Saya membayangkan, pada satu saat setelah selesainya bulan
Ramadhan malaikat turun kebumi membawa sertifikat yang telah ditanda-tangani,
telah dicap stempel akherat, disana tertulis nama saya. Pernyataan dalam
sertifikat tersebut : “Telah berhasil menjalani ibadah puasa dibulan Ramadhan
dengan hasil memuaskan, dan untuk itu yang bersangkutan telah dianugerahi
ketaqwaan dan dinyatakan telah bersih dari dosa seperti bayi yang baru lahir,
demikianlah sertifikat ini dibuat dan diberikan untuk dipergunakan sebagaimana
mestinya”. Apa reaksi logis yang akan saya lakukan..?? apa yang akan anda
perbuat kalau itu terjadi dengan diri anda..??
Saya pasti akan mencari pigura yang bagus, kalau bisa
terbuat dari emas, berukir indah dengan hiasan permata, sertifikat tersebut
akan saya gantung di dinding untuk bisa saya nikmati setiap waktu dengan
bangga, tidak lupa saya akan mengadakan selamatan mengundang teman-teman, kalau
perlu mengundang band D’masiv atau wayang kulit semalam suntuk, sebagai tanda
syukur atas hadiah yang sudah diberikan. Lalu…?? Yaa…cuma sampai disitu,
setelah itu saya akan kembali melanjutkan kehidupan dengan cara yang sama
seperti sebelum Ramadhan, toh ketaqwaan sudah saya dapatkan dan saya sudah
menikmatinya, nanti pada Ramadhan ditahun depan, saya akan bikin program lagi
agar kembali bisa mendapatkan sertifikat yang sama.
Namun untungnya, ketaqwaan tidak ada sertifikatnya, selesai
Ramadhan kita sama sekali tidak mengetahui apakah kita sudah berhasil
menjalankan ibadah puasa tersebut dengan standard yang telah ditentukan oleh
Allah, apakah Dia sudah menjadikan kita orang-orang yang bertaqwa sesuai apa
yang dinyatakan-Nya dalam Al-Qur’an, ketika Ramadhan selesai kita hanya bisa
berharap :”Semoga Allah menerima ibadah yang kita lakukan selama ini –
taqabbalallahu minna wa minkum…”, atau sebaliknya kita hanyalah seseorang yang
rugi seperti yang disampaikan oleh Rasulullah : “Berapa banyak orang yang
puasa, tapi tidak dapat apa-apa kecuali haus dan lapar.” (Hadits Riwayat
Bukhari-Muslim).
Ketaqwaan ditanamkan Allah bukan dalam bentuk ‘hasil’, namun
di menyatu dengan ‘proses’. Sebenarnya sangat gampang untuk mengidentifikasi
apakah amal ibadah kita selama Ramadhan benar-benar telah mencapai hasil
seperti yang ditetapkan, mengacu kepada apa niat kita ketika memulainya.
Apabila kita memasang niat diawal Ramadhan memang untuk mendapatkan ketaqwaan,
maka itu pula yang akan kita peroleh, karena selama menjalankan ibadah tersebut
kita akan selalu mengisi hati kita dengan pertanyaan : “Apakah saya sudah
maksimal menjalankannya, sudah mengisi hari-hari dibulan Ramadhan dengan
memperbanyak shalat, meningkatkan kualitas shalat fardhu dengan sebanyak
mungkin mengerjakannya di mesjid, menyediakan waktu lebih untuk berinteraksi
dengan Al-Qur’an, banyak bersedekah dan berbuat kebaikan. .”. Bagi kita yang
menetapkan niat hanya karena menjalankan kewajiban, maka di akhir Ramadhan yang
kita rasakan adalah kebebasan kembali dari ‘tugas berat’ yang tidak kita sukai
menjalankannya. Setiap hari di bulan Ramadhan selalu kita isi dengan ‘penantian
panjang’ kapan waktu berbuka, lalu setelah sahur hati kita selalu resah
mengingat jam-jam berikut yang harus kita isi dengan keterikatan, tidak boleh
makan-minum, jangan berbuat aneh-aneh seperti ngobrol membuang waktu atau
sekedar menikmati wanita cantik yang lewat dihadapan, ketika Ramadhan berakhir
kita berteriak gembira :”Merdekaaa…!!”.
Ketaqwaaan diberikan Allah bukan dalam bentuk deviden atau
hasil usaha yang bisa kita nikmati dan habiskan begitu kita menerimanya, tapi
itu diberikan Allah dalam bentuk ‘suntikan modal’ agar usaha kita dimasa yang
akan datang bisa dijalankan dengan lebih berkembang dan lebih berkualitas,
sehingga diharapkan akan menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar.
Meminjam istilah krisis finansial kemaren, pada bulan Ramadhan, kita diberikan
‘stimulus ekonomi’ ketika perbuatan baik yang kita lakukan diganjar pahala yang
berlipat, ibarat sebuah supermarket yang menggelar bulan promosi dengan ‘harga
pahala’ yang diobral serendah mungkin, diskon besar-besaran, beli satu gratis
satu, dengan jumlah uang yang sama kita bisa memperoleh barang yang lebih
banyak, demikian pula amal kebaikan yang kita kerjakan dibulan Ramadhan akan
menghasilkan pahala yang lebih banyak. Pahala yang kita dapat telah ditetapkan
Allah bisa menghapus dosa-dosa kita :
[11:114]..Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
(dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang
ingat.
Al-Ghazali mengatakan bahwa dosa itu ibarat kotoran yang
menempel di qalbu, sedangkan qalbu ibarat cermin, ketika kotoran tersebut makin
banyak dan tidak dibersihkan, qalbu kita tidak mampu lagi untuk menerima cahaya
yang datang dari Allah, qalbu kita sudah membatu untuk bisa menerima kebenaran.
Di bulan Ramadhan Allah memberikan kesempatan agar kita bisa membersihkan
kotoran yang menempel dengan cara yang lebih gampang dan cepat, sehingga amal
kebaikan kita selama Ramadhan menghasilkan ‘deterjen dengan formula khusus’,
yang bekerja disaat Ramadhan selesai, qalbu kita kembali bersih dan bisa
menerima cahaya kebenaran yang datang dari Allah. Indikasinya sangat terasa,
kita begitu mudah tersentuh dan menangis ketika mendengar ayat-ayat Al-Qur’an
dibacakan, kesalehkan kita yang dikerjakan pada bulan Ramadhan berlanjut terus,
merasa nikmat mengerjakan shalat di mesjid, tetap mencoba membaca Al-Qur’an
setiap hari karena ada dorongan yang datang dalam hati, ada dorongan untuk
berpuasa sunat, tergugah melihat kehidupan orang-orang lain yang mengalami
kesulitan, tetap bersikap dermawan dan sering memberikan sedekah. Artinya ‘suntikan
modal’ ketaqwaan dari Allah sudah bekerja. Disitulah dikatakan bahwa ketaqwaan
tidak diberikan dalam bentuk ‘hasil’, melainkan dicantelkan kedalam ‘proses’
kita menjalani kehidupan selanjutnya. Kalau anda bisa merasakan hal tersebut,
artinya ibadah anda selama Ramadhan sudah berhasil mencapai target yang telah
ditetapkan Allah.
Lalu apakah dimasa-masa mendatang kita akan menjalankan
kehidupan yang damai sejahtera, tenteram, bahagia, mengalami kenikmatan hidup
yang terus-menerus yang lebih bahagia dibandingkan sebelumnya..?? Orang yang
bertaqwa tidak akan mempermasalahkan soal itu, karena kebahagiaan,
kesejahteraan, kenikmatan selalu datang silih berganti dengan kesengsaraan,
kemalangan dan nestapa
[21:35] Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji
kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan
hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.
Hikmah Ramadhan terletak kepada kesiapan jiwa kita untuk
menghadapi ujian Allah selanjutnya dan bukan terletak pada ada atau tidaknya
cobaan yang akan mendatangi kita. Boleh jadi ujian tersebut akan kita hadapi
dalam jumlah dan kualitas yang lebih tinggi, yang sanggup mengguncangkan hati,
bisa dalam bentuk kehilangan sanak keluarga yang kita cintai, lenyapnya harta benda
dan jabatan, penyakit, problema yang datang dari pasangan dan anak-anak, atau
bisa juga hal yang sebaliknya : dapat jabatan baru dengan kekuasaan yang lebih
besar, memperoleh harta melimpah sehingga sanggup membeli apapun, keberhasilan
anak-anak yang akan membuat kita berbangga dan terlena.
Ketaqwaan yang diberikan membuat kita sanggup untuk
menghadapi semuanya, tidak akan membuat kita menjadi manusia yang makin
menjauhkan diri dengan Allah. Ketika Allah memberi kita ujian, Dia sebenarnya
sudah menyatakan bahwa ujian tersebut akan sanggup kita hadapi, dan kalau kita
cerdas untuk memanfaatkan kemampuan diri, maka kita akan kembali bergerak
kepada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih dekat kepada Allah. Kebaikan dan
keburukan yang ditimpakan akan merangsang kita untuk meningkatkan interaksi
kita dengan Allah, membuat kita berusaha menghadirkan Allah dalam qalbu kita
setiap saat, kebaikan akan membuat kita mengingat-Nya dengan rasa syukur,
keburukan dan musibah akan memunculkan-Nya dalam rasa sabar, tidak ada satu
kejadianpun yang akan membuat kita terputus hubungan dengan Allah. Interaksi
itulah yang akan dinilai, apakah kita sudah menjalani kehidupan lebih baik dari
sebelumnya berdasarkan penilaian Allah. Ketaqwaan merupakan ‘bahan bakar’ kita
untuk makin mendekatkan diri kepada-Nya karena Allah sudah menetapkan posisi
bagaimana Dia akan berinteraksi dengan kita :
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Allah Ta’ala berfirman : “Aku menurut sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku
bersamanya apabila ia ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam dirinya
maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam kelompok
orang-orang yang lebih baik dari kelompok mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku
sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika ia mendekat kepada-Ku
sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan
berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil”. (Hadits
ditakhrij oleh Bukhari).
Untung ketaqwaan tidak ada sertifikatnya, kalau ada maka
kita mungkin saat ini sedang duduk-duduk didepan sertifikat tersebut yang
digantung didinding berpigura indah dari emas, memandangnya dengan bangga,
merasakan ‘kenikmatan’ status yang sudah kita dapatkan, dan kita tidak
menyadari bahwa sebenarnya hidup kita telah berhenti. [sumber]