Menjadi penuntut ilmu yang gigih ,
pekerja yang ulet, pendakwah yang gigih dan pejuang yang militan, tidak
berarti harus nihil dari canda. Bahkan pada batas tertentu, canda justru
membantu terwujudnya aktivitas yang bermanfaat. Di sela-sela kerja berat, canda
bisa meringankan rasa penat. Saat menempuh perjalanan jauh, canda bisa mengusir
rasa lelah. Semangat yang kendor bisa menguat pula dengan sentuhan sedikit
canda. Ukhuwah yang kaku, dengan canda bisa pula menjadi cair.
CANDA NABI dan PARA SALAF
Nabi saw adalah orang yang paling gigih dalam semua lini kebaikan, pun beliau seesekali bercanda juga. Namun beliau tidak bercanda dengan cara berdusta. Para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “ Wahai, Rasulullah! Apakah engkau juga bercanda dengan kami?” Beliau menjawab,”Betul, hanya saja aku tidak berkata kecuali yang benar.” (HR. Tirmidzi).
Hal yang sama dilakukan oleh para sahabat beliau yang setia. Abdullah bin Umar ra pernah ditanya, “Apakah para sahabat Nabi juga bercanda?”
Beliau menjawab,
“Ya, padahal iman di hati mereka sekokoh gunung”
Di kalangan ulama tabi’in, juga tidak sedikit yang terekam dalam kitab-kitab yang menunjukkan kesukaan mereka terhadap canda. Imam asy-Sya’bi pernah ditanya siapakah istri iblis, beliau menjawab, “ Itulah pernikahan yang aku tidak menghadiri resepsinya.”
Jadi bukanlah aib bila seorang penuntut ilmu juga sesekali bercanda. Tentu dengan menjaga adab-adab yang dibenarkan oleh sya’riat.
BUKAN SEMBARANG CANDA
Canda yang shalih tidaklah sama dengan canda para pelawak hari ini. Yang hanya bertujuan menghibur tanpa mempedulikan apakah kata-kata jorok, menjurus kepada sesuatu yang membangkitkan birahi atau tak sepi dari kata-kata umpatan, pelecehan dan kedustaan. Padahal sesuatu yang dosa tidak lantas berubah menjadi mubah dengan alasan bercanda.
Seperti becanda dengan dusta. Berbohong tetaplah dianggap berdosa meskipun hanya untuk bercanda. Bahkan Nabi saw memberikan ancaman khusus tetntang hal ini,
CANDA NABI dan PARA SALAF
Nabi saw adalah orang yang paling gigih dalam semua lini kebaikan, pun beliau seesekali bercanda juga. Namun beliau tidak bercanda dengan cara berdusta. Para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “ Wahai, Rasulullah! Apakah engkau juga bercanda dengan kami?” Beliau menjawab,”Betul, hanya saja aku tidak berkata kecuali yang benar.” (HR. Tirmidzi).
Hal yang sama dilakukan oleh para sahabat beliau yang setia. Abdullah bin Umar ra pernah ditanya, “Apakah para sahabat Nabi juga bercanda?”
Beliau menjawab,
“Ya, padahal iman di hati mereka sekokoh gunung”
Di kalangan ulama tabi’in, juga tidak sedikit yang terekam dalam kitab-kitab yang menunjukkan kesukaan mereka terhadap canda. Imam asy-Sya’bi pernah ditanya siapakah istri iblis, beliau menjawab, “ Itulah pernikahan yang aku tidak menghadiri resepsinya.”
Jadi bukanlah aib bila seorang penuntut ilmu juga sesekali bercanda. Tentu dengan menjaga adab-adab yang dibenarkan oleh sya’riat.
BUKAN SEMBARANG CANDA
Canda yang shalih tidaklah sama dengan canda para pelawak hari ini. Yang hanya bertujuan menghibur tanpa mempedulikan apakah kata-kata jorok, menjurus kepada sesuatu yang membangkitkan birahi atau tak sepi dari kata-kata umpatan, pelecehan dan kedustaan. Padahal sesuatu yang dosa tidak lantas berubah menjadi mubah dengan alasan bercanda.
Seperti becanda dengan dusta. Berbohong tetaplah dianggap berdosa meskipun hanya untuk bercanda. Bahkan Nabi saw memberikan ancaman khusus tetntang hal ini,
“Celakalah orang yang berbicara dusta dengan maksud agar orang-orang tertawa karenanya, celakalah ia… celakalah ia” (HR Abu Dawud)
Betapa mudahnya orang tergelincir dalam kubangan ini. Terlebih tatkala gurauan mencapai puncak semangat meladeninya. Kebiasaan ini sulit berubah, kecuali masing-masing tak segan untuk mengerem dan mengingatkan jika canda telah mengarah kepada dusta.
Tidak boleh pula bersenda gurau yang mengandung unsur pelecehan terhadap Allah, Nabi saw dan juga syari’at Islam, bahkan ini termasuk pembatal keislaman, sebagaimana firman Allah,
Katakanlah:”Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.”(QS. At-Taubah 65-66)
Tidak boleh pula berkelakar yang mengandung unsur penghinaan dan ghibah terhadap saudaranya., baik dalam bentuk ucapan maupun menirukan dengan anggota badan dengan ucapan melecehkan. Semua tindakan itu tetap diharamkan, meskipun dengan alasan bercanda.
Begitupun dengan canda yang membahayakan nyawa, atau menakuti-nakuti saudaranya, Seperti mengacungkan senjata kepada saudaranya agar dia ketakuatan dan gelisah. Nabi saw bersabda,
“Tidak halal seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR Abu Dawud)
BERCANDA SEKEDARNYA SAJA
Canda yang boleh, hendaknya dilakukan sekedarnya saja. Canda itu ibarat garam bagi makanan, jika terlalu banyak, akan merusak cita rasa. Maka orang yang terlalu banyak bergurau akan jatuh banyak kewibawaannya. Apalagi jika dia seorang yang alim, mubaligh, da’I atau pemimpin. Sa’ada bin Abi Waqash berkata, “Iritlah dalam bercanda, karena terlalu banyak bercanda bisa menjatuhkan wibawa, orang-orang bodohpun akan melecehkanmu.”
Kebanyakan canda juga membuat hati menjadi keras. Dalam Shahih al-Jami’ disebutkan hadist Nabi saw
“Janganlah kamu terlalu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu bias mematikan hati.” (HR Tirmidzi, al-Albani mengatakan, “hasan)
Selagi canda yang kita lakukan mengandung manfaat, tidak melanggar syari’at, sesuai dengan orang dan moment yang tepat, juga dengan kadar dan takaran yang proporsional, maka canda itu bisa mendatangakan kebaikan. Tapi, jika adab-adab itu diabaikan, maka yang didapatkan adalah permusuhan, kerasnya hati, hilangnya wibawa dan bahkan sangat mudah terpeleset kepada dosa, sementara dia tidak meyadari. Nas’alullahal ‘afiyah…
Pertanyaannya: Bagaimana konsep bercanda kita selama ini???? Sudahkah kita bercanda dengan cara islami???
Sumber : Majalah Islam Ar-Risalah, Syawal-Dzulqo’idah 1430H