Wednesday, 29 August 2012

> > Lailatul Qadar, Malaikat Kesiangan dan Turunnya Al-Qur’an . . .

Lailatul Qadar, Malaikat Kesiangan dan Turunnya Al-Qur’an . . .


Saya ingat cerita guyonan ayah saya ketika masih kecil dulu tentang lailatul qadar. Seseorang terbangun tengah malam dimasa-masa akhir bulan Ramadhan untuk melakukan shalat tahajud, dia pergi kepancuran air yang ada diluar rumah untuk berwudhu. Agar tidak basah kena air, maka orang tersebut melepas kopiahnya dan menggantungkan di dahan sebuah pohon. Ketika wudhu selesai dan dia menjulurkan tangan bermaksud meraih kopiah dari dahan pohon dengan mata tertutup karena masih basah oleh air, namun kopiah tidak ada ditempat semula. Ketika orang ini membuka matanya, ternyata dahan pohon tempat kopiahnya tergantung sudah berpindah tempat, membengkok kearah lain. Malam itu lailatul qadar, langit yang tadinya gelap gulita mendadak terang-benderang, langit terbuka, malaikat turun kebumi berbondong-bondong, dan semua makhluk termasuk pohon tadi, bersujud kearah kiblat, makanya dia tidak menemukan kopiahnya ditempat semula, ikut-ikutan terbawa dahan pohon yang sedang bersujud tersebut.

Cerita ini mempengaruhi persepsi saya tentang lailatul qadar sampai sekarang, bahwa malam istimewa tersebut ditandai dengan fenomena alam yang bisa dilihat semua orang, yang kebetulan terjaga pada waktu itu. Alam semesta memperlihatkan diri secara menakjubkan dan malaikat yang turun kebumi bisa disaksikan dengan mata telanjang, sampai kemudian saya merenung di Masjidil Haram di bulan Ramadhan tahun ini. Pada umumnya semua orang yang datang untuk melakukan umroh dibulan puasa kesana mengharapkan bisa bertemu dengan lailatul qadar, bisa menjadi saksi saat-saat beberapa menit malam yang penuh berkah tersebut, bernilai lebih dari seribu bulan. Jadwal kegiatan di Masjidil Haram sangat mendukung agar kita bisa bertemu dengan lailatul qadar. Mulai dari maghrib ketika berbuka puasa dan melakukan shalat, lalu dilanjutkan dengan shalat ‘Isya dan tarawih sampai jam 11 malam, pada sepuluh hari terakhir ketika Rasulullah memberi petunjuk lailatur qadar akan terjadi pada masa-masa tersebut, kegiatan ibadah ditambah lagi mulai jam 1 tengah malam untuk bertahajud bersama-sama sampai jam 3 pagi, tidak berapa lama shubuhpun datang.

Orang-orang di Masjidil haram punya keyakinan kalau lailatul qadar terjadi pada malam ke-27 sehingga waktu itulah terjadi puncak kepadatan. Orang-orang sudah datang ke masjid mulai pagi dan siang, bahkan menjelang sore para petugas terpaksa menutup jalan kesana karena masjid sudah penuh. Hampir semua membawa bekal untuk berbuka dan makan sahur di masjid agar kesempatan tidak terlepas walau sedetikpun dari datangnya lailatul qadar. Keyakinan akan datangnya malam ini dihari ke-27 berdasarkan beberapa hadits Rasulullah yang menyebut malam ke-27 tersebut, namun terdapat juga hadits lain yang menyebut lailatul qadar terjadi pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ada juga yang berbunyi terjadinya pada malam-malam ganjil di 10 hari terakhir tersebut. Mungkin karena keyakinan lailatul qadar terjadi pada malam ke-27, makanya pada malam berikutnya kepadatan orang di Masjidil Haram menjadi menurun, mereka menganggap malam tersebut sudah lewat jadi tidak perlu lagi ‘ngendon’ di masjid. Soal ini biarlah menjadi urusan masing-masing, saya tidak ingin memperpanjang persoalannya.

Yang menjadi renungan saya adalah, apakah memang datangnya lailatul qadar berbentuk fenomena alam yang istimewa sampai orang-orang yang terjaga diwaktu itu bisa melihatnya. Bisa melihat langit yang terbuka, malaikat turun kebumi..?? Pertanyaannya adalah kapan waktunya..?? Katakanlah lailatul qadar memang terjadi di Masjidil Haram, pada masa dua pertiga malam terakhir, sekitar jam 2 atau jam 3 dinihari. Pada waktu itu di Indonesia sudah pagi, jam 6 atau jam 7, jadi kalau para malaikat turun kebumi maka untuk waktu Indonesia jelas mereka sudah kesiangan, telat masuk kerja. Kalau dikatakan lailatul qadar yang datangnya beberapa menit tersebut punya ‘jadwal’ yang berbeda untuk setiap wilayah, maka pertanyaannya adalah : apakah terjadi  pada tanggal yang sama..?? Lalu apakah fenomena alam yang terjadi bisa disaksikan oleh orang-orang yang terjaga  pada waktu itu..?? kalau tidak, maka itu tidak bisa dikatakan sebagai suatu fenomena alam. Kalau bisa disaksikan maka bencong-bencong yang ‘itikaf’ dilampu merah sepanjang hari (bahkan bukan hanya di bulan Ramadhan saja) akan punya kesempatan untuk menyaksikan langit terbuka dan malaikat turun kebumi. Di Masjidil Haram, saya juga tidak pernah mendengar ada orang yang pernah menyaksikan keajaiban alam tersebut. Ada yang bilang :”Memang bagi orang yang dianugerahi malam qadar tersebut tidak akan pernah mau bercerita pengalamannya..”, ini luar biasa karena bisa terjadi adanya GTM – Gerakan Tutup Mulut secara masal mulai dari ribuan tahun lalu sampai sekarang.

Pemahaman tentang lailatul qadar seperti ini juga menimbulkan kesan kalau orang-orang memperlakukan peristiwa ini seperti halnya menunggu pesta kembang api di malam tahun baru, bisa menyaksikan kemeriahan dan pemandangan menakjubkan, lalu selesai saja. Logikanya bertemunya seseorang dengan lailatul qadar semestinya terlihat dengan pertanyaan ‘what next’..? Buat apa bertemu lailatul qadar kalau setelah itu tetap melakukan kemaksiatan yang sama, tetap berlaku curang dan menyombongkan diri, tetap terpesona dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi. Atau sebaliknya malah membuat seseorang berlagak seperti dukun sakti mandraguna, merasa punya ilmu ghaib untuk membaca isi hati orang, menyembuhkan penyakit dan membaca peristiwa yang akan terjadi dimasa datang.

Saya sendiri ‘curiga’ dengan redaksi kalimat Al-Qur’an tentang lailatul qadar, ketika Allah menginformasikan bahwa dimalam tersebut :

tanazzalu almalaa-ikatu waalrruuhu fiihaa bi-idzni rabbihim min kulli amrin [QS 97:4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.

Redaksi bahasa aslinya adalah ‘tanazzalu malaaikat wa ruuh’ – turun malaikat-malaikat dan ruh – lalu kata ini ditafsirkan dengan ‘malaikat dan Jibril’ yang mengatur segala urusan. Memang dalam ayat lain Al-Qur’an sering menyebut Jibril dengan sebutan ‘ruh’, misalnya pada kata ‘ruhul qudus’ [QS 16:102] atau juga ‘ruhul amin’ [QS 26:193], namun kata yang sama juga dipakai Al-Qur’an sebagai kata ganti penyebutan Al-Qur’an itu sendiri, misalnya pada ayat :

wakadzaalika awhaynaa ilayka ruuhan min amrinaa [QS42:52] Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami.

Sehingga menafsirkan kata ‘ruh’ pada surat al-Qadr tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah dengan demikian Jibril tidak termasuk dalam kelompok malaikat..? kalau memang dipisahkan lalu apa alasannya..?? Menurut saya indikasi tentang hal ini bisa ditelusuri dengan melihat ayat pertama surat al-Qadr tersebut :

innaa anzalnaahu fii laylati alqadri [QS 97:1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan..

Kalaupun mau ditafsirkan bahwa kata ‘ruh’ pada ayat tersebut merujuk kepada malaikat Jibril maka kita seharusnya memahami tidak hanya terbatas kepada sosok Jibrilnya saja, tapi terkait dengan ‘apa yang dibawa’ oleh Jibril dengan didampingi para malaikat lain yang bertujuan untuk ‘mengatur segala urusan’. Yang dibawa turun pada lailatul qadar tersebut adalah Al-Qur’an, dan karena ayat-ayat tersebut sudah diturunkan dijaman Rasulullah, maka pengertian Al-Qur’an disini adalah ‘pemahaman terhadap Al-Qur’an’.

Pada lailatul qadar, Allah telah mengutus Jibril dan para malaikat lain untuk membawa pemahaman tentang Al-Qur’an dan akan diberikan kepada hamba-Nya yang telah dipilih untuk itu. Maka lailatul qadar bukan merupakan fenomena alam, berbicara tentang perubahan cuaca dan pemandangan menakjubkan melihat malaikat turun kebumi. Bisa saja hal tersebut terjadi, namun hanya berfungsi sebagai unsur yang ‘memeriahkan’nya saja. Lailatul qadar adalah peristiwa yang sifatnya personal, hanya dialami oleh orang-orang terpilih, ketika tiba-tiba dalam perenungannya mendapat pencerahan tentang Al-Qur’an. Pencerahan tersebut akan berpengaruh terhadap sikap hidupnya dimasa selanjutnya karena hijab telah terbuka. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang berisi banyak informasi termasuk rahasia kehidupan dan alam akhirat. Ketika pemahaman dianugerahkan Allah, orang tersebut mengerti dan mendapat gambaran jelas tentang hal tersebut, sekalipun mungkin tanpa kata-kata, dia bisa melihat secara terang-benderang akan nasibnya kelak.

Kalau anda bertanya apakah saya pernah mengalami lailatul qadar..?? maka saya memastikan tidak pernah bertemu fenomena alam yang ajaib seperti yang digambarkan orang selama ini. Beberapa tahun terakhir saya juga begadang dimalam-malam terakhir Ramadhan, setiap malam sama saja, tidak ada yang aneh. Namun ijinkanlah saya bercerita kisah saya 2 tahun lalu, ketika saya menyempatkan diri untuk beriktikaf di masjid di kompleks perumahan tempat saya tinggal. Sebenarnya bukan iktikaf seperti pemahaman yang diajarkan Rasulullah, yaitu 24 jam berdiam di masjid memutuskan hubungan dengan dunia luar dan semata-mata hanya berkomunikasi dengan Allah saja, iktikaf saya lakukan selesai shalat tarawih ketika orang-orang sudah pulang kerumah, sampai waktu sebelum shubuh. Biasanya saya memiliki 3 atau 4 orang teman melakukan hal yang sama, namun ketika itu saya hanya sendiri di masjid karena yang lainnya sudah pada mudik. Seperti biasanya saya meneruskan membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata karena tidak fasih, sudah sampai kepada surat al-Mu’minuun. Disaat membaca ayat-ayatnya mulailah saya terkesima. Awal surat al-Mu’minuun bukan kali ini saja saya baca dan dengar, ini adalah ayat favorit para iman shalat berjamaah di masjid, sudah sering diulang-ulang, namun kali ini saya merasa Allah berbisik dekat di telinga, seolah-olah menghibur dan menjawab pertanyaan yang beberapa tahun belakangan muncul dalam pikiran :

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. dan orang-orang yang memelihara shalatnya.

Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

Ayat-ayat tersebut sangat terang-benderang dalam pikiran, tidak perlu penafsiran macam-macam, menjawab pertanyaan dan keraguan yang selama ini sering muncul karena saya sendiri merasa orang yang telah banyak melakukan perbuatan sia-sia dimasa lalu, sehingga muncul pertanyaan :”Apakah Allah masih mau menerima saya sebagai hamba-Nya..?”. Yang saya ingat, waktu itu saya hanya bisa menangis terisak-isak, dan menjatuhkan diri bersujud dalam-dalam lalu berikrar untuk tidak lagi melepaskan diri dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.

Jadi kalau anda bertanya apakah saya pernah bertemu lailatul qadar, buat saya saat itulah lailatul qadar. [sumber]