Namun sebenarnya ukuran kemiskinan sangat subjektif dan tidak jelas.
Kita mendengar berita beberapa tahun lalu, anggota DPR yang punya gaji
puluhan juta sebulan menjerit-jerit minta kenaikan gaji, mereka merasa
sangat miskin karena penghasilan yang kelihatannya besar tersebut sudah
dipotong sana-sini, sekian persen harus disetor ke partai, sekian juta
untuk melayani konstituen dari dapil masing-masing, belum lagi untuk
memenuhi permintaan sumbangan ini-itu yang tidak bisa ditolak. Dengan
kondisi demikian anggota dewan menganggap posisi keuangannya menjadi
tekor alias defisit, akhirnya mereka berteriak-teriak minta agar gaji
mereka ‘disesuaikan’. Kita boleh mengatakan bahwa sebenarnya para
anggota DPR sudah termasuk kategori orang miskin.
Sebaliknya banyak kita temukan orang-orang pinggiran yang dilihat
dari sudut pandang kita berada pada kehidupan yang paling bawah,
pemulung, kuli bangunan, tenaga kerja serabutan, jualan cendol dan
gorengan, tukang service sepatu, hidup didaerah yang sederhana. Boleh
jadi mereka mampunya hanya mengkonsumsi makanan dibawah 2.100 kalori
perhari perkapita, namun soal meminta-minta menjadi pantangan, hidup
melarat tapi tidak pernah menyusahkan orang lain, apa yang didapat itu
yang dimakan, kalau tidak ada makanan maka mereka berpuasa. Ini bukan
kisah romantisme dan hanya ada di skenario sinetron, anda bisa
menemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau begitu, sulit untuk kita
menyatakan orang-orang pinggiran ini sebagai orang miskin.
Ketidak-jelasan kaya miskin juga akan terlihat ketika orang bersikap
terhadap rencana kenaikan BBM. Ukuran langsung berubah total. Kriteria
orang kaya terkait merek dan harga mobil, yang diatas sekian ratus juta
dikategorikan kaya, sebaliknya yang punya mobil ‘sekedar’ Avanza, Xenia,
Suzuki Carry, dikategorikan sebagai orang miskin dan layak dapat
subsidi. Orang lalu mendadak ‘memiskinkan diri’ dengan membeli mobil
kelas bawah, sedangkan yang mewah disimpan di garasi, khusus buat
‘Sunday driving’. Dalam konteks ini, kaya atau miskin bisa di’stel’.
Kita mungkin lupa, bahwa kaya atau miskin tempatnya di hati, itulah
fakta yang kita temukan sehari-hari, fakta yang tidak bisa dibantah.
Banyak orang miskin sebenarnya kaya-raya, sebaliknya banyak orang kaya
tapi pada hakekatnya miskin. Saya sangat menyukai suatu dialog dalam
film ‘Wallstreet’ karya Oliver Stone pada tahun 1987, Bud Fox (Charlie
Sheen) seorang muda yang berkiprah sebagai pialang di bursa saham
Wallstreet dengan gaji puluhan ribu dollar sebulan, suatu ketika
meminjam uang kepada ayahnya seorang mekanik sebuah perusahaan
penerbangan. Si ayah memberikan uang dan berkata heran :”Gajimu puluhan
ribu dollar sebulan, tapi masih kekurangan juga..”.
Penetapan standard kemiskinan berdasarkan ukuran materi sangat sesat,
akibatnya semua program kerja dan strategi pemerintah dalam mengatasi
kemiskinan juga bakalan nyasar. Kita sering mendengar pidato pemerintah
yang menyatakan :”Pemerintah berhasil menekan angka kemiskinan dari
sekian persen penduduk menjadi hanya sekian persen..”, namun dihadapan
mata kepala sendiri kita menemukan rakyat menjerit hidup susah karena
menganggap dirinya masih miskin. Kalaulah ukuran kemiskinan dipatok
berdasarkan jeritan rakyat tersebut, maka dijamin 90% rakyat kita masih
miskin, karena ‘merasa miskin’ sudah merupakan tabi’at orang Indonesia.
Pemerintah boleh saja berkoar telah berhasil mengurangi orang miskin,
tapi rakyatnya tetap saja tidak merasa jadi orang kaya, aneh khan…
Kalau saja manusia bisa melihat kemiskinan dari sisi yang lain,
bahwa kemiskinan tersebut sebenarnya datang dari hati yang ‘merasa
miskin’, maka program pemerintah untuk mengatasinya pasti berbeda. Kita
akan menemukan adanya pos anggaran negara untuk program ‘meningkatkan
harga diri’, atau juga rencana kerja untuk pelatihan ‘kelompok rakyat
pantang menyerah’, atau juga pembentukan ‘barisan masyarakat pantang
meminta-minta’. Ketika sebagian besar rakyat mampu dilatih untuk
bersikap demikian, bakalan banyak masalah yang bisa diselesaikan. Urusan
kisruh kenaikan BBM tidak akan terjadi karena orang yang mampu pasti
merasa malu untuk ‘meminum’ BBM bersubsidi, program Bantuan Langsung
Tunai (BLT) juga tidak akan ribut akibat banyak orang yang mendadak jadi
miskin. Atau juga korupsi yang dilakukan orang kaya yang merasa miskin,
itu juga bisa diatasi dengan program peningkatan harga diri.
Kita pernah mendengar cerita dijaman khalifah Umar bin Abdul Aziz
pada tahun 716 M, ketika beliau mengutus petugas zakat untuk membagikan
harta zakat yang terkumpul, lalu si petugas mencari-cari penduduk miskin
diseluruh wilayah kekhalifahan, namun tidak ketemu seorangpun. Si
petugas lalu kembali melaporkan kondisi yang ditemuinya dilapangan,
menyatakan bahwa tidak seorangpun yang layak menerima zakat karena sudah
sejahtera. Khalifah Umar lalu memakai harta zakat tersebut untuk
keperluan lain seperti memajukan bidang pendidikan dan kajian ilmu
pengetahuan. Waktu itu belum ada standard kemiskinan model yang
ditetapkan PBB atau BPS, maka kita tentu bertanya-tanya :”Lalu apa
ukuran seseorang dikategorikan sebagai orang miskin….?”. Saya
membayangkan bahwa ukurannya ditentukan berdasarkan pengakuan calon
penerima zakat, apakah mereka mau menerima zakat, merasa berhak untuk
itu..?? apabila orang tersebut menolaknya, maka dia dikatakan bukan
merupakan orang miskin. Suasana keimanan yang menghasilkan penduduk
dengan harga diri yang tinggi dan tidak suka meminta-minta, yang
menyebabkan tidak adanya penduduk miskin dalam kekahlifahan tersebut.
Seharusnya kita bisa belajar dari fakta sejarah tentang masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz..