“Sifat shidq melahirkan kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan kepada syurga. Seseorang bersifat shidq sehingga Allah menetapkannya sebagai shaddiq (orang yang shidq). Sesungguhnya kidzb --dusta; lawan shidq-- itu mengantarkan kepada perbuatan dosa dan dosa itu mengantarkan ke neraka. Seorang bersikap kidzb sehingga Allah menetapkannya sebagai kadzab (pendusta).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Shidq –secara bahasa berarti : kejujuran atau
kebenaran- merupakan sifat dasar yang tidak bisa tidak harus dimiliki
oleh setiap aktivis da’wah. Karena melalui ia lah kemudian seorang hamba
dapat berinteraksi langsung dengan Allah subhanahu wa ta’ala tanpa sekat sedikit pun.
Sekat yang dimaksud adalah penyakit yang kerap kali menjadi benalu dalam ruang-ruang hati kita. Salah satunya adalah kidzb yang dalam riwayat di atas disebutkan akan membawa kita kepada siksa-Nya di neraka.
Selain itu, sifat shidq akan melahirkan keikhlasan yang abadi. Sehingga kita dapat katakan bahwa shidq
lebih tinggi nilainya daripada keikhlasan itu sendiri. Dengan
sendirinya, saat jiwa kita telah dihiasi dengan sifat shidq, maka kita
akan terbebas dari debu-debu syirik, baik berupa riya’, sum’ah, atau
yang lebih besar dari itu semua. Artinya, seorang yang shaddiq adalah
orang yang telah jujur dan membenarkan perkataannya, niat atau
kehendaknya, tekadnya, senantiasa menepati janji, serta beramal dan
beraktivitas hanya berdasar atas kecintaannya terhadap Allah azza wa jalla.
Al Ustadz Jum’ah Amin Abdul ‘Aziz -mengutip perkataan Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam kitab Maw’idzhat al-Mu’minin- menyebutkan bahwa derajat kejujuran itu tidak akan habisnya, karena seseorang itu kadang bisa bersifat shidq dalam satu hal, namun tidak bisa bersifat shidq pada lain hal, sehingga jika kejujuran itu secara menyeluruh, itulah kejujuran yang sebenarnya.[1] Karena pada dasarnya shidq itu berupa tingkatan, dari perkataan yang merupakan tingkatan paling rendah hingga shidq
dalam amal dan segala aktivitas yang merupakan tingkatan yang paling
tinggi, sedangkan tingkatan yang terbaik adalah mereka yang telah
bersifat shidq dalam segala hal, dari perkataan hingga perbuatan. Baik aktivitas fisik ataupun aktivitas hati.
Maka kemudian, sudah sepatutnya kita merasa malu saat lisan berucap “wajjahtu wajhiya lilladzii fatharas samaawaati wal-ardha haniifan…”
dan di saat yang sama hati dan pikiran kita justru jauh dari Allah,
bahkan disibukkan dengan nafsu syahwati dan keinginan dunia yang fana.
Bukankah pada saat itu kita telah menjadi bagian dari kadzabin..? Na’udzu billah…
Begitu pun saat lisan berkata “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin”
namun di sisi lain ternyata masih diperbudak oleh dinar dan dirhamnya
(hartanya). Maka sudah pasti sampailah pada diri kita apa yang telah
disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, dan celakalah hamba sutra”
(HR. Ibnu Majah). Karena pada hakikatnya kita telah menipu diri sendiri
dan tentu saja telah menipu Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan bila
kedustaan itu hanya terjadi dalam niat dan kehendak hati saja.
Semangat seorang shaddiq yang timbul dari segala aktivitasnya merupakan buah dari ketaatan dan perkataannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketaatan
dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka).
Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi
jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu
lebih baik bagi mereka (QS. Muhammad: 21). Semangat yang lahir dari sifat shidq
tidak akan pernah surut apalagi padam. Allah senantiasa menjaga dan
memeliharanya, di samping ia sendiri senantiasa memupuknya dengan iman
dan taqwa. Sehingga ia tidak akan pernah rela dan ridha untuk memberikan
sedikit pun loyalitas bagi selain Allah atau siapapun yang tidak
dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Aktivitas seperti ini pula yang kemudian akan menghadirkan sifat amanah, tadhhiyah, tsabat, dan tajarrud (amanah, pengorbanan, keteguhan, dan totalitas/ kemurnian).
Seorang shaddiq tidak pernah terpengaruh oleh perkataan
orang-orang di sekitarnya. Pujian ataupun cercaan yang hadir dalam
ruang-ruang kehidupannya senantiasa dihadapi dengan tawakkal
kepada Allah. Ia tidak akan merasa tinggi hati saat pujian
menghampirinya, sebagaimana ia tidak akan merasa rendah diri saat
orang-orang tidak mengapresiasi segala aktivitasnya dengan positif,
bahkan mereka mencaci, memaki, dan memerangi. Ibadah seorang shaddiq
tidak akan tampak berbeda di setiap tempat dan waktu. Kekhusyu’an
shalatnya senantiasa ia jaga saat ia sendiri berdiri di sepertiga malam
atau pada saat ia berdiri di depan menjadi imam. Tidak terasa berbeda
saat ia sendiri atau saat ia berkumpul bersama-sama.
Pandangannya tertunduk bukan karena merasa rendah ataupun takut di
hadapan makhluq, namun semua itu semata-mata berdasar atas cinta, rindu,
dan takutnya ia kepada Allah swt. Karena ia tahu bahwa Allah Maha
Pencemburu. Tutur katanya yang halus dan lembut menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari seorang shaddiq. Wajahnya senantiasa bercahaya, memancarkan sinar ruhiyah karena sifat shidq-nya.
Semangatnya senantiasa membara dalam menuntut ilmu dan beramal,
sehingga ia selalu bisa optimal dalam setiap amanah yang diembannya. Ia
akan selalu berangkat baik dalam keadaan ringan atau berat. Karena ia
tahu bahwa aktivitasnya adalah aktivitas cinta seorang hamba terhadap
Sang Khaliq. Sehingga ia tidak pernah mengharapkan apapun dari
aktivitasnya selain keridhaan Sang Khaliq untuk menjumpainya di syurga ‘Adn.
Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati
apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada
yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan
mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya). (QS. Al-Ahzab: 23)
Penulis : Rd. Laili Al Fadhli
[Ketua Mahasiswa Pecinta Islam (MPI) Bandung dan Staf Humas Mahasiswa Pecinta Islam (MPI) Pusat]