungkin seorang manusia bisa mengenali orang lain dari
tingkat ketaqwaan yang tersimpan rapat dalam hati dan hanya Allah yang
tahu..?? Kalau nilai seorang manusia semata-mata berdasarkan
ketaqwaannya dan dilepaskan dengan perilaku dan ucapan yang terlihat
oleh orang lain, memakai jilbab tidak perlu diperintahkan Allah, itu
logikanya..
Lalu mengapa ajaran Islam sangat serius berbicara soal pemakaian
simbol ini..?? sampai-sampai tercantum dalam Al-Qur’an dan hadits
Rasulullah..??. Jawabannya : karena pada dasarnya manusia tidak bisa
dilepaskan dari memakai simbol, anda membuang ghamis, sarung dan kopiah
lalu menggantinya dengan jas dan dasi, artinya anda membuang suatu
simbol dan beralih memakai simbol lain. Bahkan ketika anda telanjang
bulat tidak memakai apapun, itu juga merupakan simbol dari nudisme.
Disitu Islam mengajarkan, karena kita tidak punya pilihan lain terkait
dengan simbol ini maka Allah dan Rasul-Nya memberikan kita simbol untuk
dipakai, memberikan ajaran bahwa setiap umat Islam harus memilih simbol
yang menggambarkan nilai-nilai Islam, yang berbeda dengan nilai-nilai
yang bukan Islam.
Jadi sekali lagi, jangan anggap remeh soal memakai simbol dengan
mengatakan :”Ah….pakai atribut Islam nggak menjamin juga, orangnya tetap
saja bisa berkelakuan ngawur..”. Pakailah simbol-simbol yang
dipersepsikan masyarakat mengandung nilai-nilai Islam, jadikan simbol
tersebut untuk memunculkan dorongan positif dalam diri anda untuk
mengimplementasikan nilai-nilai Islam, sehingga perilaku anda bisa
diarahkan sesuai nilai Islam yang terdapat dalam simbol tersebut.