Tuesday, 10 July 2012

> > Miskin tapi Kaya, Kaya tapi Miskin !!!

Miskin tapi Kaya, Kaya tapi Miskin !!!


Namun sebenarnya ukuran kemiskinan sangat subjektif dan tidak jelas. Kita mendengar berita beberapa tahun lalu, anggota DPR yang punya gaji puluhan juta sebulan menjerit-jerit minta kenaikan gaji, mereka merasa sangat miskin karena penghasilan yang kelihatannya besar tersebut sudah dipotong sana-sini, sekian persen harus disetor ke partai, sekian juta untuk melayani konstituen dari dapil masing-masing, belum lagi untuk memenuhi permintaan sumbangan ini-itu yang tidak bisa ditolak. Dengan kondisi demikian anggota dewan menganggap posisi keuangannya menjadi tekor alias defisit, akhirnya mereka berteriak-teriak minta agar gaji mereka ‘disesuaikan’. Kita boleh mengatakan bahwa sebenarnya para anggota DPR sudah termasuk kategori orang miskin.

Sebaliknya banyak kita temukan orang-orang pinggiran yang dilihat dari sudut pandang kita berada pada kehidupan yang paling bawah, pemulung, kuli bangunan, tenaga kerja serabutan, jualan cendol dan gorengan, tukang service sepatu, hidup didaerah yang sederhana. Boleh jadi mereka mampunya hanya mengkonsumsi makanan dibawah 2.100 kalori perhari perkapita, namun soal meminta-minta menjadi pantangan, hidup melarat tapi tidak pernah menyusahkan orang lain, apa yang didapat itu yang dimakan, kalau tidak ada makanan maka mereka berpuasa. Ini bukan kisah romantisme dan hanya ada di skenario sinetron, anda bisa menemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau begitu, sulit untuk kita menyatakan orang-orang pinggiran ini sebagai orang miskin.

Ketidak-jelasan kaya miskin juga akan terlihat ketika orang bersikap terhadap rencana kenaikan BBM. Ukuran langsung berubah total. Kriteria orang kaya terkait merek dan harga mobil, yang diatas sekian ratus juta dikategorikan kaya, sebaliknya yang punya mobil ‘sekedar’ Avanza, Xenia, Suzuki Carry, dikategorikan sebagai orang miskin dan layak dapat subsidi. Orang lalu mendadak ‘memiskinkan diri’ dengan membeli mobil kelas bawah, sedangkan yang mewah disimpan di garasi, khusus buat ‘Sunday driving’. Dalam konteks ini, kaya atau miskin bisa di’stel’.

Kita mungkin lupa, bahwa kaya atau miskin tempatnya di hati, itulah fakta yang kita temukan sehari-hari, fakta yang tidak bisa dibantah. Banyak orang miskin sebenarnya kaya-raya, sebaliknya banyak orang kaya tapi pada hakekatnya miskin. Saya sangat menyukai suatu dialog dalam film ‘Wallstreet’ karya Oliver Stone pada tahun 1987, Bud Fox (Charlie Sheen) seorang muda yang berkiprah sebagai pialang di bursa saham Wallstreet dengan gaji puluhan ribu dollar sebulan, suatu ketika meminjam uang kepada ayahnya seorang mekanik sebuah perusahaan penerbangan. Si ayah memberikan uang dan berkata heran :”Gajimu puluhan ribu dollar sebulan, tapi masih kekurangan juga..”.

Penetapan standard kemiskinan berdasarkan ukuran materi sangat sesat, akibatnya semua program kerja dan strategi pemerintah dalam mengatasi kemiskinan juga bakalan nyasar. Kita sering mendengar pidato pemerintah yang menyatakan :”Pemerintah berhasil menekan angka kemiskinan dari sekian persen penduduk menjadi hanya sekian persen..”, namun dihadapan mata kepala sendiri kita menemukan rakyat menjerit hidup susah karena menganggap dirinya masih miskin. Kalaulah ukuran kemiskinan dipatok berdasarkan jeritan rakyat tersebut, maka dijamin 90% rakyat kita masih miskin, karena ‘merasa miskin’ sudah merupakan tabi’at orang Indonesia. Pemerintah boleh saja berkoar telah berhasil mengurangi orang miskin, tapi rakyatnya tetap saja tidak merasa jadi orang kaya, aneh khan…

Kalau saja manusia bisa melihat kemiskinan dari sisi yang lain,  bahwa kemiskinan tersebut sebenarnya datang dari hati yang ‘merasa miskin’, maka program pemerintah untuk mengatasinya pasti berbeda. Kita akan menemukan adanya pos anggaran negara untuk program ‘meningkatkan harga diri’, atau juga  rencana kerja untuk pelatihan ‘kelompok rakyat pantang menyerah’, atau juga pembentukan ‘barisan masyarakat pantang meminta-minta’. Ketika sebagian besar rakyat mampu dilatih untuk bersikap demikian, bakalan banyak masalah yang bisa diselesaikan. Urusan kisruh kenaikan BBM tidak akan terjadi karena orang yang mampu pasti merasa malu untuk ‘meminum’ BBM bersubsidi, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) juga tidak akan ribut akibat banyak orang yang mendadak jadi miskin. Atau juga korupsi yang dilakukan orang kaya yang merasa miskin, itu juga bisa diatasi dengan program peningkatan harga diri.

Kita pernah mendengar cerita dijaman khalifah Umar bin Abdul Aziz pada tahun 716 M, ketika beliau mengutus petugas zakat untuk membagikan harta zakat yang terkumpul, lalu si petugas mencari-cari penduduk miskin diseluruh wilayah kekhalifahan, namun tidak ketemu seorangpun. Si petugas lalu kembali melaporkan kondisi yang ditemuinya dilapangan, menyatakan bahwa tidak seorangpun yang layak menerima zakat karena sudah sejahtera. Khalifah Umar lalu memakai harta zakat tersebut untuk keperluan lain seperti memajukan bidang pendidikan dan kajian ilmu pengetahuan. Waktu itu belum ada standard kemiskinan model yang ditetapkan PBB atau BPS, maka kita tentu bertanya-tanya :”Lalu apa ukuran seseorang dikategorikan sebagai orang miskin….?”. Saya membayangkan bahwa ukurannya ditentukan berdasarkan pengakuan calon penerima zakat, apakah mereka mau menerima zakat, merasa berhak untuk itu..?? apabila orang tersebut menolaknya, maka dia dikatakan bukan merupakan orang miskin. Suasana keimanan yang menghasilkan penduduk dengan harga diri yang tinggi dan tidak suka meminta-minta, yang menyebabkan tidak adanya penduduk miskin dalam kekahlifahan tersebut.

Seharusnya kita bisa belajar dari fakta sejarah tentang masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz..