Monday, 23 July 2012

> > Sekilas Tentang Rukyat dan Hisab

Sekilas Tentang Rukyat dan Hisab


 
Penentuan awal puasa akhir-akhir sering berbeda. dan itu juga berdampak pada hari raya. setiap ormas mempunyai keyakinan dan perhitungan sendiri. namun sebagai umat islam kita harus berpegang teguh pada Al-qur'an dan As-sunnah dalam menentukan awal dan akhir puasa). berikut Sekilas Tentang Rukyat dan Hisab. perhitungan yang paling banyak digunakan oleh umat islam untuk menentukan awal dan akhir ramadhan.

Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi Bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada Kalender Hijriyah.

Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (Bulan Baru).

Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam, hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah.Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai magrib esok harinya.

Perlu diketahui bahwa dalam Kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya Matahari waktu setempat, dan penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) Bulan (satelit). Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 hari atau 30 hari.


Hisab

Secara harfiyah bermakna ‘perhitungan’. Di dunia Islam istilah ‘hisab’ sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Pentingnya penentuan posisi matahari karena umat Islam untuk ibadah shalatnya menggunakan posisi matahari sebagai patokannya. Sedangkan penentuan posisi bulan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam Kalender Hijriyah. Ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat orang mulai berpuasa, awal Syawwal saat orang mangakhiri puasa dan merayakan Idul Fithri, serta awal Dzul-Hijjah saat orang akan wukuf haji di Arafah (9 Dzul-Hijjah) dan ber-Idul Adha (10 Dzul-Hijjah). Dalam al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda astronomis (khususnya matahari dan bulan) maka umat Islam sudah sejak awal mula muncul peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadapa ilmu astronomi (disebut ilmu falak). Salah satu astronom Muslim ternama yang telah mengembangkan metode Hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.

Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi yang jauh lebih tinggi dan akurat. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum melakukan rukyat (pengamatan). Salah satu output hisab adalah penentuan kapan waktu ijtimak yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang, atau disebut pula konjungsi geosentris, yakni peristiwa dimana Matahari dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak (dari Bulan Baru ke Bulan Baru berikutnya) terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.

Rukyat

Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.

Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit” sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 8 derajat.

Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.

Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah

Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).

Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.

Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia :

Rukyatul Hilal

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.

Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:

"Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.

Wujudul Hilal

Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 39-40.

Imkanur Rukyat MABIMS

Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:

Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:

Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau

Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak
.

Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis.

Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.

Rukyat Global

Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.

Perbedaan Kriteria

Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.

Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994. Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.

Sumber : Wikipedia