Penentuan awal puasa akhir-akhir sering berbeda. dan itu juga berdampak pada hari raya. setiap ormas mempunyai keyakinan dan perhitungan sendiri. namun sebagai umat islam kita harus berpegang teguh pada Al-qur'an dan As-sunnah dalam menentukan awal dan akhir puasa). berikut Sekilas Tentang Rukyat dan Hisab. perhitungan yang paling banyak digunakan oleh umat islam untuk menentukan awal dan akhir ramadhan.
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi Bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada Kalender Hijriyah.
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi Bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada Kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (Bulan Baru).
Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu
optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam,
hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maghrib), karena
intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya matahari,
serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang
(Maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru
Hijriyah.Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai
magrib esok harinya.
Perlu diketahui bahwa dalam Kalender Hijriyah, sebuah hari diawali
sejak terbenamnya Matahari waktu setempat, dan penentuan awal bulan
(kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) Bulan (satelit).
Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 hari atau 30
hari.
Hisab
Secara harfiyah bermakna ‘perhitungan’. Di dunia Islam istilah ‘hisab’
sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi
matahari dan bulan terhadap bumi. Pentingnya penentuan posisi matahari
karena umat Islam untuk ibadah shalatnya menggunakan posisi matahari
sebagai patokannya. Sedangkan penentuan posisi bulan untuk mengetahui
terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam
Kalender Hijriyah. Ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan
saat orang mulai berpuasa, awal Syawwal saat orang mangakhiri puasa dan
merayakan Idul Fithri, serta awal Dzul-Hijjah saat orang akan wukuf haji
di Arafah (9 Dzul-Hijjah) dan ber-Idul Adha (10 Dzul-Hijjah). Dalam
al-Qur’an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja
menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan
perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahman (55) ayat 5 disebutkan
bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Karena
ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda
astronomis (khususnya matahari dan bulan) maka umat Islam sudah sejak
awal mula muncul peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadapa ilmu
astronomi (disebut ilmu falak). Salah satu astronom Muslim ternama yang
telah mengembangkan metode Hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M),
Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat
presisi yang jauh lebih tinggi dan akurat. Berbagai perangkat lunak
(software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan
sebelum melakukan rukyat (pengamatan). Salah satu output hisab adalah
penentuan kapan waktu ijtimak yaitu saat matahari, bulan, dan bumi
berada dalam posisi sebidang, atau disebut pula konjungsi geosentris,
yakni peristiwa dimana Matahari dan Bulan berada di posisi bujur langit
yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak (dari Bulan Baru ke Bulan Baru
berikutnya) terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu
periode sinodik.
Rukyat
Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan
bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat
dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik
seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan “cahaya langit” sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 8 derajat.
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.
Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang
berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan
(yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal
(yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah
(dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya
Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia :
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan
sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender)
berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
"Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan
dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut
ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan,
meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya
awal bulan Hijriyah.
Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi
sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam
setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari
tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa
melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari
terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur’an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra’: 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 39-40.
Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai
secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi
Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis.
Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.
Rukyat Global
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal,
maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki
bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.
Perbedaan Kriteria
Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang
berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang
berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa
Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994. Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.
Sumber : Wikipedia