Saya ingat cerita guyonan ayah saya ketika masih kecil dulu
tentang lailatul qadar. Seseorang terbangun tengah malam dimasa-masa akhir
bulan Ramadhan untuk melakukan shalat tahajud, dia pergi kepancuran air yang
ada diluar rumah untuk berwudhu. Agar tidak basah kena air, maka orang tersebut
melepas kopiahnya dan menggantungkan di dahan sebuah pohon. Ketika wudhu
selesai dan dia menjulurkan tangan bermaksud meraih kopiah dari dahan pohon
dengan mata tertutup karena masih basah oleh air, namun kopiah tidak ada
ditempat semula. Ketika orang ini membuka matanya, ternyata dahan pohon tempat
kopiahnya tergantung sudah berpindah tempat, membengkok kearah lain. Malam itu
lailatul qadar, langit yang tadinya gelap gulita mendadak terang-benderang,
langit terbuka, malaikat turun kebumi berbondong-bondong, dan semua makhluk
termasuk pohon tadi, bersujud kearah kiblat, makanya dia tidak menemukan
kopiahnya ditempat semula, ikut-ikutan terbawa dahan pohon yang sedang bersujud
tersebut.
Cerita ini mempengaruhi persepsi saya tentang lailatul qadar
sampai sekarang, bahwa malam istimewa tersebut ditandai dengan fenomena alam
yang bisa dilihat semua orang, yang kebetulan terjaga pada waktu itu. Alam
semesta memperlihatkan diri secara menakjubkan dan malaikat yang turun kebumi
bisa disaksikan dengan mata telanjang, sampai kemudian saya merenung di
Masjidil Haram di bulan Ramadhan tahun ini. Pada umumnya semua orang yang
datang untuk melakukan umroh dibulan puasa kesana mengharapkan bisa bertemu
dengan lailatul qadar, bisa menjadi saksi saat-saat beberapa menit malam yang
penuh berkah tersebut, bernilai lebih dari seribu bulan. Jadwal kegiatan di
Masjidil Haram sangat mendukung agar kita bisa bertemu dengan lailatul qadar.
Mulai dari maghrib ketika berbuka puasa dan melakukan shalat, lalu dilanjutkan
dengan shalat ‘Isya dan tarawih sampai jam 11 malam, pada sepuluh hari terakhir
ketika Rasulullah memberi petunjuk lailatur qadar akan terjadi pada masa-masa
tersebut, kegiatan ibadah ditambah lagi mulai jam 1 tengah malam untuk
bertahajud bersama-sama sampai jam 3 pagi, tidak berapa lama shubuhpun datang.
Orang-orang di Masjidil haram punya keyakinan kalau lailatul qadar terjadi pada malam ke-27 sehingga waktu itulah terjadi puncak kepadatan. Orang-orang sudah datang ke masjid mulai pagi dan siang, bahkan menjelang sore para petugas terpaksa menutup jalan kesana karena masjid sudah penuh. Hampir semua membawa bekal untuk berbuka dan makan sahur di masjid agar kesempatan tidak terlepas walau sedetikpun dari datangnya lailatul qadar. Keyakinan akan datangnya malam ini dihari ke-27 berdasarkan beberapa hadits Rasulullah yang menyebut malam ke-27 tersebut, namun terdapat juga hadits lain yang menyebut lailatul qadar terjadi pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ada juga yang berbunyi terjadinya pada malam-malam ganjil di 10 hari terakhir tersebut. Mungkin karena keyakinan lailatul qadar terjadi pada malam ke-27, makanya pada malam berikutnya kepadatan orang di Masjidil Haram menjadi menurun, mereka menganggap malam tersebut sudah lewat jadi tidak perlu lagi ‘ngendon’ di masjid. Soal ini biarlah menjadi urusan masing-masing, saya tidak ingin memperpanjang persoalannya.
Orang-orang di Masjidil haram punya keyakinan kalau lailatul qadar terjadi pada malam ke-27 sehingga waktu itulah terjadi puncak kepadatan. Orang-orang sudah datang ke masjid mulai pagi dan siang, bahkan menjelang sore para petugas terpaksa menutup jalan kesana karena masjid sudah penuh. Hampir semua membawa bekal untuk berbuka dan makan sahur di masjid agar kesempatan tidak terlepas walau sedetikpun dari datangnya lailatul qadar. Keyakinan akan datangnya malam ini dihari ke-27 berdasarkan beberapa hadits Rasulullah yang menyebut malam ke-27 tersebut, namun terdapat juga hadits lain yang menyebut lailatul qadar terjadi pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, ada juga yang berbunyi terjadinya pada malam-malam ganjil di 10 hari terakhir tersebut. Mungkin karena keyakinan lailatul qadar terjadi pada malam ke-27, makanya pada malam berikutnya kepadatan orang di Masjidil Haram menjadi menurun, mereka menganggap malam tersebut sudah lewat jadi tidak perlu lagi ‘ngendon’ di masjid. Soal ini biarlah menjadi urusan masing-masing, saya tidak ingin memperpanjang persoalannya.
Yang menjadi renungan saya adalah, apakah memang datangnya
lailatul qadar berbentuk fenomena alam yang istimewa sampai orang-orang yang
terjaga diwaktu itu bisa melihatnya. Bisa melihat langit yang terbuka, malaikat
turun kebumi..?? Pertanyaannya adalah kapan waktunya..?? Katakanlah lailatul
qadar memang terjadi di Masjidil Haram, pada masa dua pertiga malam terakhir,
sekitar jam 2 atau jam 3 dinihari. Pada waktu itu di Indonesia sudah pagi, jam
6 atau jam 7, jadi kalau para malaikat turun kebumi maka untuk waktu Indonesia
jelas mereka sudah kesiangan, telat masuk kerja. Kalau dikatakan lailatul qadar
yang datangnya beberapa menit tersebut punya ‘jadwal’ yang berbeda untuk setiap
wilayah, maka pertanyaannya adalah : apakah terjadi pada tanggal yang sama..?? Lalu apakah
fenomena alam yang terjadi bisa disaksikan oleh orang-orang yang terjaga pada waktu itu..?? kalau tidak, maka itu
tidak bisa dikatakan sebagai suatu fenomena alam. Kalau bisa disaksikan maka
bencong-bencong yang ‘itikaf’ dilampu merah sepanjang hari (bahkan bukan hanya
di bulan Ramadhan saja) akan punya kesempatan untuk menyaksikan langit terbuka
dan malaikat turun kebumi. Di Masjidil Haram, saya juga tidak pernah mendengar
ada orang yang pernah menyaksikan keajaiban alam tersebut. Ada yang bilang
:”Memang bagi orang yang dianugerahi malam qadar tersebut tidak akan pernah mau
bercerita pengalamannya..”, ini luar biasa karena bisa terjadi adanya GTM –
Gerakan Tutup Mulut secara masal mulai dari ribuan tahun lalu sampai sekarang.
Pemahaman tentang lailatul qadar seperti ini juga
menimbulkan kesan kalau orang-orang memperlakukan peristiwa ini seperti halnya
menunggu pesta kembang api di malam tahun baru, bisa menyaksikan kemeriahan dan
pemandangan menakjubkan, lalu selesai saja. Logikanya bertemunya seseorang
dengan lailatul qadar semestinya terlihat dengan pertanyaan ‘what next’..? Buat apa bertemu lailatul
qadar kalau setelah itu tetap melakukan kemaksiatan yang sama, tetap berlaku
curang dan menyombongkan diri, tetap terpesona dengan kenikmatan-kenikmatan
duniawi. Atau sebaliknya malah membuat seseorang berlagak seperti dukun sakti
mandraguna, merasa punya ilmu ghaib untuk membaca isi hati orang, menyembuhkan
penyakit dan membaca peristiwa yang akan terjadi dimasa datang.
Saya sendiri ‘curiga’ dengan redaksi kalimat Al-Qur’an
tentang lailatul qadar, ketika Allah menginformasikan bahwa dimalam tersebut :
tanazzalu
almalaa-ikatu waalrruuhu fiihaa bi-idzni rabbihim min kulli amrin
[QS 97:4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat
dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Redaksi bahasa aslinya adalah
‘tanazzalu malaaikat wa ruuh’ – turun malaikat-malaikat dan ruh – lalu kata ini
ditafsirkan dengan ‘malaikat dan Jibril’ yang mengatur segala urusan. Memang
dalam ayat lain Al-Qur’an sering menyebut Jibril dengan sebutan ‘ruh’, misalnya
pada kata ‘ruhul qudus’ [QS 16:102] atau juga ‘ruhul amin’ [QS 26:193], namun
kata yang sama juga dipakai Al-Qur’an sebagai kata ganti penyebutan Al-Qur’an
itu sendiri, misalnya pada ayat :
wakadzaalika
awhaynaa ilayka ruuhan min amrinaa [QS42:52] Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu
wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami.
Sehingga menafsirkan kata ‘ruh’ pada
surat al-Qadr tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah dengan demikian Jibril
tidak termasuk dalam kelompok malaikat..? kalau memang dipisahkan lalu apa
alasannya..?? Menurut saya indikasi tentang hal ini bisa ditelusuri dengan
melihat ayat pertama surat al-Qadr tersebut :
innaa
anzalnaahu fii laylati alqadri [QS 97:1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
(Al-Qur'an) pada malam kemuliaan..
Kalaupun mau ditafsirkan bahwa kata
‘ruh’ pada ayat tersebut merujuk kepada malaikat Jibril maka kita seharusnya
memahami tidak hanya terbatas kepada sosok Jibrilnya saja, tapi terkait dengan
‘apa yang dibawa’ oleh Jibril dengan didampingi para malaikat lain yang
bertujuan untuk ‘mengatur segala urusan’. Yang dibawa turun pada lailatul qadar
tersebut adalah Al-Qur’an, dan karena ayat-ayat tersebut sudah diturunkan
dijaman Rasulullah, maka pengertian Al-Qur’an disini adalah ‘pemahaman terhadap
Al-Qur’an’.
Pada lailatul qadar, Allah telah
mengutus Jibril dan para malaikat lain untuk membawa pemahaman tentang
Al-Qur’an dan akan diberikan kepada hamba-Nya yang telah dipilih untuk itu.
Maka lailatul qadar bukan merupakan fenomena alam, berbicara tentang perubahan
cuaca dan pemandangan menakjubkan melihat malaikat turun kebumi. Bisa saja hal
tersebut terjadi, namun hanya berfungsi sebagai unsur yang ‘memeriahkan’nya
saja. Lailatul qadar adalah peristiwa yang sifatnya personal, hanya dialami
oleh orang-orang terpilih, ketika tiba-tiba dalam perenungannya mendapat
pencerahan tentang Al-Qur’an. Pencerahan tersebut akan berpengaruh terhadap
sikap hidupnya dimasa selanjutnya karena hijab telah terbuka. Al-Qur’an
merupakan wahyu Allah yang berisi banyak informasi termasuk rahasia kehidupan
dan alam akhirat. Ketika pemahaman dianugerahkan Allah, orang tersebut mengerti
dan mendapat gambaran jelas tentang hal tersebut, sekalipun mungkin tanpa
kata-kata, dia bisa melihat secara terang-benderang akan nasibnya kelak.
Kalau anda bertanya apakah saya pernah
mengalami lailatul qadar..?? maka saya memastikan tidak pernah bertemu fenomena
alam yang ajaib seperti yang digambarkan orang selama ini. Beberapa tahun
terakhir saya juga begadang dimalam-malam terakhir Ramadhan, setiap malam sama
saja, tidak ada yang aneh. Namun ijinkanlah saya bercerita kisah saya 2 tahun
lalu, ketika saya menyempatkan diri untuk beriktikaf di masjid di kompleks
perumahan tempat saya tinggal. Sebenarnya bukan iktikaf seperti pemahaman yang
diajarkan Rasulullah, yaitu 24 jam berdiam di masjid memutuskan hubungan dengan
dunia luar dan semata-mata hanya berkomunikasi dengan Allah saja, iktikaf saya
lakukan selesai shalat tarawih ketika orang-orang sudah pulang kerumah, sampai
waktu sebelum shubuh. Biasanya saya memiliki 3 atau 4 orang teman melakukan hal
yang sama, namun ketika itu saya hanya sendiri di masjid karena yang lainnya
sudah pada mudik. Seperti biasanya saya meneruskan membaca Al-Qur’an dengan
terbata-bata karena tidak fasih, sudah sampai kepada surat al-Mu’minuun. Disaat
membaca ayat-ayatnya mulailah saya terkesima. Awal surat al-Mu’minuun bukan
kali ini saja saya baca dan dengar, ini adalah ayat favorit para iman shalat
berjamaah di masjid, sudah sering diulang-ulang, namun kali ini saya merasa
Allah berbisik dekat di telinga, seolah-olah menghibur dan menjawab pertanyaan
yang beberapa tahun belakangan muncul dalam pikiran :
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. dan orang-orang yang memelihara
shalatnya.
Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang
akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.
Ayat-ayat tersebut sangat
terang-benderang dalam pikiran, tidak perlu penafsiran macam-macam, menjawab
pertanyaan dan keraguan yang selama ini sering muncul karena saya sendiri merasa
orang yang telah banyak melakukan perbuatan sia-sia dimasa lalu, sehingga
muncul pertanyaan :”Apakah Allah masih mau menerima saya sebagai hamba-Nya..?”.
Yang saya ingat, waktu itu saya hanya bisa menangis terisak-isak, dan
menjatuhkan diri bersujud dalam-dalam lalu berikrar untuk tidak lagi melepaskan
diri dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Jadi kalau anda bertanya apakah saya
pernah bertemu lailatul qadar, buat saya saat itulah lailatul qadar. [sumber]