oleh: Ali Akbar Bin Agil
SUATU ketika malaikat Jibril diperintah oleh Allah untuk bertanya kepada kerbau, apakah ia senang dan bahagia diciptakan sebagai sesekor kerbau. Maka pergilah Jibril menemui kerbau yang ketika itu sedang berenang di sebuah sungai di bawah teriknya sinar matahari. “Hai Kerbau, apakah engkau senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau?” Si Kerbau menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh saya senang dan bahagia sekali diciptakan Allah menjadi seekor kerbau, sehingga saya bisa berenang di air sungai seperti ini, daripada aku diciptakan sebagai seekor kelelawar yang mandi dengan air kencingnya sendiri.”
SUATU ketika malaikat Jibril diperintah oleh Allah untuk bertanya kepada kerbau, apakah ia senang dan bahagia diciptakan sebagai sesekor kerbau. Maka pergilah Jibril menemui kerbau yang ketika itu sedang berenang di sebuah sungai di bawah teriknya sinar matahari. “Hai Kerbau, apakah engkau senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau?” Si Kerbau menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh saya senang dan bahagia sekali diciptakan Allah menjadi seekor kerbau, sehingga saya bisa berenang di air sungai seperti ini, daripada aku diciptakan sebagai seekor kelelawar yang mandi dengan air kencingnya sendiri.”
Kemudian, malaikat Jibril pun berangkat menemui
kelelewar dan menanyakan apakah dia senang dan bahagia diciptakan
sebagai kelelawar. “Hai kelelawar, apakah kamu senang telah dijadikan
Allah sebagai seekor kelelawar?”
“Masya Allah, Alhamdulillâh, saya
sangat senang dan bahagia diciptakan menjadi kelelawar, dengan sayap
yang diberikan Allah saya bisa terbang ke mana saja dalam waktu yang
singkat dan cepat, daripada saya diciptakan-Nya sebagai seekor cacing.
Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan
perut,” jawab kelelawar.
Malaikat Jibril bergegas pergi menemui
cacing yang tengah merayap di atas tanah. Jibril bertanya, “Wahai cacing
kecil, apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai seekor
cacing?”
Cacing menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya
sangat senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor cacing, daripada
dijadikan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki
iman yang sempurna dan tidak beramal shaleh, ketika mereka mati mereka
akan disiksa selama-lamanya.”
Begitu banyak nikmat yang diberikan
oleh Allah kepada kita. Nikmat iman, nikmat sehat, nikmat penghidupan,
dan masih banyak lainnya. Namun dengan sekian banyak nikmat yang Allah
berikan seringkali kita lupa dan menjadikan kita makhluk yang sedikit
sekali bersyukur, bahkan tidak bersyukur.
Syukur berarti merasa
berbahagia dengan limpahan nikmat yang menjadi jembatan melaksanakan
ketaatan di jalan Allah. Syukur juga berarti memperbanyak menebar
puji-puji kepada Ilahi Rabbi, dengan lisan maupun hati.
Seperti
celoteh kerbau, kelelawar, dan cacing kala mendapat pertanyaan Jibril,
seperti itulah seharusnya pernik-pernik nikmat Allah kita bingkai dengan
kalimat hamdalah dan berbaik sangka bahwa apa yang telah dipilihkan
Allah selalu yang terbaik untuk kita.
Mari kita bersyukur Alhamdulillah kala kita punya banyak anak, mungkin tetangga kita yang telah menikah belasan tahun justru tak kunjung diberi momongan.
Mari kita bersyukur, Alhamdulillah, jika ada dari kita belum mempunyai anak padahal segala usaha sudah dilakukan. Tetap bersyukur secara berujar, “Masya Allah, Alhamdulillah, saya
belum dikaruniai anak sehingga saya bisa lebih memiliki waktu luang,
tenaga, dan materi untuk membantu saudara-saudara saya.”
Mari kita bersyukur secara berucap dengan lisan yang fasih, Alhamdulillah, meski ada dari kita yang belum menikah atau menemukan jodohnya. Tetaplah bersyukur. “Masya Allah, Alhamdulillah, bahagianya
saya walaupun belum menikah. Saya bisa belajar lebih banyak
mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga nanti. Saya juga punya
waktu luang untuk berbakti kepada orangtua. Kalau sudah menikah, mungkin
saya harus berbagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk keluarga dan
orangtua. Masya Allah, Alhamdulillah!”
Sekarang, mari
kita bertanya dengan pertanyaan yang sederhana saja. “Apakah kita,
selama ini, menjadi bahagia karena besyukur ataukah kita menjadi orang
yang bersyukur karena kita bahagia?”
“Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari kehilangan nikmat (yang telah Engkau berikan),
dari siksa-Mu yang mendadak, dari menurunkannya kesehatan (yang engkau
anugrahkan) dan dari setiap kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).*