Parno (bahasa gaul untuk paranoid) itu menyiksa!
Tidak percaya? Inilah kisahku untukmu.
Pagi
itu rasanya aku adalah lelaki terlemah di dunia. Bukan termiskin di
dunia. Karena gelar yang satu itu sudah diklaim Hamdan ATT sejak belasan
tahun lalu. Bayangkan, hanya karena sebuah berita di koran, aku sampai
muntah tiga kali!
Rabu,
22 November 2006. Pukul enam pagi. Setelah jadwal rutin minum jamu
gendong setiap pagi—yang cukup berguna menjaga vitalitas makhluk
“nokturnal” seperti aku–iseng baca-baca koran kriminal ibukota. Aku
membiasakan diri tidak membaca satu jenis bacaan saja. Koran serius,
jurnal politik, novel filsafat atau sejarah, buletin psikologi, sastra,
info rumah tangga, tips ibu dan anak sampai tabloid infotaintment pun
kuhalalkan. Ada banyak ide atau inspirasi kehidupan luar biasa yang
justru datang dari berita remeh-temeh pada bacaan atau koran yang sering
dianggap low grade tersebut.
Namun sebuah
berita pagi itu sungguh luar biasa. Luar biasa menyiksa mental sekaligus
mengocok isi perutku. Bukan karena lucu. Justru sebaliknya.
Di Depok, Jawa
Barat, pada Selasa siang, Jiwo, seorang wanita usia 35-an tanpa suami
yang diduga mengidap kelainan jiwa membakar bayi yang baru saja
dilahirkannya. Bayi laki-laki itu kemudian dibakarnya dan dimakan
bersama kecap dan nasi. Ketika perbuatan itu diketahui warga sekitar,
tinggal tersisa potongan tubuh bayi berupa kedua pangkal kaki dan paha.
Bahkan ari-ari bayi itu masih terlihat menjulur dari kemaluan si wanita.
Kontan
saja, belum tuntas seluruh berita, isi perutku bergejolak. Buru-buru
aku ke kamar mandi. Dua kali muntah, saudara-saudara. Cairan kuning
kecoklatan jamu yang baru kuminum tumpah semua. Hanya itu. Karena aku
biasa minum jamu sebelum sarapan. Saat gejolak pertama reda, ketika
kembali melihat foto potongan tubuh bayi malang tersebut di halaman
depan koran, kembali imajinasi menyiksaku. Terpaksalah tempat sampah
mungil di kamarku jadi pelampiasan. Rasanya kosong sudah isi perutku
pagi itu.
Orang
tersayangku juga hanya tersenyum manis saat aku ceritakan berita itu
pada sore harinya. “Jangan paranoid gitulah, Bang,” ujarnya santai. “Eh,
bayi itu tadi dimakannya gimana?Emang enak ya?” ledeknya dengan mimik
lucunya yang khas.
Oh, my God.
Aku melotot. Mendadak perutku mual kembali. Yuni pun tertawa
terbahak-bahak, sukses membuatku ‘menderita’. Aku merengut. Memang sih
si yayang ini pembawaannya cuek dan rada tomboy, tapi mbok ya empati gitu lho!
Atau aku yang terlalu peka?
Dulu,
sewaktu kelas tiga SD, aku juga mengalami hal yang sama. Sempat
berbulan-bulan mengalami ketakutan dan ngeri selepas membaca kisah
pembunuhan berantai yang dilakukan sepasang perempuan gendut di Inggris
hanya karena sering diejek warga di lingkungannya. Belasan korban
dibunuh oleh kakak beradik itu dengan pisau pencucuk batu es dan
dicincang sebelum akhirnya disimpan di gudang bawah tanah rumah mereka.
Alhasil, gudang bawah tanah rumah mereka berubah jadi catacombe—kuburan
bawah tanah yang bentuknya berlorong yang biasa terdapat di Eropa pada
abad pertengahan. Kisah pembunuhan itu digambarkan sedemikian detil dan
hidupnya dalam majalah tebal itu. Sebuah majalah wanita saat itu.
Belasan tahun kemudian aku baru tahu jenis tulisan seperti itu namanya feature. Sungguh feature
yang hebat, karena membuatku traumatis untuk membacanya kembali. Bahkan
untuk sekedar menyentuh majalah itu. Majalah itu aku enyahkan ke tempat
sampah di belakang rumah. Meski belakangan kakak perempuanku
ribut-ribut mencari majalah yang belum selesai dibacanya itu.
Ya,
berita di Depok itu adalah berita traumatis kedua dalam hidupku setelah
berita zaman SD dulu. Ketika beberapa tahun lalu Robot Gedek menghabisi
para bocah laki-laki yang disodominya dengan cara menyilet perut mereka
dan menghisap darah dari bekas siletan tersebut layaknya drakula, aku
masih bisa membacanya dengan penuh kontrol diri. Tentu bulu kuduk agak
meremang karena ngeri. Demikian juga ketika nama sang pemakan mayat,
Soemanto, beredar menjadi kegegeran nasional, reaksiku masih wajar-wajar
saja. Ada ngeri, jijik. Tapi sebatas kadar normal. Namun, sang
Soemanti—julukan dari wartawan untuk sang pemakan bayi ini—sungguh
luarbiasa terornya. Entahlah bagi pembaca yang lain. Bagiku, ya.
Bahkan saat menuliskan kisah ini aku masih merasakan mual-mual ketika mengingat ulang berita itu. Bukan morning sickness, tentunya. Namun aku harus menuliskan kisah ini sebagai suatu terapi, menurut Paulo Coelho. Dalam salah satu novelnya, The Alchemist,
Coelho menganjurkan agar setiap kesedihan, kengerian atau perasaan yang
menyiksa dituliskan untuk kemudian kertasnya dibakar dan dilarung ke
sungai sehingga seiring lenyapnya abu kertas itu, lenyap pula kengerian
dan perasaan yang menyiksa kita. Bagiku, internet adalah salah satu tong
sampah dan “sungai” pembuangan terbaik selain Kali Ciliwung.
Sering
aku berpikir apakah aku paranoid. Aku bukan orang yang gampang jijik
dengan sesuatu. Ketika teman-teman semasa kecilku mengorek-korek selokan
kotor dengan sepotong kayu bahkan bersarung tangan untuk mencari cacing
guna umpan ikan cupang—trend hewan peliharaan bocah zaman SD
dulu—aku santai saja mengorek-ngoreknya dengan tangan telanjang. Aku
rasanya tidak separanoid George W. Bush yang harus mengubah tempat
pendaratan helikopternya secara mendadak karena ketakutan ancaman sniper
dan tertimpa pohon di Kebun Raya Bogor di tengah hujan deras (2006).
Alhasil, helipad senilai enam milyar yang sudah dibangun untuk kunjungan
sang presiden Amerika Serikat tersebut selama enam jam harus merana
sia-sia. Sudah dibangun dengan ngebut siang malam, tak didarati, dan harus dibongkar pula.
Aku juga tidak separanoid salah satu teman lamaku yang sering kami olok-olok dengan julukan Mr. Waterman.
Ia dapat menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk cuci tangan atau
wudhu. Menurutnya, setiapkali mencuci tangan atau mandi, seakan ada
bayangan yang mengawasinya dan kadang memperingatinya bahwa ia belum
mencuci atau mandi dengan bersih. Sehingga ia harus melakukannya
berulang-ulang. Entahlah apa kabar saudaraku yang berdarah Minang itu.
Selepas ia menikah dengan gadis sekampungnya, lama kami tak bersua.
Nah, am I paranoid? Menurut kamus Oxford, paranoid adalah ajektiva, kata sifat, untuk penderita paranoia. Sementara paranoia didefinisikan sebagai mental illness in which somebody believes that other people want to harm them (penyakit mental di mana seseorang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya). Dalam kamus Webster, paranoia adalah mental disorder marked by irrational suspicion. Gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang tidak rasional atau logis.
Am I paranoid? Kondisi negeri saat ini memang layak dijadikan justifikasi. Ketika social distrust,
ketidakpercayaan sosial, berkembang di antara kalangan masyarakat;
ketika kekerasan sering jadi bahasa pamungkas untuk mengatasi
perselisihan dan perbedaan; ketika ikatan kekeluargaan melonggar dan
menjadikan sesama anggota keluarga asing dengan tetangga bahkan
saudaranya sendiri.
Contoh
kecil, di Jakarta, bandingkan saja antrean di tempat umum saat ini dan
beberapa tahun lalu. Dulu, setiap orang bisa dengan santai menyandang
ransel di punggung saat antre. Saat ini pemandangan tas ransel yang
ditaruh di depan dada adalah kelaziman. Bahkan sebuah keharusan untuk
menghindari pencopetan, sebagaimana yang sering dihimbaukan petugas
Terminal Busway Harmoni kepada jejalan antrean penumpang yang bisa
sepanjang 50 meter saat jam-jam berangkat dan pulang kerja. Di banyak
daerah di Tanah Air, kerap kali tawuran atau perkelahian bahkan
antarkampung terjadi hanya karena saling adu pandang.
Am I paranoid? Entahlah, sabodo teuing. Terkadang mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu ada akan menjadi sebuah nubuat yang terpenuhi dengan sendirinya, self-fulfilling prophecy.
Terlalu takut gagal ujian akan membuat kita terbebani dan grogi.
Ujung-ujungnya gagallah kita. Persis seperti apa yang kita khawatirkan.
Yang
jelas saat ini aku prihatin akan satu hal. Khalifah Umar ibnu Khattab
pernah menyatakan bahwa jika ada seekor keledai mati kelaparan di tepi
sungai Effrat di Irak—yang termasuk wilayah imperium kekuasaannya saat
itu yang membentang dari Arab Saudi hingga Somalia dan sebagian
Afrika—maka itu adalah tanggung jawabnya yang akan dimintakan
pertanggungannya di hari akhir. Lalu bagaimana nasib para pemimpin
negeri ini di tingkat lokal dan nasional di hari akhir nanti jika Jiwo
terpaksa memakan bayinya karena kelaparan akibat sulitnya ekonomi di
bawah kepemimpinan mereka? Orang waras saja banyak yang susah makan dan
tak terurus negara. Apalagi orang gila. Meskipun sebenarnya konstitusi
negara mengamatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara. Tentu maksudnya tidak dipelihara agar eksistensi
kemiskinannya tetap abadi. Tapi dientaskan, diangkat harkat dan martabat
kehidupannya.
Jika para pemimpin itu selalu bilang sulit dan sulit, memang seperti itu adanya. Jadi pemimpin memang semestinya tidak enak. Leiden is lijden,
memimpin adalah menderita, ujar K.H. Agus Salim—menteri luar negeri
pertama republik ini yang fasih sembilan bahasa asing–yang semasa
hidupnya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di gang becek dan
sempit di Jakarta. Bukankah pemimpin sejatinya adalah orang yang paling
dulu lapar dan paling akhir kenyang demi mendahulukan perut rakyatnya?
“Ah, itu kecurigaan tak logis. Paranoid lu!” Barangkali demikian komentar sebagian orang-orang yang tak setuju. Que sera…sera…