Allah Swt telah menetapkan kelompok-kelompok penerima zakat melalui firman-Nya:
Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para 'amilin zakat, muallaf, budak, orang-orang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. (TQS at-Taubah [9]: 60)
Ayat yang mulia ini membatasi dan mengkhususkan pos-pos (pengeluaran) zakat hanya pada 8 kelompok/golongan saja. Zakat tidak boleh diberikan kepada selain 8 golongan ini, karena ayat yang mendasarinya menggunakan kata innamaa, yang merupakan bentuk adâtul hashr wal qashr (yang membatasi). Setelah itu ada huruf lam al-milki, yang menunjukkan pada pembatasan yang berhak menerima zakat, dan kepemilikannya hanya untuk 8 golongan saja, yaitu:
Pertama, Orang-orang fakir, yaitu orang-orang yang tidak memperoleh uang yang dapat mencukupi pemenuhan kebutuhan pokoknya, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Siapa saja yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, maka ia dianggap fakir. Terhadapnya boleh menerima zakat dan diberikan zakat. Ia boleh memberikan zakatnya jika ia sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dan terbebas dari kefakirannya.
Allah Swt telah mengharamkan orang-orang kaya untuk memperoleh bagian dari zakat. Dari Abdullah bin Amru ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
Tidak dihalalkan zakat untuk orang kaya dan orang-orang yang memiliki kemampuan.
Dzu al-mirrah yaitu orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan, jika tidak memperoleh apa yang diusahakannya, maka ia dianggap fakir. Dan al-ghani ialah orang yang tidak lagi membutuhkan orang lain, dan termasuk memiliki kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Hadits-hadits telah menerangkan tentang siapa yang termasuk orang kaya. Dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
Tidak seorangpun yang meminta-minta sesuatu padahal ia kaya, kecuali pada hari kiamat ia datang dalam keadaan mukanya luka, terkoyak dan terkelupas. Kemudian Rasulullah ditanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang dapat dikatakan kaya atau apa yang menyebabkannya (pantas) dikatakan kaya?’ Rasulullah menjawab: 'Ia mempunyai 50 dirham atau nilai (tersebut) yang setara dengan emas.’ (HR. al-Khamsah)
Barangsiapa mempunyai 50 dirham perak, yaitu 148,75 gram perak atau emas dalam hitungan yang setara, dan merupakan kelebihan dari makanannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, nafkah keluarganya, anaknya serta pembantunya, maka dia dianggap kaya, sehingga tidak boleh menerima harta zakat.
Kedua, Orang-orang miskin, yaitu orang-orang tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah dan mereka tidak meminta-minta kepada manusia. Rasulullah saw bersabda:
Orang miskin bukanlah orang yang meminta-minta kepada orang lain, kemudian memperoleh sesuap atau dua suap, sebutir kurma atau dua butir kurma. Akan tetapi orang miskin ialah orang yang tidak kaya, tidak mengerti tentang keadaannya dan (orang-orang) memberikan shadaqah kepadanya. Dan jika (hal itu tidak terjadi) maka ia akan meminta-minta kepada manusia. (HR. Muttafaq 'Alaih)
Orang miskin itu berbeda dengan orang fakir, karena firman Allah Swt:
Atau orang miskin yang sangat fakir. (TQS. al-Balad [90]: 16)
Yakni tidak mempunyai pakaian dan sangat lapar. Orang miskin berhak memperoleh zakat dan ia boleh mengambil bagiannya. Boleh memberikan zakat kepada mereka hinggapada batas yang dapat menghilangkan kemiskinannya dan mencukupi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Ketiga, 'Amilin Zakat, disebut juga as-su’ah, atau al-mushaddiqun, yaitu orang-orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang diwajibkan menunaikan zakat, atau untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Mereka berhak mendapatkan zakat walaupun mereka itu kaya, sebagai kompensasi tugas mereka mengumpulkan zakat dan membagikannya. Dari 'Atha bin Yasar ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali untuk 5 golongan, (yaitu) 'amil zakat, seseorang yang membeli harta zakat dengan hartanya, seorang laki-laki memiliki tetangga fakir dan diberinya shadaqah berupa harta zakat tetapi ia (kembali) menghadiahkan lagi kepadanya, orang yang berperang, dan orang yang mempunyai hutang.
Dan dari Bisir bin Sa'id berkata: Sesungguhnya Ibnu as-Sa'di al-Maliki berkata: ‘Umar menjadikanku 'amil zakat. Setelah selesai melakukan tugas, aku serahkan zakat itu kepada beliau. Lalu aku diberinya uang. Aku berkata: ‘Sesungguhnya aku melakukan ini karena Allah.’ Umar berkata: ‘Ambillah apa yang kuberikan, sesungguhnya aku melakukannya sebagaimana Rasulullah saw pernah lakukan’. Beliau menjadikanku 'amil, dan aku berkata seperti yang engkau ucapkan tadi.’ Kemudian Rasulullah saw bersabda kepadaku:
‘Jika aku memberikan sesuatu bukan karena engkau minta, maka makanlah dan belanjakanlah.’ (HR. Muttafaq 'Alaih)
Keempat, Muallaf, mereka terdiri dari para panglima perang, para pemimpin, tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh atau para ksatria yang belum kuat imannya. Khalifah atau para wali bisa memberikan kepada mereka zakat untuk menguatkan hati mereka mereka, menghunjamkan iman mereka, atau mempersiapkan mereka untuk (berkorban demi) kepentingan Islam dan kaum Muslim, atau untuk mempengaruhi pengikut (kelompok) mereka. Rasulullah saw pernah memberikan zakat kepada Abu Sufyan, Uyainah bin Hishan, Aqra' bin Habis, 'Abbas bin Murdas dan sebagainya. Dari 'Amru bin Taghlib bahwa Rasulullah saw membawa harta atau sabiy (tawanan perang dari masyarakat sipil yang turut peperangan-peny), kemudian beliau membagi-bagikannya. Beliau berikan kepada sejumlah orang dan tidak memberikannya kepada yang lain. Kemudian beliau memuji Allah dan mengagungkan-Nya, lalu bersabda:
Amma ba’du, demi Allah aku berikan ini kepada sejumlah orang, dan aku biarkan yang lainnya (tidak memperoleh apa-apa-peny). Orang-orang yang kubiarkan lebih kucintai dari orang-orang yang aku beri. Aku memberikannya kepada sekelompok kaum karena aku melihat di dalam hati mereka masih ada keluh-kesah, gelisah dan kekhawatiran. Dan aku memberikannya makan sampai Allah menjadikan hati-hati mereka itu penuh dan kaya.
Muallaf tidak akan diberikan bagian dari zakat kecuali mereka itu muslim. Jika mereka kufur, maka mereka tidak diberi harta dari zakat. Hal ini karena zakat tidak diberikan kepada orang kafir, berdasarkan sabda Rasulullah saw kepada Mu'adz ketika diutus ke Yaman:
Beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan mereka membayar zakat. Zakat itu diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.
Mereka tidak diberi bagian dari zakat kecuali ada ‘illat yang menyebabkan mereka diberi zakat. Jika ‘illat-nya tidak ada, maka mereka tidak diberi zakat. Ini seperti yang dilakukan Abubakar dan Umar yang tidak memberikan bagian dari zakat kepada mereka setelah Islam kuat dan tersebar luas.
Kelima, Budak, yaitu budak yang lemah. Diberikan bagian dari zakat kepada mereka yang tergolong budak mukatab untuk membebaskannya. Atau dengan membeli mereka dan membebaskannya dengan menggunakan harta zakat jika mereka tidak termasuk budak mukatab. Faktanya, sekarang ini tidak ada lagi budak lemah.
Keenam, Gharimîn, yaitu mereka yang memiliki hutang. Yakni orang-orang yang memikul beban hutang dalam rangka memperbaiki hubungan, atau untuk membayar diyat, atau mereka menanggung hutang untuk memenuhi keperluan-keperluan khusus mereka.
Bagi orang-orang yang memikul hutang dalam rangka memperbaiki hubungan atau untuk membayar diyat, maka mereka diberi bagian dari zakat, baik mereka itu miskin maupun kaya. Dan diberikan kepada mereka sebesar beban hutang yang dipikulnya tanpa tambahan. Dari Anas bahwa Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi tiga golongan, (yaitu) orang yang sangat fakir, orang yang mempunyai hutang yang sangat banyak, dan orang yang sangat membutuhkan darah (membayar diyat).
Dari Qabishah bin Makhariq al-Hilali berkata: "Aku menanggung beban yang sangat berat, kemudian aku datang kepada Rasulullah saw untuk meminta kepada beliau. Maka beliau menjawab:
‘Tinggallah di sini sehingga ada sedekah (zakat) datang kepadaku, maka akan aku perintahkan zakat itu untuk diberikan kepadamu. Kemudian beliau bersabda lagi: ‘Hai Qabishah, meminta-minta itu tidak halal melainkan bagi salah satu dari tiga golongan: (1). seorang laki-laki yang menanggung beban yang sangat berat, maka halal baginya meminta-minta sehingga dia mampu dan berhenti meminta-minta, (2). seseorang yang ditimpa musibah yang menghancurkan hartanya, maka halal baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan keadaan yang layak untuk hidup atau mampu mendukung kehidupannya, (3). seseorang yang ditimpa kemiskinan sehingga ada tiga orang dari orang-orang pandai kaumnya mengatakan, ‘Sungguh si anu itu ditimpa suatu kemiskinan’, maka halal baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan keadaan yang layak hidup atau mampu mendukung kehidupannya. Selain itu, meminta-minta wahai Qabishah adalah haram, dan yang melakukannya berarti makan barang haram.’ (HR. Muslim dan Abu Dawud serta Nasa'i)
Adapun orang-orang yang memikul beban hutang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya, maka diberikan bagian dari zakat kepada mereka untuk menutupi hutang-hutangnya, baik mereka itu kaya maupun miskin. Dan diberikan tidak melebihi besar hutang mereka. Namun, jika mereka orang-orang kaya yang mampu menutup hutang-hutangnya, maka tidak diberikan bagian zakat kepada mereka, karena hal itu tidak dibolehkan bagi mereka.
Ketujuh, Fi sabilillah, yakni di dalam jihad, dan segala sesuatu yang dibutuhkan dan harus ada di dalam jihad, seperti pembentukan pasukan, pendirian pabrik-pabrik dan industri senjata. Adapun kata-kata fi sabilillah di dalam al-Qur'an tidak bermakna lain kecuali jihad. Sehingga untuk jihad dan segala hal yang terkait dengan jihad, diberikan zakat. Dalam hal ini tidak dibatasi jumlah yang diberikan dari harta zakat. Boleh seluruhnya dari harta zakat, atau sebagiannya untuk jihad, sesuai dengan pendapat dan pertimbangan Khalifah terhadap mustahiq zakat lainnya. Dari Abi Sa'id, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
‘Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya, kecuali orang kaya yang (berjihad) fi sabilillah….’
Dalam riwayat lain disebutkan ‘ … atau bagi prajurit yang berperang fi sabilillah….’
Kedelapan, Ibnu Sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal (uang) di perjalanan menuju negerinya. Diberikan kepadanya bagian dari zakat dalam jumlah yang dapat menghantarkannya sampai di tujuan (negerinya), baik jumlahnya itu banyak maupun sedikit. Diberikan bagian zakat kepadanya sesuai kebutuhannya di dalam perjalanan menuju ke negerinya, meskipun di negerinya itu ia termasuk orang kaya, karena sabda Rasulullah saw:
‘Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya, kecuali orang kaya yang (berjihad) fi sabilillah, atau ibnu sabil, …’
Selain dari delapan ashnaf yang telah disebutkan dalam ayat di atas, maka tidak boleh diberikan zakat kepadanya. Zakat tidak dikeluarkan untuk mendirikan masjid-masjid, rumah sakit-rumah sakit, sarana-sarana umum, atau salah satu kepentingan negara maupun umat. Sebab, zakat itu milik khusus delapan ashnaf, tidak ada yang bisa digabungkan dengan mereka.
Kepala negara (Khalifah) mempunyai wewenang dalam mempertimbangkan penyaluran zakat kepada delapan golongan ini, sesuai dengan pendapatnya dalam rangka kemaslahatan ashnaf ini. Hal ini telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para Khalifah setelah beliau. Khalifah boleh membagikan zakat kepada seluruh (delapan) golongan tersebut. Begitu pula Khalifah boleh membatasi pemberian zakat kepada sebagian golongan saja (dari delapan ashnaf) sesuai dengan pertimbangannya dalam rangka mewujudkan kemaslahatan golongan tersebut.
Apabila tidak ditemukan orang-orang yang berhak menerima zakat (dari 8 golongan itu), maka zakat disimpan di baitul mal pada pos zakat, yang akan digunakan ketika dibutuhkan. Dari Ibnu Abbas ia berkata tentang zakat: ‘Jika engkau memberikan zakat hanya kepada salah satu dari delapan golongan, maka Allah akan memberikan pahala kepadamu’. Hal ini juga dikatakan oleh Atha', Hasan dan Malik, yang berkata: ‘Kami berpendapat bahwa perkara pembagian zakat, yaitu bahwa dalam urusan tersebut tidak ada pendapat kecuali berupa ijtihad dari Wali, tentang golongan mana saja yang memiliki kebutuhan dan seberapa besar kebutuhan itu’.
Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para 'amilin zakat, muallaf, budak, orang-orang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil. (TQS at-Taubah [9]: 60)
Ayat yang mulia ini membatasi dan mengkhususkan pos-pos (pengeluaran) zakat hanya pada 8 kelompok/golongan saja. Zakat tidak boleh diberikan kepada selain 8 golongan ini, karena ayat yang mendasarinya menggunakan kata innamaa, yang merupakan bentuk adâtul hashr wal qashr (yang membatasi). Setelah itu ada huruf lam al-milki, yang menunjukkan pada pembatasan yang berhak menerima zakat, dan kepemilikannya hanya untuk 8 golongan saja, yaitu:
Pertama, Orang-orang fakir, yaitu orang-orang yang tidak memperoleh uang yang dapat mencukupi pemenuhan kebutuhan pokoknya, seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Siapa saja yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, maka ia dianggap fakir. Terhadapnya boleh menerima zakat dan diberikan zakat. Ia boleh memberikan zakatnya jika ia sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dan terbebas dari kefakirannya.
Allah Swt telah mengharamkan orang-orang kaya untuk memperoleh bagian dari zakat. Dari Abdullah bin Amru ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
Tidak dihalalkan zakat untuk orang kaya dan orang-orang yang memiliki kemampuan.
Dzu al-mirrah yaitu orang yang mempunyai kekuatan dan kemampuan, jika tidak memperoleh apa yang diusahakannya, maka ia dianggap fakir. Dan al-ghani ialah orang yang tidak lagi membutuhkan orang lain, dan termasuk memiliki kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Hadits-hadits telah menerangkan tentang siapa yang termasuk orang kaya. Dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
Tidak seorangpun yang meminta-minta sesuatu padahal ia kaya, kecuali pada hari kiamat ia datang dalam keadaan mukanya luka, terkoyak dan terkelupas. Kemudian Rasulullah ditanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang dapat dikatakan kaya atau apa yang menyebabkannya (pantas) dikatakan kaya?’ Rasulullah menjawab: 'Ia mempunyai 50 dirham atau nilai (tersebut) yang setara dengan emas.’ (HR. al-Khamsah)
Barangsiapa mempunyai 50 dirham perak, yaitu 148,75 gram perak atau emas dalam hitungan yang setara, dan merupakan kelebihan dari makanannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, nafkah keluarganya, anaknya serta pembantunya, maka dia dianggap kaya, sehingga tidak boleh menerima harta zakat.
Kedua, Orang-orang miskin, yaitu orang-orang tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah dan mereka tidak meminta-minta kepada manusia. Rasulullah saw bersabda:
Orang miskin bukanlah orang yang meminta-minta kepada orang lain, kemudian memperoleh sesuap atau dua suap, sebutir kurma atau dua butir kurma. Akan tetapi orang miskin ialah orang yang tidak kaya, tidak mengerti tentang keadaannya dan (orang-orang) memberikan shadaqah kepadanya. Dan jika (hal itu tidak terjadi) maka ia akan meminta-minta kepada manusia. (HR. Muttafaq 'Alaih)
Orang miskin itu berbeda dengan orang fakir, karena firman Allah Swt:
Atau orang miskin yang sangat fakir. (TQS. al-Balad [90]: 16)
Yakni tidak mempunyai pakaian dan sangat lapar. Orang miskin berhak memperoleh zakat dan ia boleh mengambil bagiannya. Boleh memberikan zakat kepada mereka hinggapada batas yang dapat menghilangkan kemiskinannya dan mencukupi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Ketiga, 'Amilin Zakat, disebut juga as-su’ah, atau al-mushaddiqun, yaitu orang-orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang diwajibkan menunaikan zakat, atau untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Mereka berhak mendapatkan zakat walaupun mereka itu kaya, sebagai kompensasi tugas mereka mengumpulkan zakat dan membagikannya. Dari 'Atha bin Yasar ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali untuk 5 golongan, (yaitu) 'amil zakat, seseorang yang membeli harta zakat dengan hartanya, seorang laki-laki memiliki tetangga fakir dan diberinya shadaqah berupa harta zakat tetapi ia (kembali) menghadiahkan lagi kepadanya, orang yang berperang, dan orang yang mempunyai hutang.
Dan dari Bisir bin Sa'id berkata: Sesungguhnya Ibnu as-Sa'di al-Maliki berkata: ‘Umar menjadikanku 'amil zakat. Setelah selesai melakukan tugas, aku serahkan zakat itu kepada beliau. Lalu aku diberinya uang. Aku berkata: ‘Sesungguhnya aku melakukan ini karena Allah.’ Umar berkata: ‘Ambillah apa yang kuberikan, sesungguhnya aku melakukannya sebagaimana Rasulullah saw pernah lakukan’. Beliau menjadikanku 'amil, dan aku berkata seperti yang engkau ucapkan tadi.’ Kemudian Rasulullah saw bersabda kepadaku:
‘Jika aku memberikan sesuatu bukan karena engkau minta, maka makanlah dan belanjakanlah.’ (HR. Muttafaq 'Alaih)
Keempat, Muallaf, mereka terdiri dari para panglima perang, para pemimpin, tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh atau para ksatria yang belum kuat imannya. Khalifah atau para wali bisa memberikan kepada mereka zakat untuk menguatkan hati mereka mereka, menghunjamkan iman mereka, atau mempersiapkan mereka untuk (berkorban demi) kepentingan Islam dan kaum Muslim, atau untuk mempengaruhi pengikut (kelompok) mereka. Rasulullah saw pernah memberikan zakat kepada Abu Sufyan, Uyainah bin Hishan, Aqra' bin Habis, 'Abbas bin Murdas dan sebagainya. Dari 'Amru bin Taghlib bahwa Rasulullah saw membawa harta atau sabiy (tawanan perang dari masyarakat sipil yang turut peperangan-peny), kemudian beliau membagi-bagikannya. Beliau berikan kepada sejumlah orang dan tidak memberikannya kepada yang lain. Kemudian beliau memuji Allah dan mengagungkan-Nya, lalu bersabda:
Amma ba’du, demi Allah aku berikan ini kepada sejumlah orang, dan aku biarkan yang lainnya (tidak memperoleh apa-apa-peny). Orang-orang yang kubiarkan lebih kucintai dari orang-orang yang aku beri. Aku memberikannya kepada sekelompok kaum karena aku melihat di dalam hati mereka masih ada keluh-kesah, gelisah dan kekhawatiran. Dan aku memberikannya makan sampai Allah menjadikan hati-hati mereka itu penuh dan kaya.
Muallaf tidak akan diberikan bagian dari zakat kecuali mereka itu muslim. Jika mereka kufur, maka mereka tidak diberi harta dari zakat. Hal ini karena zakat tidak diberikan kepada orang kafir, berdasarkan sabda Rasulullah saw kepada Mu'adz ketika diutus ke Yaman:
Beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan mereka membayar zakat. Zakat itu diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka.
Mereka tidak diberi bagian dari zakat kecuali ada ‘illat yang menyebabkan mereka diberi zakat. Jika ‘illat-nya tidak ada, maka mereka tidak diberi zakat. Ini seperti yang dilakukan Abubakar dan Umar yang tidak memberikan bagian dari zakat kepada mereka setelah Islam kuat dan tersebar luas.
Kelima, Budak, yaitu budak yang lemah. Diberikan bagian dari zakat kepada mereka yang tergolong budak mukatab untuk membebaskannya. Atau dengan membeli mereka dan membebaskannya dengan menggunakan harta zakat jika mereka tidak termasuk budak mukatab. Faktanya, sekarang ini tidak ada lagi budak lemah.
Keenam, Gharimîn, yaitu mereka yang memiliki hutang. Yakni orang-orang yang memikul beban hutang dalam rangka memperbaiki hubungan, atau untuk membayar diyat, atau mereka menanggung hutang untuk memenuhi keperluan-keperluan khusus mereka.
Bagi orang-orang yang memikul hutang dalam rangka memperbaiki hubungan atau untuk membayar diyat, maka mereka diberi bagian dari zakat, baik mereka itu miskin maupun kaya. Dan diberikan kepada mereka sebesar beban hutang yang dipikulnya tanpa tambahan. Dari Anas bahwa Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi tiga golongan, (yaitu) orang yang sangat fakir, orang yang mempunyai hutang yang sangat banyak, dan orang yang sangat membutuhkan darah (membayar diyat).
Dari Qabishah bin Makhariq al-Hilali berkata: "Aku menanggung beban yang sangat berat, kemudian aku datang kepada Rasulullah saw untuk meminta kepada beliau. Maka beliau menjawab:
‘Tinggallah di sini sehingga ada sedekah (zakat) datang kepadaku, maka akan aku perintahkan zakat itu untuk diberikan kepadamu. Kemudian beliau bersabda lagi: ‘Hai Qabishah, meminta-minta itu tidak halal melainkan bagi salah satu dari tiga golongan: (1). seorang laki-laki yang menanggung beban yang sangat berat, maka halal baginya meminta-minta sehingga dia mampu dan berhenti meminta-minta, (2). seseorang yang ditimpa musibah yang menghancurkan hartanya, maka halal baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan keadaan yang layak untuk hidup atau mampu mendukung kehidupannya, (3). seseorang yang ditimpa kemiskinan sehingga ada tiga orang dari orang-orang pandai kaumnya mengatakan, ‘Sungguh si anu itu ditimpa suatu kemiskinan’, maka halal baginya meminta-minta sehingga dia mendapatkan keadaan yang layak hidup atau mampu mendukung kehidupannya. Selain itu, meminta-minta wahai Qabishah adalah haram, dan yang melakukannya berarti makan barang haram.’ (HR. Muslim dan Abu Dawud serta Nasa'i)
Adapun orang-orang yang memikul beban hutang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya, maka diberikan bagian dari zakat kepada mereka untuk menutupi hutang-hutangnya, baik mereka itu kaya maupun miskin. Dan diberikan tidak melebihi besar hutang mereka. Namun, jika mereka orang-orang kaya yang mampu menutup hutang-hutangnya, maka tidak diberikan bagian zakat kepada mereka, karena hal itu tidak dibolehkan bagi mereka.
Ketujuh, Fi sabilillah, yakni di dalam jihad, dan segala sesuatu yang dibutuhkan dan harus ada di dalam jihad, seperti pembentukan pasukan, pendirian pabrik-pabrik dan industri senjata. Adapun kata-kata fi sabilillah di dalam al-Qur'an tidak bermakna lain kecuali jihad. Sehingga untuk jihad dan segala hal yang terkait dengan jihad, diberikan zakat. Dalam hal ini tidak dibatasi jumlah yang diberikan dari harta zakat. Boleh seluruhnya dari harta zakat, atau sebagiannya untuk jihad, sesuai dengan pendapat dan pertimbangan Khalifah terhadap mustahiq zakat lainnya. Dari Abi Sa'id, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
‘Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya, kecuali orang kaya yang (berjihad) fi sabilillah….’
Dalam riwayat lain disebutkan ‘ … atau bagi prajurit yang berperang fi sabilillah….’
Kedelapan, Ibnu Sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal (uang) di perjalanan menuju negerinya. Diberikan kepadanya bagian dari zakat dalam jumlah yang dapat menghantarkannya sampai di tujuan (negerinya), baik jumlahnya itu banyak maupun sedikit. Diberikan bagian zakat kepadanya sesuai kebutuhannya di dalam perjalanan menuju ke negerinya, meskipun di negerinya itu ia termasuk orang kaya, karena sabda Rasulullah saw:
‘Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya, kecuali orang kaya yang (berjihad) fi sabilillah, atau ibnu sabil, …’
Selain dari delapan ashnaf yang telah disebutkan dalam ayat di atas, maka tidak boleh diberikan zakat kepadanya. Zakat tidak dikeluarkan untuk mendirikan masjid-masjid, rumah sakit-rumah sakit, sarana-sarana umum, atau salah satu kepentingan negara maupun umat. Sebab, zakat itu milik khusus delapan ashnaf, tidak ada yang bisa digabungkan dengan mereka.
Kepala negara (Khalifah) mempunyai wewenang dalam mempertimbangkan penyaluran zakat kepada delapan golongan ini, sesuai dengan pendapatnya dalam rangka kemaslahatan ashnaf ini. Hal ini telah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para Khalifah setelah beliau. Khalifah boleh membagikan zakat kepada seluruh (delapan) golongan tersebut. Begitu pula Khalifah boleh membatasi pemberian zakat kepada sebagian golongan saja (dari delapan ashnaf) sesuai dengan pertimbangannya dalam rangka mewujudkan kemaslahatan golongan tersebut.
Apabila tidak ditemukan orang-orang yang berhak menerima zakat (dari 8 golongan itu), maka zakat disimpan di baitul mal pada pos zakat, yang akan digunakan ketika dibutuhkan. Dari Ibnu Abbas ia berkata tentang zakat: ‘Jika engkau memberikan zakat hanya kepada salah satu dari delapan golongan, maka Allah akan memberikan pahala kepadamu’. Hal ini juga dikatakan oleh Atha', Hasan dan Malik, yang berkata: ‘Kami berpendapat bahwa perkara pembagian zakat, yaitu bahwa dalam urusan tersebut tidak ada pendapat kecuali berupa ijtihad dari Wali, tentang golongan mana saja yang memiliki kebutuhan dan seberapa besar kebutuhan itu’.